“The moon stays bright when it doesn’t avoid the night” – Rumi
Apa kabar?
Aku tahu malam ini tidak akan
sesederhana kedengarannya. Pertanyaan pembuka yang se-klise itu mengantar kita
ke 6 jam penuh kata. Sudah lama kita tidak tenggelam dalam kerumitan kata dan
hidup.
Rasanya sudah lama aku tidak melihat ombak-ombak mimpi dalam
cerita-ceritamu.
Ya, sudah lama aku menghindari laut dalam yang
menguras tenaga untuk berenang. Memilih bermain ringan di pinggir pantai,
membiarkan diri dipermainkan ombak yang sesekali menggelitik kakiku.
Kemana semangatmu? Mimpi-mimpimu? Rencanamu? Hasratmu? Kemana kamu?
Aku tersenyum dan melumat quiche yang biasa aja dan tidak ada
istimewanya. Biasa, membosankan. Sama seperti aku.
Itu karena kamu terlalu sibuk melihat yang lain-lain dan lupa dengan
semua yang ada di depanmu. Kamu harus pikirkan…
… dan aku kembali ke dalam
dalamnya laut, rumitnya hutan, dan luasnya samudera tanpa arah. Mungkin memang
bukan tempatku bersantai-santai di pinggir pantai. Mungkin memang merekalah rumahku.
Laut dalam, hutan lebat, samudera luas. Merekalah aku.
Kita memang berbeda dari orang lain. Orang-orang seperti kita memang
harus begini. Mungkin kaki kita tidak seringan mereka. Tawa kita tidak selepas
mereka. Tapi merekapun tidak sedalam kita. Ingat-ingatlah tujuanmu. Jangan
hanya murung dan menggerutu.
Haahh.. Kenapa susah sekali punya
hati yang bersyukur? Aku selalu mengunci dunia dengan pandangan yang salah.
Pandangan yang sepertinya dunia itu hanya aku, aku, dan aku. Kami pun
memutuskan untuk pulang. Untuk mengakhiri petualangan kita di lautan kata-kata
yang melelahkan. Namun..
Eh, mau liat bintang! Nanti temenin ke atas ya!
Saat itu juga aku tahu malam ini
akan berakhir dengan tenang. Kegelisahanku akan segera habis disedot teropong
bintang! :D
***
Petualangan mendadak (di rumah
sendiri) ini dimulai dari tangga menuju ke atap rumah. Tidak kusangka, naik
tangga begini saja aku takut. Tapi untungnya rasa serunya melebihi rasa takut
keplesetnya hehe. Setelah setengah jalan, ada pintu kecil di kanan tangga. Aku
dan kakakku masuk, lalu naik ke atas atap. Sambil menunggu kakak menyiapkan
teropong bintang, aku iseng-iseng dulu dengan binocular. Melihat titik bintang
Jupiter, titik Orion’s belt, dan.. apartemen tetangga haha.
tangga menuju surga, ga ding lebay |
sebelum foto bintang, foto narsis dulu hehehe |
di atas atap rumah, Kemayoran, Jakarta pusat (photo by: Ivan Rahardjo) |
Nah, sekarang kalau mau liat Jupiter…
Aku pun mendengarkan dengan
seksama. Sayang yang masuk hanya beberapa persen. Ia menunjukkan gambar-gambar
nebula dan bintang-bintang yang sudah pernah ia foto. Indah-indah sekali. Ada
nebula yang bisa memancarkan warna merah dan kebiruan. Foto-foto itu tidak
diedit sama sekali, ditangkap oleh kamera DSLR. Padahal kalau dilihat kasat
mata, nebula hanya berupa gas-gas yang tidak berwarna. Ternyata itu karena mata
kita di malam hari tidak mampu menangkap warna asli dari nebula tersebut.
Bulan aja segini, gimana Jupiter coba.. Segede apa dia.. Dia kan jauh
banget..
Terbayang olehku Jupiter yang
jauuuhhh sekali. Setiap 50 tahun sekali, jarak paling dekat Jupiter ke bumi adalah 368 juta mil. Wow… Lalu kakakku yang diam-diam keren menjelaskan juga
teknik mengambil gambar Jupiter dengan cara merekamnya selama 1 menit. Setelah
direkam, dengan software tertentu
dipilih foto-foto yang fokusnya paling baik. Tanpa menggunakan teknik ini, foto
Jupiter akan sangat kabur karena ia terus bergerak-gerak di teropong.
Nah kalau dilihat, ada gugusan bintang seven sisters/kartika di sana,
di dekat Orion. Ga heran mitologinya Orion mengejar-ngejar seven sisters hehe..
Bintang-bintang itu ada loh dicatat di Alkitab..
Menarik sekali mendengarkan kakakku
bercerita tentang bintang dan hobi barunya itu. Aku jadi ingin mencari tahu
juga seputar astronomi. Mengenal besarnya Sang Pencipta lewat ciptaanNya. Apa
yang dibicarakannya sebenarnya sedikit banyak ada di pelajaran geografi di
sekolah. Tapi kalau dijelaskan dengan cara seperti ini rasanya lebih menarik
dan lebih real. Karena itu aku sangat
setuju model pengajaran dalam pendidikan yang menekankan relasi murid dengan
alam secara langsung. Jadi murid mengenal alam bukan dari buku teks saja, bukan
untuk dihafal saja, tapi juga untuk dinikmati. Terlebih lagi, lewat alam kita
bisa semakin mengenal Sang Pencipta. Dan ternyata alam itu memang efektif
sekali untuk mengajak aku melupakan diriku, diriku, dan diriku. Hanya dalam
sekejap aku lupa berpikir tentang aku, aku dan aku. Jadi teringat percakapan
aku dengan seorang kekasih.
Kamu itu negatif dan pesimis. Semua isi dunia kamu pandang jelek.
Bukan pesimis. Aku realistis.
Memang semuanya itu jelek.
Itu karena kamu belum melihat indahnya dunia di luar sana. Masih banyak
hal indah di luar sana kok..
Indahnya dunia, luasnya dunia, seharusnya
mampu mengajak aku merubah cara pandangku. Mengajak aku untuk mengambil jarak
dan melihat dengan lebih besar. Mungkin sampai 368 juta mil atau lebih. Bukan melihat diriku saja. Tapi melihat jauh
lebih luas. Untuk bersyukur. Untuk bersukacita. Untuk dapat mulai berjalan
dengan arah yang jelas dan tidak kabur lagi.
Melihat lebih luas, bukan berarti
menghindar dari masalah. Tapi memberi hati yang lebih luas dan tidak egois
dalam menghadapi masalah hidup.
"We are all like the bright moon, we still have our darker side" - Khalil Gibran (photo by: Ivan Rahardjo) |