Saturday, July 23, 2011

Resensi Buku "Negeri 5 Menara"


Judul buku                : Negeri  5 Menara
Pengarang                 : A. Fuadi
Penerbit                    : PT Gramedia Pusat Utama
Kota tempat terbit     : Jakarta
Tahun terbit               : 2009
Tebal                         : xiii +  423 halaman
Harga                        : Rp 50.000,00

Alif Fikri yang berasal dari Maninjau, Bukittinggi, adalah seorang anak desa yang sangat pintar. Ia dan teman baiknya, Randai, memiliki mimpi yang sama: masuk ke SMA dan melanjutkan studi di ITB, universitas bergengsi itu. Selama ini mereka bersekolah di madrasah atau sekolah agama Islam. Mereka merasa sudah cukup menerima ajaran Islam dan ingin menikmati masa remaja mereka seperti anak-anak remaja lainnya di SMA. Alif mendapat nilai tertinggi di sekolahnya yang membuatnya merasa akan lebih terbuka kesempatan untuk Amak (Ibu) memperbolehkannya masuk sekolah biasa, bukan madrasah lagi. Namun Amak menghapus mimpinya masuk SMA. “Beberapa orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah agama karena tidak cukup uang untuk masuk ke SMP atau SMA. Lebih banyak lagi yang memasukkan anaknya ke sekolah agama karena nilainya tidak cukup. Bagaimana kualitas para buya, ustad, dan dai tamatan madrasah kita nanti? Bagaimana nasib Islam nanti? Waang punya potensi yang tinggi. Amak berharap Waang menjadi pemimpin agama yang mampu membina umatnya,” kata Amak yang membuat harapan anaknya masuk SMA pupus.

Dengan membaca pembuka novel tersebut, dapat dengan mudah kita menerka nuansa apa yang akan kita rasakan sampai pada selesainya novel ini. Ya, nuansa Islam. Pembukaan ini merupakan pembukaan yang baik di mana pembaca dapat berharap banyak dan berimajinasi akan jadi apa Alif ini. Pemimpin negara? Atau pemimpin besar agama? Sayangnya sampai akhir, penulis kurang mampu memperlihatkan dinamika dalam cerita. Klimaks cerita kurang menonjol sehingga pembaca merasa dinamika cerita sedikit datar. Setelah selesai membaca, pembaca akan merasa cerita belum selesai setuntas-tuntasnya. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis mendasarkan ceritanya pada kisah nyata dan tidak ingin melebih-lebihkannya. Mungkin akan lebih baik jika penulis membuat konflik-konflik yang lebih tegang atau menuliskan ending yang lebih memukau pembaca.

Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat menarik. Ringan, deskriptif, dan mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa daerah. Di dalam novel ini terdapat bahasa daerah Maninjau, Medan, Sunda, dan Arab. Tidak tertinggal catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan arti dari kata tersebut. Ungkapan-ungkapan dan peribahasa juga terdapat dalam penulisannya, seperti “man jadda wajada” yang paling sering dicantumkan. “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.” Ungkapan-ungkapan seperti ini sangat penting dalam sebuah novel karena mampu memberikan semacam trade mark yang membuat novel ini lebih terkenang di hati pembaca.

Novel ini menceritakan berbagai kisah sederhana kehidupan di Pondok Madani, pesantren modern yang akhirnya menampung Alif di dalamnya. Suka, duka, persahabatan, dan pengajaran-pengajaran PM yang sederhana namun mengena. PM berbeda dengan sekolah agama lainnya karena di sini para murid dilatih untuk menjadi intelektual dan mampu menganalisa berbagai ilmu dari sudut pandang Islam. Sehari-harinya mereka wajib menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Jika melanggar, tidak mungkin tidak terlepas dari hukuman. PM sangat ketat dengan pengawasan dan kedisiplinannya.

