Saturday, March 3, 2012

Teater

Ingatan saya tentang lakon yang dipentaskan Teater Koma semalam masih terasa segar. Musik, tarian, properti, baju, dialog, humor, dan berbagai unsur seni lainnya masih memukau saya. Sie Jin Kwie seri ke-3 ini memang tidak meninggalkan kesan sekuat Sie Jin Kwie seri ke-2 yang saya tonton sebelumnya. Namun alur cerita yang cukup membosankan selama kurang lebih 4 jam itu, tidak membuat saya kecewa membanggakan karya teater tanah air ini. Bagi saya, pementasan teater yang baik bukan dilihat hanya dari segi ceritanya saja. Teater bukan drama. Drama hanya sebagian kecil dari teater. Teater adalah gabungan semua-semuanya. Saya bersyukur saya mengenal arti teater seperti ini dari buku “Kitab Teater”, karya N.Riantiarno.


Kurang lebih setengah satu pagi saya baru keluar dari TIM. Saat itu saya sedikit kecewa karena teman yang saya perkenalkan pada teater koma ternyata kurang puas dengan penampilan mereka hari ini. Overall memang bagus, namun dia tidak mendapat kesan sekuat apa yang saya dapat dahulu, saat pertama kali menonton mereka. Maklum, dalam alur cerita terjadi banyak pengulangan sampai-sampai penonton sudah enggan tertawa akan humor yang sama. Durasi 4 jam lebih juga cukup menyiksa di malam hari itu. Tapi bagi saya sendiri, pementasan tersebut tetap great.

Saya menikmati setiap detil yang coba saya perhatikan. Sesekali saya mendengarkan aktor mengucapkan dialognya, namun mata saya memerhatikan setiap detil tata artistik yang ada. Saya terus berdecak kagum dan bergumam terpesona memikirkan bagaimana mereka bisa membuat properti sebagus itu. Terkesan mewah, indah, dan pergantian properti yang satu dengan yang lain begitu halus dan indah. Satu yang paling saya kagumi dan membuat saya penasaran adalah “wayang tavip”, dengan dalangnya yang lucu pastinya :D

Pagi ini saya buka-buka lagi buku acara Sie Jin Kwie. Wah, kali ini ada beberapa catatan yang menarik untuk dibaca. Ternyata untuk pementasan Sie Jin Kwie seri terakhir ini, mereka membutuhkan 350 potong baju! Ditambah lagi, teater koma memutuskan untuk mencari-cari batik yang sesuai dengan pementasan ini dan akhirnya mereka mengambil “batik peranakan” sebagai dasar dari semua motif yang ada. Mengenai wayang tavip, ternyata wayang tersebut adalah wayang cina-jawa yang sempat mati di Orde Baru. Mereka menghidupkannya lagi! Dan ternyata, wayang tavip ini juga menjadi satu siasat untuk mengakali durasi naskah yang sangat sangat panjang! Draf naskah pertama untuk setiap seri ternyata 7-8 jam! “Rasanya sayang sekali membuang begitu banyak adegan. Ini sulit karena setiap adegan seperti memiliki satu kaitan yang tidak dapat dipisahkan dan ciri khas serta makna yang tidak dapat diabaikan,” kira-kira seperti itu komentar N.Riantiarno. Inilah yang membuat saya mengerti mengapa harus begitu lama mementaskan satu seri saja.
 "panggung" kecil untuk wayang tavip ini bisa digeser dengan mudah loh! Caranya?  Wayangnya darimana? @@

 Tidak hanya tokoh wayang yang bergerak, awan, bangunan, semuanya wayang!

Tidak ketinggalan musik dan tarian yang ada dalam teater ini. Musiknya sengaja disusun utnuk memberikan nuansa cina yang juga mengandung nuansa Indonesia! Tarian-tarian yang ditampilkan juga sangat baik, sekalipun saya sama sekali tidak ahli menilainya. Namun, “jurus-jurus yang ada tidak disajikan dengan silat, tapi dengan tarian,” menurut saya ini sangat unik dan indah. Saya penasaran sekali dengan penari arwah yang hanya tampil sekali dengan topeng. Saat pementasan selesai, dia juga memberi hormat tanpa melepas topengnya. Baju, rambut, dan topengnya mengingatkan saya pada bidadari merah! (dan itu membuat suasana sangat mencekam, suasana kematian orang-orang besar milik kerajaan Tang). Ternyata dialah wanita yang mengarahkan semua tarian yang ada dalam pementasan ini! Ah! Sesuatu banget, deeehh!

 Raja Lisibin dalam "Sie Jin Kwie Kena Fitnah" (2)
 Biejin dalam "SIe Jin Kwie Kena Fitnah" (2)

Ups, saya tidak ingin membocorkan terlalu banyak (yang sepertinya sudah sangat banyak) mengenai lakon ini. Silahkan teman-teman jangan ragu datang dan menontonnya! Harga tiketnya sangat murah untuk menonton pementasan legendaris seperti ini. RP 50.000- Rp 200.000 (sudah termasuk hari biasa dan akhir minggu). Saya merasa uang Rp 150.000 sangat tidak sebanding dengan kemegahan yang sudah saya lihat.  Mungkin sebenarnya terlebih lagi, pada perjuangan teater koma mendidik bangsa yang tidak melek budaya. Perjuangan untuk menghidupkan budaya bangsa. Menghidupkan kecerdasan berbudaya di tanah air tercinta ini. Sungguh saya salut terutama pada N.Riantiarno yang mengharumkan Indonesia.

Akhir kata, teater bukan sekadar menonjolkan satu tokoh central yang menguasai seluruh pementasan. Teater bukan hanya tempat mendengar cerita. Teater mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui segala bentuk seni: sastra, artistik, tarian, musik, tata panggung, dan sebagainya. Itulah sebabnya teater yang baik bukan hanya karena aktor atau ceritanya bagus. Tapi karena melaluinya, kita dapat menghargai budaya, menyadari nilai-nilai kehidupan, bersyukur dan menjaga apa yang sudah diberikan sekarang pada kita.