Wednesday, August 31, 2011

What I Want to Do

1. UN gak ada angka 8, muahaha.. moga2 gak ngimpi ketinggian
2. Ikut kepsek gw ke Suku Talang Mamak, ngajar selama 2 minggu! Harus nabung dari sekarang! :D
3. Sosiologi UI *phew* I still have to think about it again and again.. :(
4. Wakatobi or anywhere my sister want to go ^^
5. Picnic di taman, or ngobrol di sampan, or mam di bukit, or anywhere 'he' want to go
6. Keliling Indonesia, keliling dunia :)
7. Publish a book, terutama untuk orang-orang penting dalam hidup gw
8. daaannn bermimpi untuk hal2 lainnya :D

Monday, August 29, 2011

Forgotten #12


”Pa.. Ini..”
“Jangan bilang itu surat dari sekolah lagi”
Surat di tangan mama bergetar hebat, disusul isak tangis mama. Papa mengambil surat itu dari tangan mama.

Bapak/Ibu orang tua murid dari Melisa Handoko, sekolah mengharapkan Anda datang untuk bertemu dengan kepala sekolah perihal pelanggaran tata tertib membawa benda tajam ke sekolah. Peringatan keras. Terimakasih.

“Benda tajam?”
Tidak selayaknya ayah pada umumnya, bukannya marah, tapi ada satu ketakutan hebat dalam mata pria tegar itu.
“Pa, mama takut. Takut sekali. Kenapa jadi begini, pa? Lama-kelamaan makin parah. Beberapa kali soal berkelahi, sekarang benda tajam. Oh, Lisa..”
Papa tidak berkata apa-apa, ia hanya memeluk tubuh lemah yang terus mengucurkan air mata itu, berharap ada kekuatan yang menghibur mereka berdua.

***
Matahari sudah mulai terbenam. Sinar-sinar oranye membuat bayangan panjang rumah-rumah, tiang-tiang lampu, dan bayangan anak perempuan dengan tas sekolahnya. Lisa tidak lagi seperti Lisa. Semua orang tahu dia berubah, termasuk dirinya. Semua orang tidak mengerti apa yang membuatnya berubah drastis, termasuk dirinya.

Lisa yang lembut, manis, dan anggun. Gadis cantik dengan rambut panjang yang selalu rapih. Sore hari yang ia isi dengan goresan-goresan cat di canvasnya. Lisa yang rajin ke gereja, berdoa dan membaca Firman. Lisa yang itu sudah hilang. Entah kemana. Lisa selalu membawa perasaan marah, benci, dan frustasi. Lisa bingung. Terkadang ia menangis seorang diri, tidak tahu siapa dirinya, atau kemana dirinya pergi. Ia tidak suka menyakiti temannya, tapi setiap malam ia menikmati fantasinya bagaimana temannya itu akan mati, dengan tangannya. Lisa takut. Tapi tidak ada yang bisa melihat ketakutan itu dalam dirinya. Lisa tidak bisa menerima kekejaman itu dalam dirinya.

Semua orang hanya tahu Lisa sekarang seperti preman pinggir jalan. Nakal dan berandalan. Tapi tidak ada yang tahu waktu Lisa memungut kucing di pinggir jalan. Bukan membawanya ke rumah dan memberinya makan. Tapi mengikatnya di tiang jemuran, mengulitinya dan membuangnya ke tong sampah. Lisa tidak mengerti mengapa dia melakukannya. Ia hanya ingin sekali melakukannya dan itu membuatnya membenci dirinya sendiri.

Waktu ia melewati tempat penjualan dvd, ia tidak tahan mendengar teriakan wanita dalam film horror atau thriller. Ia tidak tahan untuk tidak berfantasi dengan teriakan itu. Lisa hancur hati. Satu tahun berlalu dari semenjak teror laboraturim dilakukannya. Berkali-kali ia terpikir untuk pergi ke psikiater atau rumah sakit jiwa. Berkali-kali dia menangis memohon ampun pada Tuhan. Sampai akhirnya ia jenuh dan lelah melihat dirinya lagi-lagi aneh seperti itu. Setiap hari yang ada hanya gelisah. Canvas di kamarnya sudah hancur berantakan. Tempat tidurnya juga hancur karena pisau yang ia simpan menghujam-hujamnya dengan tangan yang basah oleh air mata keputusasaan.

