Thursday, January 2, 2014

368 Juta Mil

“The moon stays bright when it doesn’t avoid the night” – Rumi



Apa kabar?

Aku tahu malam ini tidak akan sesederhana kedengarannya. Pertanyaan pembuka yang se-klise itu mengantar kita ke 6 jam penuh kata. Sudah lama kita tidak tenggelam dalam kerumitan kata dan hidup.

Rasanya sudah lama aku tidak melihat ombak-ombak mimpi dalam cerita-ceritamu.

Ya, sudah lama aku menghindari laut dalam yang menguras tenaga untuk berenang. Memilih bermain ringan di pinggir pantai, membiarkan diri dipermainkan ombak yang sesekali menggelitik kakiku.

Kemana semangatmu? Mimpi-mimpimu? Rencanamu? Hasratmu? Kemana kamu?

Aku tersenyum dan melumat quiche yang biasa aja dan tidak ada istimewanya. Biasa, membosankan. Sama seperti aku.

Itu karena kamu terlalu sibuk melihat yang lain-lain dan lupa dengan semua yang ada di depanmu. Kamu harus pikirkan…

… dan aku kembali ke dalam dalamnya laut, rumitnya hutan, dan luasnya samudera tanpa arah. Mungkin memang bukan tempatku bersantai-santai di pinggir pantai. Mungkin memang merekalah rumahku. Laut dalam, hutan lebat, samudera luas. Merekalah aku.

Kita memang berbeda dari orang lain. Orang-orang seperti kita memang harus begini. Mungkin kaki kita tidak seringan mereka. Tawa kita tidak selepas mereka. Tapi merekapun tidak sedalam kita. Ingat-ingatlah tujuanmu. Jangan hanya murung dan menggerutu.

Haahh.. Kenapa susah sekali punya hati yang bersyukur? Aku selalu mengunci dunia dengan pandangan yang salah. Pandangan yang sepertinya dunia itu hanya aku, aku, dan aku. Kami pun memutuskan untuk pulang. Untuk mengakhiri petualangan kita di lautan kata-kata yang melelahkan. Namun..

Eh, mau liat bintang! Nanti temenin ke atas ya!

Saat itu juga aku tahu malam ini akan berakhir dengan tenang. Kegelisahanku akan segera habis disedot teropong bintang! :D


***

Petualangan mendadak (di rumah sendiri) ini dimulai dari tangga menuju ke atap rumah. Tidak kusangka, naik tangga begini saja aku takut. Tapi untungnya rasa serunya melebihi rasa takut keplesetnya hehe. Setelah setengah jalan, ada pintu kecil di kanan tangga. Aku dan kakakku masuk, lalu naik ke atas atap. Sambil menunggu kakak menyiapkan teropong bintang, aku iseng-iseng dulu dengan binocular. Melihat titik bintang Jupiter, titik Orion’s belt, dan.. apartemen tetangga haha.

tangga menuju surga, ga ding lebay

sebelum foto bintang, foto narsis dulu hehehe

di atas atap rumah, Kemayoran, Jakarta pusat (photo by: Ivan Rahardjo)


Nah, sekarang kalau mau liat Jupiter…

Aku pun mendengarkan dengan seksama. Sayang yang masuk hanya beberapa persen. Ia menunjukkan gambar-gambar nebula dan bintang-bintang yang sudah pernah ia foto. Indah-indah sekali. Ada nebula yang bisa memancarkan warna merah dan kebiruan. Foto-foto itu tidak diedit sama sekali, ditangkap oleh kamera DSLR. Padahal kalau dilihat kasat mata, nebula hanya berupa gas-gas yang tidak berwarna. Ternyata itu karena mata kita di malam hari tidak mampu menangkap warna asli dari nebula tersebut.




Bulan aja segini, gimana Jupiter coba.. Segede apa dia.. Dia kan jauh banget..

