Saturday, April 21, 2012

The Bond of Grace


Untuk kamu,

Aku, yang penuh banyak kekurangan dan kesalahan, cukup lega ada di titik ini. Di titik dimana aku tidak lagi kecewa melihat realita yang tidak sesuai harapan. Di titik dimana aku bisa menerima ketidaksempurnaan yang ada, untuk bisa bersama-sama saling menyempurnakan. Di titik dimana aku hanya dapat diam, melihat, mendengar, dan terus mencoba untuk belajar. Belajar dari banyak hal, salah satunya dari kita – atau lebih tepatnya, dari kalian.

Hari itu aku sadar aku punya keluarga kecil yang patut disyukuri. Pernah, aku bertanya kenapa aku harus berada dalam satu “rumah” bersama dengan mereka. Jangan salah, aku yakin mereka pun juga tidak memilih aku atau mereka yang lain menjadi satu keluarga. Pada dasarnya, tidak ada manusia yang cocok, bukan?

Tapi aku terharu karena tiba-tiba aku sadar, aku menyayangi mereka, entah sudah atau baru berapa lama. Jika engkau melihatku marah, atau tidak suka, atau bahkan menghina, tolong maafkan arogansiku. Tapi kau tahu kan kalo keluarga adalah orang paling menyebalkan, paling sering mencari masalah, tapi tidak akan pernah pensiun menjadi keluarga? Ya, sekali keluarga tetap keluarga. Kamu tidak memilih aku menjadi keluargamu, begitu sebaliknya. Tapi Bapa yang memilih kita, menempatkan kita dalam satu “rumah” ini.

40 anak SMA Kristen Calvin. Kita bukan sekadar institusi. Bukan sekadar daftar nama siswa di sebuah sekolah. Kita adalah orang-orang yang Tuhan kumpulkan jadi satu untuk belajar bersama-sama dan untuk diperkenalkan pada Tuhan. Kata “Tuhan” di sini membuat semua cerita ini jadi sungguh berbeda, sungguh mengharukan.

Kita diikat bukan oleh ruang kelas yang sempit. Bukan oleh seragam. Bukan oleh sekadar solidaritas anak SMA. Tapi kita adalah satu keluarga yang diikat oleh anugerah Tuhan. “Saat kalian semua keluar dari tempat ini, status kita adalah sama. Sama-sama murid Yesus. Dan kita semua telah membaca 2 orang yang sama-sama adalah murid Yesus tapi punya akhir yang berbeda: Petrus dan Yudas.”

Hatiku bergetar mendengarnya. Mendengar nama Yudas disebut. Aku tidak dapat membayangkan jikalau sampai ada Yudas di tempat ini. Aku tidak dapat membayangkan berjalan perlahan menuju tempat Bapa di sorga tanpa ke-39 yang lain. Atau lebih parah lagi, aku melihat saudara-saudaraku berjalan tanpa aku di sana. Tuhan, aku mau berkumpul bersama mereka kembali. Selepas dari “rumah” kami di sini, kami tidak akan bertemu lagi. Tapi aku sungguh ingin Tuhan berkumpul kembali bersama denganMu dalam rumah baru kami. Bersama. Tanpa satu pun yang tertinggal.

Di tengah setiap tawa, senang, susah, dengki, benci, muak, iri, dusta, haru, harapan, ikatan itu tetap ada.
Terlepas dari aku dan kamu jauh, sangat jauh, dekat, atau sangat dekat. Ikatan itu sama.
Ikatan belas kasihan.
Ikatan harapan.
Ikatan yang, terus membuat kita bergandeng tangan, membantu siapa-siapa yang tersandung atau terjatuh lalu berjalan lagi, bersama-sama.
Ikatan yang, mengingatkan setiap kita akan anugerah Tuhan pada kita semua yang hina dan tidak layak ini.
Ikatan yang... Kekal.


Dengan sayang dan doa,
11 April 2012


Aku



Thursday, April 5, 2012

Beneath the Cross of Jesus

Di bawah salib Yesus kutinggallah teduh
Dilindung dalam Batu Karang dengan berteduh
Tempat senang jika lelah dan rasalah beban
Waktu menanggung berat mendapat perhentian

Upon that cross of Jesus
Mine eyes at times can see
The very dying form of One
Who suffered there for me;
And from my stricken heart with tears
Two wonders I confess;
The wonders of redeeming love
And my unworthiness

Lagu yang sangat indah ini menceritakan paradoks salib yang begitu mulia. Di bawah salib tanda sengsara dan kepedihan, ada rasa lega dan senang. Ada suasana teduh dalam harmoni lagu ini, namun air mata juga dengan mudah diteteskan karena lagu ini. Tangis dan pukulan pada dada bukanlah sebuah tangis kekalahan. Tangis itu adalah rasa takjub campur haru dan heran yang tak terbendung. Memandang Sang Anak Domba yang disembelih berkata “Tetelesthai”, kemenangan atas maut dan harapan untuk manusia yang menjijikan ini.

Di bawah salib, kita mendengar Yesus berkata “Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Siapakah Dia yang tubuhnya sudah hancur, menerima segala caci maki dan siksaan masih dapat berdoa dengan penuh belas kasihan?

Di bawah salib, kita melihat Yesus berkata “Aku haus.” Oh, Dialah Tuhan yang sungguh mau menjadi manusia dan menderita.

Di bawah salib, kita melihat kegagalan terbesar dalam sejarah. Seorang pemimpin agama yang mati di kayu salib, dihina, sendiri, tanpa murid-murid yang menemani-Nya. Itulah kegagalan di mata manusia, bukan di mata Allah. Di bawah salib kita dengar, “Tetelesthai”, sebuah kalimat yang diucapkan para atlet yang telah menembus garis finish sebagai tanda kemenangannya. Tuhan Yesus Kristus telah menang atas maut. Inilah satu-satunya kematian dalam sejarah yang mengalahkan maut.

Di bawah salib, kita gemetar, menyadari Dia yang rela menggantikan kita di atas sana, menebus dosa-dosa kita yang begitu kotor. Kita begitu tidak layak menerima kasihNya yang luar biasa. Kita semua adalah Gomer si pelacur itu yang tidak lagi diingini siapapun, lalu dibeli dengan cinta yang tak seorang pun dapat menggantikannya. Siapakah kita dapat membeli sorga dengan segala kesalehan kita? Kita adalah dosa seluruhnya. Dalam rasa malu dan keterpurukan, di bawah salib, kita mendengar Tuhan berkata, “Sesungguhnya, hari ini juga, engkau akan bersama-sama dengan Aku di Firdaus.”

Di bawah salib, biarlah kita berkata:

I believe in a hill called Mount Calv’ry
I believe whatever the cost
And when time has surrendered
And earth is no more, i’ll still cling to that old rugged cross