Lisa tertunduk, lalu meringkuk di dekat tong sampah, kakinya sudah tidak kuat berjalan di jalan tanpa ujung. Teman tidak ada. Tuhan pun tidak. Lisa menangis seorang diri. Mengutuki dirinya seorang diri. Untuk apa sampah seperti dia masih diberi hidup. Lalu di ujung jalan dia melihat ada bayangan lain selain dirinya. Berhenti beberapa jarak di depannya. Lisa mendongak dan tidak mampu lagi untuk terkejut.

“Fanny tetap Fanny, ya?” tante Susan menyapa dengan seringainya yang aneh.

Forgotten #11


Hari sudah sore, hanya anggota panitia perpisahan kelas 3 yang masih ada di sekolah. Ya, sebentar lagi Otto lulus SMA. Waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin Otto kehilangan Fanny. Ternyata sudah 3 tahun berlalu.

“Hei, rapat sudah selesai kalian gak pulang?” tanya Otto pada teman-temannya yang masih asyik melihat foto-foto lama.
“Bentar lagi, to.. Sini-sini! Kamu pasti geli sendiri liat kita waktu kecil dulu!”
Otto tersenyum ramah sambil menghampiri temannya.

“Sinta! Kamu culun banget waktu kelas 4! Hahaha!”
“Ih! Aku cariin foto kamu ya! Tuh! Tukang ngompol kelas 3c, inget gak?”
Tawa riang sahut-menyahut di ruang osis kecil itu. Mereka terus membalik-balik halaman album foto sambil mengkomentari setiap orang. Otto melihat satu foto temannya. Sella. Senyumnya redup. Sella teman sekelas Otto yang sangat cantik di SMP. Sebenarnya sejak SD mereka sudah kenal. Semua orang menyukainya. Dia sangat baik dan pintar. Hobinya melukis. Pernah waktu itu Sella dekat sekali dengan Otto. Sella memberikan hasil lukisannya sendiri kepadanya sambil mengutarakan perasaan sukanya. Otto terkejut, tapi tak bisa membalas apa-apa. Walaupun begitu, Otto tidak menjauhi Sella dan mereka tetap berteman baik. Sayangnya Sella meninggal.

Sekejap bulu kuduk Otto berdiri. Siapa yang menyangka gadis kecil itu hanya 14 tahun menikmati hidup. Kejadian itu bukan sekadar memori sedih bagi Otto, tapi momok yang tidak akan terlupakan bagi seluruh desa waktu itu.

Sella ditemukan tergeletak bersimbah darah di lapangan sekolah. Saat itu semua anak sedang ada di aula sekolah mendengarkan seminar tentang narkoba. Mendengar teriakannya, guru dan anak-anak langsung berhamburan keluar aula dan melihat Sella sudah tidak lagi bergerak. Ia jatuh entah dari lantai berapa. Dan di lantai 3, Fanny melihat ke bawah dengan tatapan kosong dan mengerikan.

Tidak ada saksi, juga tidak ada satu kata pun dari mulut Fanny. Polisi sempat menangkap Fanny untuk diinterograsi, namun akhirnya Fanny dilepaskan. Semua orang desa berpikir Fanny pembunuhnya. Tidak lama setelah itu..

“Kreeek!”
Mereka berdiri dari kursi mereka, Otto terbangun dari lamunannya.
“Ahhh.. saatnya pulaang.. Yuk, to pulang bareng”
“oh, iya iya..” kata Otto sambil tersenyum canggung

Sambil beranjak keluar Otto melihat album foto yang sudah ada di rak lemari kembali.

“ANGKATAN 2000/2001-2008/2009, SD-SMP GORO”

Tidak ada foto Fanny di sana. Gadis berambut pendek, kulit sawo matang, dan berbadan gemuk itu. Yang ada hanya bekas sobekan di halaman 32 dan 124, tempat foto Fanny seharusnya ada. Tidak ada yang senang mengenang hal yang buruk, bukan? Otto menghela nafas dan pergi.