Biarpun masuk karena terpaksa, namun Alif mulai menyukai kehidupan di pondok. Terlebih lagi, ia sangat menikmati hidup persahabatannya dengan Sahibul Menara – sebuah sebutan penghuni PM terhadap Alif dan 5 teman lainnya – yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani. Mereka adalah Said, Baso, Raja, dan Atang. Persahabatan lekat yang dijalin bersama sangat cukup menjadi penghiburan bagi Alif. Tapi di satu sisi ada kegelisahan mengetahui teman baiknya – Randai – sudah masuk SMA terbaik yang pernah mereka idamkan bersama, sudah melewati masa SMA dengan penuh tawa, dan dengan bahagia berhasil merebut impian mereka tertinggi: masuk universitas di ITB. Pertanyaan “jadi apa aku nanti?” terus terngiang dalam kepalanya mengingat ijazah PM tidak diakui walaupun sangat diakui di luar negeri. 

Satu lagi kelebihan novel ini. Pembaca tidak akan bosan membaca kehidupan di pondok karena penulis rupaya menggunakan alur campuran. Ia memulai cerita dengan mengambil setting Alif yang sudah bekerja lalu mulai masuk ke dalam ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya dulu di Pondok Madani. Setelah cukup panjang menceritakan tentang pondok, ia mulai beralih lagi ke kehidupan Alif masa sekarang.

Novel ini dapat menjadi satu pengharapan bagi Indonesia, setidaknya masih ada pemuda di luar sana yang rela memberikan dirinya dipakai masa depan. Bukan menempatkan masa depan di tangan sendiri untuk ia tentukan. Merupakan satu penghiburan bahwa masih ada orang-orang yang sungguh-sungguh rela belajar dan mengasah diri untuk dapat memberikan sumbangsih pada dunia, terutama pada tanah airnya sendiri. Namun novel ini juga dapat menjadi kisah yang mengiris hati karena menyadarkan kita bahwa hampir tidak ada generasi muda yang seperti itu, bahkan mungkin.. Termasuk kita sendiri?

Sukacita dalam Iman

Solo, 20 Juli 2011

Saya duduk di kursi putih panjang bersama saudara-saudara saya yang juga berpakaian putih. Di depan saya ada sebuah foto dengan karangan bunga yang apik dan sebuah peti putih dibelakangnya. Di dalamnya terdapat tubuh kakek saya yang sudah berpulang ke rumah BapaNya.

Prosesi kebaktian penghiburan berlangsung. Saya jadi teringat ayat dalam Kitab Pengkotbah “pergi ke rumah duka lebih baik daripada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya” (PKH 7:2)

Malam itu adalah malam yang sangat mengharukan. Bukan karena isak tangis keluarga yang ditinggalkan, bukan karena penyesalan akan kepergian kakek tercinta, tapi justru karena sukacita dan kekuatan nenek saya.

Kakek saya adalah seorang pendeta yang sudah pensiun (88 tahun) dan hidup bersama istrinya (90 tahun) serta satu pembantunya (sekitar 60 tahun) di Solo. Hidup mereka sangat sederhana. Sehari-hari mereka dirumah, sesekali pergi melayani ke Gereja. Walaupun sudah sangat tua, mereka masih sangat sehat untuk usia mereka. Anak-anak dan cucu-cucu sudah berada di berbagai kota. Mereka hidup apa adanya, tidak punya banyak harta, namun sangat kaya dan berlimpah. Kata-kata terakhir kakek saya yang sangat saya ingat waktu pesta ulang tahun isterinya (Juni lalu) adalah “Hanya satu pesan engkong, hiduplah bersama dengan Tuhan setiap hari, itu yang paling utama.” Saya percaya setiap orang yang melihat kakek nenek saya akan memuji keceriaan mereka, sukacita, pengharapan, dan hidup mereka yang berlimpah. Banyak uang, hidup nyaman, dengan berbagai fasilitas memang tidak menjamin kepenuhan hidup seseorang.

“Engkong gak ninggalin warisan harta melimpah, tapi warisan iman,” kata kakak saya. Ya, sangat jelas terlihat kehidupan iman opa dan oma yang sangat sederhana namun tetap setia melayani dan percaya sampai mati. Opa mungkin tidak banyak menguasai doktrin-doktrin sulit. Tapi saya angkat topi dengan imannya, dan saya ingin sekali memiliki iman yang sederhana namun agung seperti itu. Rasanya keselamatan tidak cukup untuk membuat hidup saya bersukacita, dan itu adalah salah besar.