Terbayang olehku Jupiter yang jauuuhhh sekali. Setiap 50 tahun sekali, jarak paling dekat Jupiter ke bumi adalah 368 juta mil. Wow… Lalu kakakku yang diam-diam keren menjelaskan juga teknik mengambil gambar Jupiter dengan cara merekamnya selama 1 menit. Setelah direkam, dengan software tertentu dipilih foto-foto yang fokusnya paling baik. Tanpa menggunakan teknik ini, foto Jupiter akan sangat kabur karena ia terus bergerak-gerak di teropong.



Nah kalau dilihat, ada gugusan bintang seven sisters/kartika di sana, di dekat Orion. Ga heran mitologinya Orion mengejar-ngejar seven sisters hehe.. Bintang-bintang itu ada loh dicatat di Alkitab..

Menarik sekali mendengarkan kakakku bercerita tentang bintang dan hobi barunya itu. Aku jadi ingin mencari tahu juga seputar astronomi. Mengenal besarnya Sang Pencipta lewat ciptaanNya. Apa yang dibicarakannya sebenarnya sedikit banyak ada di pelajaran geografi di sekolah. Tapi kalau dijelaskan dengan cara seperti ini rasanya lebih menarik dan lebih real. Karena itu aku sangat setuju model pengajaran dalam pendidikan yang menekankan relasi murid dengan alam secara langsung. Jadi murid mengenal alam bukan dari buku teks saja, bukan untuk dihafal saja, tapi juga untuk dinikmati. Terlebih lagi, lewat alam kita bisa semakin mengenal Sang Pencipta. Dan ternyata alam itu memang efektif sekali untuk mengajak aku melupakan diriku, diriku, dan diriku. Hanya dalam sekejap aku lupa berpikir tentang aku, aku dan aku. Jadi teringat percakapan aku dengan seorang kekasih.

Kamu itu negatif dan pesimis. Semua isi dunia kamu pandang jelek.

Bukan pesimis. Aku realistis. Memang semuanya itu jelek.

Itu karena kamu belum melihat indahnya dunia di luar sana. Masih banyak hal indah di luar sana kok..

Indahnya dunia, luasnya dunia, seharusnya mampu mengajak aku merubah cara pandangku. Mengajak aku untuk mengambil jarak dan melihat dengan lebih besar. Mungkin sampai 368 juta mil atau lebih. Bukan melihat diriku saja. Tapi melihat jauh lebih luas. Untuk bersyukur. Untuk bersukacita. Untuk dapat mulai berjalan dengan arah yang jelas dan tidak kabur lagi.

Melihat lebih luas, bukan berarti menghindar dari masalah. Tapi memberi hati yang lebih luas dan tidak egois dalam menghadapi masalah hidup. 

"We are all like the bright moon, we still have our darker side" - Khalil Gibran (photo by: Ivan Rahardjo)

Thursday, October 24, 2013

KRL: Miniatur Kita

Jakarta. Sesak, penat, dan tak bersahabat. Mirip seperti kereta Commuter Line yang menjadi transportasi rutin saya menuju kampus. Penuh sesak dengan orang-orang yang mengejar mimpinya di tempat kerja masing-masing. Mereka harus tahan dalam kepadatan orang berpuluh-puluh menit untuk sampai ke tujuan. Sulit bernapas, sulit bergerak, berkeringat, setiap harinya! “Wah nggak tahan, mbak.. Tapi mau gimana lagi ya.. Namanya kerja, cari duit, tuntutan lah,” kata seorang ibu pada saya.

Saya beruntung karena tidak perlu seperti itu setiap hari. Saya lebih sering pergi ke Depok di pagi hari dan kembali ke Jakarta Kota di sore hari, sehingga kereta yang saya tumpangi tidak terlalu penuh sesak dengan penumpang lainnya. Suatu sore di gerbong kereta yang sepi, saya menikmati perjalanan saya yang ditemani sinar matahari yang akan segera tenggelam. Lumayan untuk mengistirahatkan penatnya pikiran seharian itu. Saya turun di stasiun Djuanda. Sesekali mengintip senja sambil berjalan keluar dari stasiun. Namun, suasana hati yang tenang itu sekejap hilang ketika melihat kerumunan orang berlari-larian menuju kereta seolah esok tidak ada lagi. Beberapa orang seperti tidak melihat saya dan menabrak saya begitu saja. “Kasihan sekali,” pikir saya. “Kalau saya saja tidak bisa mereka lihat. Bagaimana mereka bisa menikmati senja di Djuanda?”

