Aku bukan sastrawan yang bisa menulis puisi kapan saja
Atau mungkin sastrawan seperti aku?
Yang menanti puisi sampai ia datang di saat aku sudah lupa
sedang menantinya datang
Entahlah
Bagiku puisi itu centil dan menggemaskan
Tidak ada saat dicari-cari
Tapi datang tiba-tiba saat tembok pertahananku sedang lengah
Ia ada dalam pojok cafe kosong tak berpenghuni
Ia ada dalam setiap getaran tangan yang tersengat listrik
sakit hati
Ia ada dalam senyum patah yang berusaha menutupi nyeri
belati di dada
Ia ada dalam rasa sayang yang melebihi egoku padamu, sahabat
Ia ada dalam bulan bintang yang kulihat saat memikirkan kamu
Ia ada dalam keheningan malam kita berdua yang
menggebu-gebukan jantung di dadaku
Ia ada dalam sisa-sisa pembicaraan panjang yang tak rela
kita sudahi
Ia ada dalam setiap hiburan pohon-pohon, angin, dan burung
gereja kiriman Sang Penghibur
Ia tidak selalu ada
Tapi ada dimana-mana
Di udara dimana rasanya ia akan cepat menghilang
Di momen yang kusadari untuk cepat menangkapnya
Merasakan setiap nafas, getar, iramanya
Menjauhkan teh dan makan siangku,
Menulis surat kepadamu,
hai puisi yang sudah berhasil
kutangkap.