Saat nenek saya dipanggil ke atas mimbar untuk membacakan ayat-ayat Alkitab, saya pikir tubuhnya yang renta itu akan gemetar dan isak tangis akan membuat kata-katanya hilang. Namun ternyata, tubuh saya yang gemetar. Oma membacakan ayat-ayat itu dengan sangat lantang, tegas, kuat. Tidak sedikitpun ada tanda-tanda oma akan menangis, dan memang tidak.

“Hanya dekat Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.” (Mzm 62:6)

Saya yang baru saja tiba di Solo dari Jakarta, belum sempat bertemu dengan oma. Belum sempat mengucapkan rasa duka pada oma. Saat kebaktian selesai saya menghampiri oma (saya yakin dengan wajah yang sangat prihatin pada oma), mengusap punggungnya dan bersiap memeluknya. Oma tersenyum, tertawa kecil dan meledek saya, “Ahhhh.. Opo!”

Saya kaget. Bahkan matanya pun masih bisa bersinar-sinar. Oma berpaling dari saya dan menyambut salam dari jemaat yang lain. “Haduh, mesih sakit, ya? Ya moga-moga cepet mari” (moga-moga cepat sembuh). Bisa-bisanya oma masih dapat menghibur orang lain disaat orang lain merasa oma sangat perlu dihibur.

"Oma bersyukur doa engkong dikabulkan. Kami siap dipanggil Tuhan kapan saja. Kalo mati, gak mau sakit, gak mau lebih dari sehari. Eh, Tuhan denger"

Satu per satu orang pergi. Gereja mulai sepi. Hanya tertinggal beberapa orang dari anggota keluarga. Di sana saya berdiri di sebelah oma yang duduk di depan foto opa. Sambil tersenyum manis oma berkata, “Eh, liat tuh fotonya. Kayak liat kesini ya? Liat oma ya?”
Dia terus melihat foto opa dan dengan berbinar-binar melanjutkan kata-katanya, “biasanya orang sakit jantung mukanya langsung item. Opa mukanya seger sekali, putih, bersih. Malah kalo diliat lama-lama kayak senyum. Haha, mungkin senyum sama Tuhan Yesus, ya”

Forgotten #9

Hatiku sangat tidak tenang. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dalam diriku. Tahun lalu aku berusaha mengabaikannya. Tapi sekarang aku melakukannya lagi. Hatiku hancur saat kuingat perasaanku memotong-motong binatang dalam lab. Nikmat. Aku takut pada diriku sendiri. Apa aku ini gila? Mengapa itu sangat menyenangkan bagiku? Aku ingin melakukannya sekali lagi. Tidak, aku sangat tidak menyukainya! Menjijikkan! Tapi.. Ah, aku lelah memikirkannya. Tiap kali aku melihat kucing melewati pagar rumahku, aku teringat akan hal itu. Aku aneh sekali. Satu masalah belum terselesaikan, sekarang masalah lain sudah muncul.

Aku merasa hari-hariku mulai tidak menyenangkan. Pagi ini aku pergi ke sekolah seperti biasa, dengan tidak bersemangat. Di sekolah ada anak baru, cantik dan ramah. Tampaknya semua orang menyukainya. Wajahnya sangat berseri-seri. Hanya dalam waktu seminggu saja, bahkan beberapa temanku sudah berani menyatakan cintanya. Hal yang paling menyebalkan adalah orang-orang yang membicarakan aku dan dia. Membandingkan kepopuleran kami. Aku tidak peduli dengan semua orang yang menyukaiku, memujiku. Namun aku sedih dengan beberapa komentar yang sangat benar bagiku.