Wednesday, August 17, 2011

Corat-coret Agustusan: Cinta dan Cita


Sudah 66 tahun negara ini berdiri. Indonesia, dengan Pancasila sebagai jiwanya. Merah putih sebagai darah dan tulang bangsa. Bahasa Indonesia sebagai pemersatu rakyat. Rentetan sejarah yang berlalu dan terukir dalam sanubari membawa kita semua pada detik ini. Detik dimana Pancasila tidak lagi dipandang sebagai dasar negara, diinjak-injak dan ditinggalkan. Masa dimana bendera merah putih dirobek, dibakar, dan dibuang.
Saya sangat sedih ketika membaca kutipan pidato Sukarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, “Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad ‘Merdeka, merdeka atau mati’!” Karena jika demikian, bangsa ini tidak merdeka. Bangsa ini kehilangan jiwa seperti itu.
Saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan, bendera merah putih dinaikkan, Pancasila dibacakan, hati siapa yang turut menggebu-gebu, tersenyum bangga terhadap Indonesia? Ketika beragam budaya dan keindahan Indonesia diapresiasi berbagai negara, siapakah yang peduli? Ketika melihat berbagai macam permasalahan dan kelemahan negara ini, siapa yang tidak hanya menggerutu namun berpikir apa yang dapat dilakukannya untuk negara? Kita semua tentu tahu jawabannya.
Tapi jangan berhenti di sana saja. Tulisan ini juga tidak bermaksud mematahkan semangat Anda atau membawa pesimistis dalam memandang bangsa dan negara ini. Ada segelintir orang aneh di tengah-tengah lautan manusia tanpa mimpi, apalagi mimpi untuk negaranya. Orang-orang ini bukanlah orang yang diperhatikan. Bahkan mungkin dianggap bodoh. Namun di tangan merekalah harapan terwujud. Di hati merekalah keberanian menderita untuk cita-cita itu ada. Bukan untuk apa-apa, selain perubahan lebih baik untuk negaranya.
Seorang yang memutuskan pergi ke pedalaman Papua, menjadi pendiri sekolah, kepala sekolah, guru, sekaligus yang merawat sekolah itu dengan banyak kesulitan. Ia harus berjuang setiap harinya  untuk menjangkau anak-anak, datang ke sekolah, dan memberi mereka pendidikan. Tidak jarang ia menghadapi panah orang tua murid jika anaknya mendapat nilai jelek. Sering ia kehilangan anak muridnya karena mereka tidak merasa perlu sekolah. Semua itu ia lakukan hanya karena ia tahu pendidikan itu penting. Karena ia punya mimpi untuk Indonesia.
Dalam hal seni, masih ada orang yang mengumpulkan wayang agar budaya tinggi itu tidak semakin pudar. Ada yang mempertahankan tarian daerah, musik daerah, teater, dan sebagainya. Dunia internasional mengakui keindahan budaya Indonesia, namun mereka tidak pernah diperhatikan di negaranya sendiri. Bahkan kita sendiri tidak tertarik untuk memelajarinya, bukan?
Orang-orang muda yang mendirikan beragam lembaga dan program untuk mendidik generasi muda, mengorbankan waktu dan tenaganya hanya untuk berbicara berkali-kali di depan banyak pemuda. Orang-orang yang memelajari dalam-dalam sejarah Indonesia, budaya Indonesia, dan ilmu-ilmu lainnya hanya untuk Indonesia lebih baik. Padahal mereka bisa saja menggunakan kepintaran dan waktu mereka untuk memperoleh pekerjaan yang menguntungkan mereka.
Juga orang-orang yang mengurus hal-hal yang ‘sepele’ dengan hati yang sangat besar. Orang-orang yang mengumpulkan anak-anak kecil untuk belajar bersama di kolong jembatan. Orang-orang yang datang ke desa untuk membangun desa, memberi keterampilan pada penduduk desa. Orang-orang yang terus memperjuangkan hak kaum tertindas yang tidak dianggap pemerintah. Dan orang-orang lain yang rela memeras diri demi mimpi untuk bangsanya.
Mereka tidak pernah tahu sebesar apa pengaruh mereka. Atau mungkin mereka melihat diri mereka sendiri melakukan hal yang sia-sia. Namun jiwa kebangsaan dalam hati mereka tidak padam. Terus berkobar. Bukan hanya memberi tenaga untuk mereka berjuang, tapi tanpanya hidup seolah remang dan hambar.  Cintai negerimu dan cita itu lahir.
"Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita" — Soekarno

Satu mimpi dan perjuangan mampu merubah Indonesia. Apa mimpi Anda?