Saya rasa fenomena itu bukan hanya menunjukkan suasana hati saya yang melankolis. Tapi juga ritme cepat masyarakat kota yang membuat masyarakat penat, lelah, dan tidak mampu lagi – atau tidak sempat – menikmati hal-hal kecil di sekitar mereka. Seperti yang digambarkan Michael Ende dalam novelnya yang berjudul Momo, masyarakat modern seolah-olah memiliki waktu yang semakin hari semakin sedikit namun menuntut mereka untuk kerja lebih dan lebih lagi. Tidak seperti masyarakat desa yang bisa memakai dan menikmati waktunya dengan leluasa, masyarakat kota butuh mengejar-mengejar waktu karena “time is money!”.

Beberapa langkah dari stasiun Djuanda, saya melihat baliho iklan Condominium mewah terpampang. Sepanjang jalan saya menuju ke rumah, iklan demi iklan menawarkan begitu banyak kesenangan dan kenyamanan hidup. Inilah “agen-agen” yang memasarkan tuntutan-tuntutan tak terlihat yang memaksa masyarakat kota untuk mengejar itu semua. Iklan-iklan itu menjadi mimpi tiap-tiap orang untuk diraih. Menjadi pengingat mereka akan alasan mereka rela berdesak-desakkan di dalam KRL dan melewati nikmatnya senja yang meregangkan penat. KRL seolah menjadi miniatur kota Jakarta yang padat, penat, namun menyimpan sejuta mimpi orang-orang di dalamnya.

Di dalam KRL kita juga bisa melihat wajah masyarakat kota Jakarta yang lainnya: tidak bersahabat. Sosiolog bernama Tonnies berkata, “Kota adalah tempat yang penuh dengan orang-orang yang tidak saling kenal”. George Simmel menambahkan. Tidak hanya tidak saling kenal, tapi juga tidak mau saling kenal. Ia berkata bahwa kota menyuguhi kita dengan gambar-gambar, impresi, sensasi, dan aktivitas dengan cepat. Kita tidak mampu meresponnya dengan sempurna. Karena itu supaya kita mampu bertahan, kita menarik diri dan menjadi impersonal. Itulah masyarakat kota. Ternyata wajah itulah yang juga saya temukan di dalam kereta. Jarang sekali saya menemukan ada orang yang saling berbicara satu sama lain. Bertegur sapa atau bahkan sekedar tersenyum pun tidak. Semuanya menunjukkan wajah yang tidak bersahabat atau wajah yang tidak mau diganggu karena ia sudah sibuk berbicara dengan teman setianya: gadget.

Julie Kagawa berkata, “Seiring bertumbuhnya kota dan teknologi menguasai dunia, kepercayaan dan imajinasi menghilang, begitu juga kita”. Masyarakat kota teralienasi dari orang-orang sekitarnya. Orang-orang di dalam kereta begitu sibuk berkomunikasi dengan gadget-nya masing-masing dan bukan dengan orang di dekatnya. Orang-orang berdekatan sekali secara fisik, namun sangat impersonal satu dengan yang lainnya.



Ironisnya, imaji-imaji ini tidak hanya terjadi di KRL tapi juga dimana-mana. Di jalan, di halte bus, di dalam busway dan di berbagai sudut-sudut kota Jakarta. Mungkin memang seperti itulah masyarakat kota. Mungkin memang itulah kita. Tapi kita adalah kita. Kita bisa menentukan siapa kita. Kota adalah sebagaimana warganya. Ketika banyak orang melewatkan senja, membenamkan senyum, membisukan sapaan, dan menambah penat kota Jakarta – kita bisa berbuat sebaliknya.