“Lisa, kok kayaknya lu murung banget, ya sekarang?” tanya Rene, teman baikku
“Hmm? Masa?”
“Hmm.. Sori nih ya kalo menyinggung, tapi banyak yang bilang lu kalah dari si anak baru itu cuma gara-gara lu jadi suram banget sekarang” tambah Nico
“Bukan cuma suram, sih. Lu sadar gak sih lu jadi sering marah-marah sekarang?”
“Oh, gitu ya? Ya udah”

Rene dan Niko hanya berpandangan dan menghela nafas.

“Lu kenapa sih? Cerita-cerita dong, kita kan temen lu,” lanjut Rene
“Gak kok, gak ada apa-apa” kataku tersenyum kecut
“Tapi lu berubah banyak, loh”
“Ya udahlah, bukan urusan lu juga”
“Jangan gitu lah.. Gua kan temen lu. Bukan gimana ya, tapi gua gak nyaman denger omongan anak-anak tentang lu. Dulu lu dipuji sana-sini, sekarang dibilang sombong lah, rese lah, judes lah”
“Terus? Lu mau kesel juga sama gua?”
“Ih, rese banget sih lu! Udah bagus gua masih mau kasih tau lu. Terserah lah,”

Rene membanting kursinya dan pergi meninggalkan kelas. Nico juga emosi dan pergi. Aku kesal sekali. Mereka tidak tahu urusanku, dan pastinya mereka tidak bisa mencari jalan keluarnya. Mengurus hidup mereka saja sudah susah, untuk apa urus hidup orang lain? Menyebalkan. Makin aku memikirkannya makin kesal rasanya hatiku ini. Aku tahu mereka memperhatikanku. Aku juga tahu aku berubah. Tapi kenapa aku jadi seperti ini? Dimana Lisa yang dulu? Walaupun aku cepat sekali emosi sekarang, tapi aku sedih sekali menyakiti hati mereka. Seharusnya aku bisa menjaga kata-kataku.

“Heran, ya. Udah kekenyangan dipuji kali tuh orang. Gak ngaca ya sekarang kayak gimana.”

Kata-kata itu muncul begitu saja diikuti tawa anak-anak lain di dalam kelas. Mereka pasti mendengar pembicaraanku dengan Rene dan Nico. Kalau sudah menyangkut cewek-cewek kelas tukang gosip itu rasanya melelahkan sekali. Aku mengambil dompet dan berniat pergi ke kantin.

“Baru aja disindir gitu mau kabur, cemen”

Aku kesal sekali, aku berbalik dan berusaha menahan emosiku. Dari antara mereka semua, Cindy yang paling menyebalkan. Yang lain tidak akan berkutik tanpa instruksi dari ketua geng udang itu. Mulutnya yang paling besar dari antara yang lainnya.

“Sori, gak usah banyak ngomong, ya kalo gak tau urusan orang lain”
“Emang kita ngomongin dia? Dih, GR banget dia, hahaha”

Aku tak peduli dengan tawa mereka, aku berbalik dan melangkah menuju tujuanku.

“Udah gak punya temen, belagu, nyakitin temen sendiri lagi. Makan apa sih dia mulutnya jadi pedes banget”
“Mulut lu tuh yang cacat”
“Eits, mantan primadona panas nih”
“Gak usah ngomong macem-macem. Diem aja kalo gak ngerti, bego. Gak ada kerjaan lain ya selain ngomongin orang? Sirik? Pantes aja nilai lu berantakan. Cuma bisa main lipstik sama nyindir orang. Lu hampir di DO kan? Belajar yang bener, gak usah ikut campur urusan orang lain. Heran.”

Aku pergi namun mereka yang tidak bisa membalas kata-kataku tidak membiarkanku pergi begitu saja. Mereka menarik tanganku, menyiramkan air minum mereka ke seluruh badanku. Bajuku basah semua. Aku tidak bisa menahan lagi emosiku.

“Hahahahaha! Basah kuyup gitu masih bisa ngomong pedes gak?”

Aku tidak berkata apa-apa lagi, kutabrak badan Cindy sampai membentur keras ke dinding kelas. Kuremas kerah bajunya sampai lehernya sangat sesak. Kucabut pin baju di dadanya, kutekan kuat-kuat besi tajam pada pipinya. Matanya melotot ketakutan, nafasnya terengah-terengah.