Thursday, August 4, 2011

Dilematis Perkembangan Masyarakat dalam Masyarakat Tradisional

Perkembangan masyarakat ditentukan oleh 2 faktor besar, yaitu pendidikan dan perekonomian yang baik. Dua hal ini harus dimiliki oleh masyarakat. Dengan pendidikan yang berkualitas, masyarakat lebih terbuka wawasannya akan keadaan sekitar.  Masyarakat menjadi semakin mampu melihat apa yang salah dan memperbaikinya, menganalisis dampak setiap inovasi terbaru, melihat potensi dan ancaman, dan sebagainya. Pendidikan yang baik akan berpengaruh kepada banyak aspek yang membantu suatu masyarakat untuk berkembang. Sedangkan dengan perekonomian yang baik, taraf hidup masyarakat lebih baik, kesejahteraan, dan kesehatan lebih baik. Melalui dua hal ini, masyarakat yang berkembang juga mampu mengokohkan stabilitas suatu negara, mendukung pembangunan negara. 

Di Indonesia, masih banyak masyarakat tradisional yang tidak memiliki pendidikan yang memadai. Tidak usah berbicara mengenai pendidikan yang berkualitas, sekolah pun terkadang tidak dimiliki suatu daerah. Dalam hal perekonomian, masyarakat tradisional memiliki perekonomian yang sangat sederhana dan sangat sulit serta memakan waktu lama untuk mengembangkan keadaan mereka. Bahkan ada banyak kelompok masyarakat Indonesia yang mengalami kemiskinan dahsyat. Rendahnya pendidikan, rendahnya kesehatan, tingginya kemiskinan dan kriminalitas, lemahnya perekonomian. Hal-hal ini tidak mendukung suatu negara untuk berkembang, dan dapat menjadi gangguan bagi stabilitas negara. Maka kita harus berbuat sesuatu untuk menanggulanginya. 

Namun setiap kebijakan sosial yang dibuat pasti memiliki dampak tersendiri. Perkiraan akan perubahan sosial yang akan terjadi menjadi satu hal yang harus dipikirkan. Masalah pertama yang kami pikirkan disini adalah budaya atau nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional yang terancam hilang jika mereka bersentuhan dengan program-program pengembangan masyarakat. Masalah ini bahkan disadari juga oleh masyarakat tradisional sendiri. Contohnya desa Wae Rebo, Flores. Seorang warga berkata, “ada semacam dilematis dalam desa kami untuk menerima teknologi. Kami takut tradisi dan budaya kami akan hilang” (Majalah Tempo, 11-17 Juli 2011). Desa ini masih mempertahankan warisan budaya seperti mbaru niang, rumah tradisional yang hanya ada 7 buah di sana. Mereka tidak ingin menambah ataupun menghilangkan mbaru niang ini karena mitos yang dipercaya mereka. Yang menarik adalah, seorang arsitek dari Universitas Indonesia sengaja datang kesana untuk mempelajari arsitektur mbaru niang ini dan ternyata rumah tradisional ini memiliki teknik arsitektur yang tinggi. Banyak sekali turis asing yang sengaja datang ke Wae Rebo untuk melihat kebudayaan mereka dan tinggal di mbaru niang ini. Sangat sayang jika desa ini kehilangan budayanya, bukan? Jika infrastruktur, pendidikan, perdagangan, dan fasilitas lainnya diterapkan dalam masyarakat tradisional seperti ini, mungkin saja Indonesia bukan lagi menjadi negara yang kaya budaya karena perubahan sosial budaya yang terjadi.