“Diam, ngerti gak?”

Dalam beberapa detik suara berbisik di luar kelas mulai terdengar. Kulepas genggaman kuat tanganku pada kerah baju Cindy. Dia duduk lemas di lantai sambil meringis memegang punggung dan lehernya. Kulihat mata-mata yang menusuk padaku. Dengan nafas terengah-engah aku pergi ke toilet untuk menenangkan diri.

Damn! Lisa, kenapa begini?

Monday, July 4, 2011

Hilde Janssen: Pemerintah Indonesia Menganggapnya Aib

Artikel berjudul di atas berkisah tentang penelusuran demi penelusuran yang dilakukan seorang jurnalis tentang kasus jugun ianfu Indonesia. Ternyata banyak sekali perempuan-perempuan Indonesia yang adalah eks jugun ianfu, budak seks para tentara jepang. Mereka mengaku mereka mengalami banyak sekali penyiksaan dan penderitaan menjadi budak seks paksa. Di artikel ini juga disebutkan kasus para wanita Indonesia ini diabaikan begitu saja dan tidak ada penepatan janji adanya kompensasi uang dari berbagai organisasi.

Pertama-tama saya akan masuk dalam konteks di mana masa jugun ianfu mulai “bekerja.” Di sana – terutama dalam kasus ini – kita dapat melihat dengan jelas adanya stratifikasi sosial berupa kaum yang berkuasa dan kaum dikuasai. Kaum yang berkuasa adalah penjajah (Jepang) yang menguasai rakyat terjajah (Indonesia). Saat penganiayaan ini berlangsung, pasti banyak rakyat Indonesia yang mengetahui hal ini. Namun penganiayaan terus berlangsung sampai sekitar tahun 1945. Ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia saat itu tidak mampu menghadapi penguasa-penguasa Jepang yang menjajah dan menguasai mereka. Pemberontakkan sangat mungkin terjadi, namun tetap saja rakyat Indonesia tidak berdaya. 

Menurut pandangan Weber, ada 3 dimensi stratifikasi sosial: ekonomi, kehormatan, dan kekuasaan. Dimensi manakah yang relevan dengan kasus ini? Secara ekonomi, Indonesia saat itu memiliki banyak sekali kekayaan sehingga Jepang menjajah Indonesia. Dalam hal ini dimensi ekonomi tidak berlaku. Demikian juga dengan dimensi kehormatan, Jepang di mata bangsa Indonesia saat itu tentulah bukan orang-orang yang terhormat melainkan orang-orang biadab. Dimensi kekuasaan-lah yang dimiliki Jepang dengan sangat jelas. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Jepang mampu menekan, menjajah, dan menguasai Indonesia.

Poin terakhir yang saya tulis adalah menurut saya, kasus ini tidak mendapat tanggapan yang baik dari pemerintah bukan karena pemerintah menganggap kasus ini sebagai suatu aib. Aib apa? Sudah jelas bahwa itu merupakan aib biadabnya Jepang. Para wanita Indonesia tidak tahu apa-apa selain dipaksa menjadi korban budak seks serdadu Jepang pada masa itu. Maka mengapa pemerintah Indonesia tidak mau mengangkat permasalahan ini? Salah satu faktor terkuat adalah karena Jepang merupakan negara kedua yang memberikan bantuan-bantuan, donor dana, hibah, ataupun pinjaman terbesar pada Indonesia. Kemungkinan besar pemerintah Indonesia takut dan lebih memilih untuk berada dalam posisi aman, tidak menentang Jepang yang salah. Di sini muncul lagi kesan antara kaum yang berkuasa dan kaum yang dikuasai. Secara tidak langsung, Indonesia sudah terkontrol oleh Jepang karena kebergantungan ekonomi yang tinggi pada Jepang.

Hilde Janssen: Pemerintah Indonesia Menganggapnya Aib


Artikel berjudul di atas berkisah tentang penelusuran demi penelusuran yang dilakukan seorang jurnalis tentang kasus jugun ianfu Indonesia. Ternyata banyak sekali perempuan-perempuan Indonesia yang adalah eks jugun ianfu, budak seks para tentara jepang. Mereka mengaku mereka mengalami banyak sekali penyiksaan dan penderitaan menjadi budak seks paksa. Di artikel ini juga disebutkan kasus para wanita Indonesia ini diabaikan begitu saja dan tidak ada penepatan janji adanya kompensasi uang dari berbagai organisasi.

Pertama-tama saya akan masuk dalam konteks di mana masa jugun ianfu mulai “bekerja.” Di sana – terutama dalam kasus ini – kita dapat melihat dengan jelas adanya stratifikasi sosial berupa kaum yang berkuasa dan kaum dikuasai. Kaum yang berkuasa adalah penjajah (Jepang) yang menguasai rakyat terjajah (Indonesia). Saat penganiayaan ini berlangsung, pasti banyak rakyat Indonesia yang mengetahui hal ini. Namun penganiayaan terus berlangsung sampai sekitar tahun 1945. Ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia saat itu tidak mampu menghadapi penguasa-penguasa Jepang yang menjajah dan menguasai mereka. Pemberontakkan sangat mungkin terjadi, namun tetap saja rakyat Indonesia tidak berdaya. 

Menurut pandangan Weber, ada 3 dimensi stratifikasi sosial: ekonomi, kehormatan, dan kekuasaan. Dimensi manakah yang relevan dengan kasus ini? Secara ekonomi, Indonesia saat itu memiliki banyak sekali kekayaan sehingga Jepang menjajah Indonesia. Dalam hal ini dimensi ekonomi tidak berlaku. Demikian juga dengan dimensi kehormatan, Jepang di mata bangsa Indonesia saat itu tentulah bukan orang-orang yang terhormat melainkan orang-orang biadab. Dimensi kekuasaan-lah yang dimiliki Jepang dengan sangat jelas. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Jepang mampu menekan, menjajah, dan menguasai Indonesia.

Poin terakhir yang saya tulis adalah menurut saya, kasus ini tidak mendapat tanggapan yang baik dari pemerintah bukan karena pemerintah menganggap kasus ini sebagai suatu aib. Aib apa? Sudah jelas bahwa itu merupakan aib biadabnya Jepang. Para wanita Indonesia tidak tahu apa-apa selain dipaksa menjadi korban budak seks serdadu Jepang pada masa itu. Maka mengapa pemerintah Indonesia tidak mau mengangkat permasalahan ini? Salah satu faktor terkuat adalah karena Jepang merupakan negara kedua yang memberikan bantuan-bantuan, donor dana, hibah, ataupun pinjaman terbesar pada Indonesia. Kemungkinan besar pemerintah Indonesia takut dan lebih memilih untuk berada dalam posisi aman, tidak menentang Jepang yang salah. Di sini muncul lagi kesan antara kaum yang berkuasa dan kaum yang dikuasai. Secara tidak langsung, Indonesia sudah terkontrol oleh Jepang karena kebergantungan ekonomi yang tinggi pada Jepang.

Forgotten #8

Matahari menyambut pagi yang baru dengan hangat, tidak terlalu terik, udara pun sejuk. Burung-burung riuh berkicauan. Hari masih pagi tapi suara tapak-tapak kaki sudah mulai terdengar. Pemuda itu pun keluar dari rumahnya, siap memulai hari. Senyuman-senyuman ramah menyapanya seiring dia berjalan menuju perkebunan.

"Pagi, Mas. Ke sawah lagi?"
"Iya, Bu. Mumpung hari Sabtu tidak sekolah"

Terkadang gadis-gadis muda mencuri-curi pandang melihatnya, lalu berbisik dan cekikikan dengan teman-temannya. Pemuda itu tinggi tegap, wajahnya biasa, tidak tampan, namun terlihat begitu gagah. Dia tidak banyak bicara, namun selalu ramah pada semua orang di sekitarnya. Sopan dan lembut. Pintar dan dewasa.

Dia berjalan menyusuri perkebunan. Melihat-lihat, mencatat, juga berdiskusi dengan para petani di sana.