Namun jika kita membiarkan mereka “tertinggal” begitu saja, bukankah kita menganggap mereka seperti “objek”? Misalnya saja kita membiarkan masyarakat Irian Jaya tanpa baju, hanya dengan pakaian tradisionalnya hanya karena tidak ingin kehilangan pemandangan kebudayaan tersebut. Tanpa memberikan mereka prasarana yang secukupnya, bukankah kita merebut hak mereka untuk mendapat kesempatan yang sama dengan masyarakat modern? 

Apa yang kami pikirkan adalah, pemerintah tetap harus memenuhi unsur dasar yang diperlukan. Pendidikan dan perekonomian. Pendidikan disini bukan hanya mendirikan sekolah lalu membiarkannya begitu saja. Suatu program sosial dalam masyarakat tidak boleh hanya sekadar ditanamkan lalu ditinggalkan, tapi harus terus dijaga, diperhatikan. Perekonomian cukup untuk mampu meningkatkan taraf hidup yang selayaknya bagi masyarakat desa. Selebihnya, tinggal bagaimana masyarakat itu berkembang.

Tidak hanya sampai disitu saja. Ada masalah lain yang muncul ketika kita memikirkan berpuluh-puluh tahun kemudian. Dengan pendidikan yang baik, masyarakat pasti berkembang. Tidak dapat dipungkiri masyarakat tradisional itu juga kemungkinan besar akan berkembang menjadi masyarakat modern. Kasarnya, desa akan berubah menjadi kota besar. Bayangkan saja desa-desa dengan budaya kentalnya berubah menjadi kota yang padat dan tidak peduli budaya seperti Jakarta. Apakah ini namanya siklus yang tidak ada ujung? Tidak. Pembangunan negara dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri seharusnya tidak hanya memikirkan perkembangan dan perkembangan saja. Dari pendidikan yang ditanamkan pada masyarakat tradisional, perlu adanya pendidikan yang berbudaya. Pendidikan yang mengajarkan mereka untuk tetap menghargai nilai-nilai budaya. Masalahnya adalah masyarakat modern sekarang saat dulu bersentuhan dengan teknologi, pendidikan formal, kemajuan, tidak diajarkan untuk juga mempertahankan budaya yang tinggi, yang baik. Hidup modern dan berbudaya bukan dua hal yang bertentangan. Berbudaya bukan berarti kolot, justru menjadi orang yang bijak dan melimpah.

Diambil dari tugas sosiologi – Joseph dan Heidy (4/8/11)

Forgotten #10

26 Juli 2005,
Fanny. Nama itu sekarang berputar-putar di kepalaku. Nama itu sering disebut-sebut dalam benakku saat mata ini melihatmu. Aku ingat waktu kecil dulu kamu sering bermain sendirian. Semua anak takut padamu, anak laki-laki sekalipun. Jujur, aku juga takut padamu, dulu. Walaupun aku tak mengenalmu.

Aku tak menyangka kamu anak dari bos papaku. Anak orang kaya pemilik seluruh perkebunan di desa ini. Walau tinggal di desa, tapi orangtuamu kaya raya dan sering ke luar kota. Aku juga tak menyangka papa memperkenalkan kita, dan kita satu sekolah sekarang!

Hmm.. Matamu sangat seram. Tapi bukan benar-benar seram. Entahlah, aku sedih melihatnya. Bukan takut.


17 Agustus 2005,
MERDEKA!! Fuh.. Hari ini aku seharusnya berpikir tentang kemerdekaan. Tapi gara-gara muka langka itu aku jadi sibuk memikirkannya.

Diary, hari ini seru sekali! Banyak permainan lucu dan menyenangkan di sekolah. Tapi yang ingin aku ceritakan bukan itu. Bukan perayaan 17an. Bukan juga sorakan anak-anak cewek yang berisik sekali. Heran, tiap kali aku mengikuti lomba mereka jadi seperti orang gila. Tapi yang ingin aku ceritakan.. SSSTTT! Theofanny.