"Wah! Enaknya punya anak seperti Mas Otto. Pak Herman pasti bangga!"
"Ah, Bapak bisa aja, Ayah juga pasti sangat terbantu dengan kerja Bapak"
"Haha kamu ini. Biarpun ayahmu disegani warga, tapi kamu tetap ramah dan rendah hati, ya. Nanti kamu mau jadi apa, to?"
"Bantu papa saya saja, Pak. Hehe"
"Wah, hebat! Berarti jadi peneliti untuk perkebunan ini juga dong? Wah wah.."

Ya, semua orang menyukai Otto. Tidak habis-habisnya juga para gadis mendekatinya. Namun sampai saat ini, dia masih belum menemukan seseorang untuk mengisi hatinya. Mungkin lebih tepat, belum ada gadis yang sanggup menggantikan dia yang terus ada di hatinya.

Kalau hari sudah sore, Otto pergi ke belakang perkebunan. Dia berbaring menatap langit yang memerah, atau duduk menerawang kilauan air di danau yang bergerak tenang.

Tapi kali ini sedikit berbeda dengan biasanya. Wajahnya tidak tenang, dia juga lebih cepat pulang dan terlihat gelisah.

Pak Handoko menghubungiku. Memperingatkanku untuk tidak menghubunginya. Padahal aku tidak tahu dimana mereka sekarang. Bahkan nomor teleponnya baru kutahu kemarin. Suaranya aneh. Perasaanku menjadi sangat tidak enak. Apa ada sesuatu terjadi padanya? Aku harus tahu. Minimal, aku tahu dimana mereka.

Apa aku harus bertanya pada papa? Ah, pikir apa aku ini. Tidak mungkin. Papa pasti tidak memberitahuku dimana mereka dan apa pasti memarahiku.

"Memikirkan orang gila itu lagi?"
Suara sinis itu membuyarkan lamunan Otto. Siska, kakak perempuan Otto, sangat tidak suka melihat Otto terus terikat dengan masa lalunya. Otto terkejut, menoleh sebentar ke arah Siska lalu menghela nafas pelan.
"Aku sudah bilang, aku tidak suka kakak memanggilnya seperti itu"
"Semua orang juga tahu dia siapa"
"Dia tidak jahat"
"Dasar bodoh. Kamu tidak sadar ya aku sangat mengkhawatirkan adikku? Mengharapkan orang yang sangat tidak diharapkan semua orang. Kasihan."
Otto terdiam, Siska duduk di sampingnya sambil meneruskan kata-katanya
"Buka matamu lebar-lebar. Siapa saja yang sudah disakitinya, dilukainya. Kamu juga. Bahkan orangtuanya sendiri. Tidak heran dia jadi gila. Oh, bukan, dia memang sudah gila. Adikku pun tergila-gila padanya. Hah! Aku sudah bosan menasehatimu"
"Diam. Pergilah."

Siska terus menerus mengatakan hal-hal yang buruk. Hati Otto sudah terlalu beku untuk dipanas-panasi seperti itu. Tidak hanya Siska yang menasehatinya seperti itu. Seluruh keluarganya, dan juga teman-temannya. Dia tidak mengerti apa yang harus dia lakukan atau rasakan. Siska pulang dengan kesal, suaranya sama sekali tidak terdengar oleh hati Otto yang mati akan hal itu.

Dia kembali tenggelam dalam lamunannya. Kegelisahan dan rasa bingung bercampur jadi satu. Otto berdiri, melangkah perlahan meninggalkan danau. Danau kecil dan perkebunan itu dibatasi oleh pepohonan yang rindang. Otto berhenti di salah satu pohon di pinggir danau. Dia meraba ukir-ukiran di pohon itu: OF

"Aku merindukanmu"

Friday, July 1, 2011

Forgotten #7

"Hahhh.. Hahh.. Hahh.. Sekolah masih jauhh.. Aduh, kaki guee pegeel" Rene berhenti berlari dan terengah-engah
"Udahlah ne! Brenti ngomel! Bentar lagi kita ujian praktikum Biologi, loh," sahut Nico.
"Kalo terlambat, gak bakal ada pengampunan lagi!"
"Aduh, iya ya.. Si killer itu udah marah melulu 2 minggu ini. Pake ngancem nilai 0 buat yang telat lagi"
"Makanya.. Lu dari kemaren juga telat melulu, kan?"
"Huuh.. Lisa mana? Lis!Lisaaa! Huh, kemana dia?" tanya Rene
"Biasa lah.. Dia kan langsing, mungil, cepet larinya. Gak kayak kita"
"Huff.. Menyebalkan.."
"Udahlah, gendut, ayo cepetan larinya! Temen-temen udah jauh di depan tau"
"Udahlah, gendut! Lu temenin gue aja jalan pelan-pelan sampai sekolah"

KELAS 2IPA-B
"Anak-anak, sekarang bawa binatang-binatang yang sudah kalian bawa dari rumah. Letakkan di meja lab masing-masing dan mulai kerjakan dengan teman satu kelompok kalian. Kalian bertanggung jawab dengan binatang yang kalian pilih sendiri, ya! Kalian sudah mempelajarinya sendiri di rumah, kan? Baiklah. Ayo, ke laboratorium sekarang"
"Ya, buu"

Murid-murid kelas 2IPA-B berkerumun menuju loker mereka masing-masing. Keramaian yang biasa terdengar berubah menjadi suasana gelisah bahkan ada yang menangis ketakutan. Tampaknya teror tahun-tahun yang lalu lagi-lagi terjadi.
"Bu, binatang yang sudah kami siapkan hilang semua!"
"Ini pasti kerjaan orang gila itu lagi, gue pokoknya gak bakal pergi ke lab!"
Murid-murid menjadi riuh membicarakan apa yang terjadi
"Tenang, anak-anak! Harap tenang!" suara bu guru tenggelam dalam keributan anak-anak.

"AAAA"
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang siswi yang menghentikan keributan di depan loker. Semua anak serentak menuju ke laboratorium dan teriakan lain menyusul. Laboratorium menjadi tempat yang sangat menyeramkan Darah di mana-mana, organ-organ binatang berceceran di lantai, di atas meja, di wastafel, dan sebagainya. Kepala katak, anjing, kelinci juga ada di mana-mana. Kejadian seperti ini sudah dua-tiga kali terjadi dan tidak ada yang tahu siapa pelakunya. Anehnya, jika ini adalah salah satu bentuk teror, ancaman, atau pemberontakan, seharusnya terjadi peristiwa lain yang lebih besar dan lebih menjelaskan mengapa teror itu terjadi. Tetapi setelah peristiwa seram ini  terjadi, ternyata sekolah tetap aman dan tidak ada tanda-tanda protes siswa. Tidak ada pesan tertentu, ancaman lain, ataupun masalah lain. Sekolah sempat menelusuri siapa pelakunya. Walaupun tidak mengancam apa-apa, tapi kejadian ini mengganggu kegiatan belajar mengajar di sekolah dan merusak ketentraman sekolah. Tapi tak satupun jejak yang terlihat. Akhirnya sekolah mengabaikan peristiwa itu walaupun misteri tersebut tidak kunjung terselesaikan.

Anak-anak kembali ke kelasnya dan masih memperbincangkan keanehan tersebut. Kesibukan baru mereka itu membuat mereka tidak menyadari ada satu bangku yang kosong di pojok kelas.

****

"Loh.. Lisa, kok kamu sudah pulang?"
Lisa menghentikan langkahnya namun tidak menatap mamanya. Wajahnya pucat dan nafasnya tidak teratur. "Kamu kenapa, Lisa?" tanya mama
"Sakit, aku masuk ke kamar dulu, ya, ma. Kepalaku sakit sekali"
Dengan tergesa-gesa dan gelisah, Lisa pergi ke kamarnya dan duduk di atas tempat tidurnya. Keningnya berkeringat. Wajahnya ketakutan dan kebingungan.
"Aku melakukannya lagi. Kenapa?" Kata Lisa sambil memandang pisau dapur yang berlumuran darah