Anton seharusnya ikut tanding tarik tambang dalam timku. Tapi dia tidak masuk hari ini. Jadilah Fanny yang menggantikannya. Cowok di kelasku tidak ada lagi. Disaat semua cewek takut dipilih, takut tangannya lecet, dia malah semangat sekali minta ikut. Dia berdiri di depanku, di baris terdepan tim kami. 

Lawan kami sangat kuat. Mereka menarik dengan sangat kencang. Kami tahu tenaga kami kurang, tapi kami terus berusaha. Sebelum detik-detik kami kalah, Fanny yang ada di posisi paling depan terseret dan hampir jatuh. Untungnya aku langsung menahan tubuhnya dari bawah. Aw! Malah aku yang ikut terseret dan lecet. Badanku kotor semua, perih rasanya.. :(

Tapi bukan itu masalahnya! SSSSTTT!
Muka Fanny.. 
Merah padam.
Tapi aku sama sekali tidak takut kena tonjokan mautnya. 
Karena matanya berbeda. 
Merah tersipu-sipu.
Dia terlihat kebingungan dan panik.
Sambil mengeluarkan handuknya, ia memberikannya padaku dengan perlahan,
"Maaf"
Lalu pergi.

Aku tertegun.
Wajahnya,
suaranya, 
matanya,
sangat lembut.


18 Agustus 2005,
 Argghh.. Sekarang aku yang aneh. Sepanjang hari aku mencari-cari Fanny. Setiap kali kami berpapasan, dia selalu pergi menghindariku.

Raut muka itu biasa kulihat, tapi terlihat janggal kalau itu milik Fanny.
Fanny dan kelembutan?
2 kata yang tidak masuk akal ada dalam satu kalimat.


25 Agustus 2005,
AW. Sakitttt. Untung saja dia cewek. Kalau tidak, sudah kubalas pukul lagi. Fuh.. Mungkin aku memang salah sih terus-menerus memerhatikan dan mengikutinya.

Tapi jangan kira aku akan menyerah mengenal siapa dirimu.
Aku tahu kau tidak sesederhana 'cap' yang diberikan orang lain padamu. Aku melihat ada yang lain. Apa yang ada dalam hatimu, Fanny?


3 Oktober 2005,
Diariku sekarang hanya berisi kamu, kamu, dan kamu. Gerak-gerikmu, matamu, kebiasaanmu, sampai keonaran di sekolah gara-gara kamu. Eits.. Tapi jangan GR dulu.

Mengenal kamu tidak segampang yang kupikirkan! Tiap hari aku bertanya banyak hal, bahkan bercerita banyak hal (karena aku tak tahu lagi bagaimana caranya membuat kamu berbicara denganku). Tapi selalu gagal.

Ah, lama-lama kau membuatku gila. Hmm.. Mungkin aku sudah gila juga sekarang. Tidak ada untungnya, bukan? Tapi tetap saja aku mau mengenalmu. Hmm.. : /

 ***

25.08.05
HAH! MENYEBALKAN SEKALI! SIALAN!

Apa sih maunya? Dasar genit! Cewek seperti aku pun dikuntitnya. Kurang banyak ya cewek cantik yang memuja dia? Menyesal aku meminta maaf padanya!

OTTO. Huh.. Apa yang kaulihat? Brengsek.


10.09.05
Apa-apaan anak itu? Mau kenal aku katanya? OTAK UDANG.


15.09.05
Tiap hari. Tiap hari. Tiap hari! Sialan, mengganggu saja. Aku tak mengerti padanya.


10.10.05
Enak, ya kalau punya cita-cita. Peneliti apa katamu? Botanika ya? Ah, apalah itu. Hmm.. Cita-citaku adalah memiliki cita-cita. Orang sepertiku, apa sih yang bisa diharapkan?

Beruntung juga, ya aku. Tak usah keluar uang, ada radio butut yang mengikutiku kemana-mana. Sayang tidak ada tombolnya. Waktu dia mulai menyebalkan kan aku bisa menghilangkan suaranya.

Hei, butut.. Jangan rusak dulu, ya?


15.11.05
"Otto.. Ajari aku berteman"

***

15 November 2005
"Ajari aku berteman"