Untuk
kamu,
Aku,
yang penuh banyak kekurangan dan kesalahan, cukup lega ada di titik ini. Di titik
dimana aku tidak lagi kecewa melihat realita yang tidak sesuai harapan. Di
titik dimana aku bisa menerima ketidaksempurnaan yang ada, untuk bisa
bersama-sama saling menyempurnakan. Di titik dimana aku hanya dapat diam,
melihat, mendengar, dan terus mencoba untuk belajar. Belajar dari banyak hal,
salah satunya dari kita – atau lebih tepatnya, dari kalian.
Hari
itu aku sadar aku punya keluarga kecil yang patut disyukuri. Pernah, aku
bertanya kenapa aku harus berada dalam satu “rumah” bersama dengan mereka.
Jangan salah, aku yakin mereka pun juga tidak memilih aku atau mereka yang lain
menjadi satu keluarga. Pada dasarnya, tidak ada manusia yang cocok, bukan?
Tapi
aku terharu karena tiba-tiba aku sadar, aku menyayangi mereka, entah sudah atau
baru berapa lama. Jika engkau melihatku marah, atau tidak suka, atau bahkan
menghina, tolong maafkan arogansiku. Tapi kau tahu kan kalo keluarga adalah
orang paling menyebalkan, paling sering mencari masalah, tapi tidak akan pernah
pensiun menjadi keluarga? Ya, sekali keluarga tetap keluarga. Kamu tidak
memilih aku menjadi keluargamu, begitu sebaliknya. Tapi Bapa yang memilih kita,
menempatkan kita dalam satu “rumah” ini.
40
anak SMA Kristen Calvin. Kita bukan sekadar institusi. Bukan sekadar daftar
nama siswa di sebuah sekolah. Kita adalah orang-orang yang Tuhan kumpulkan jadi
satu untuk belajar bersama-sama dan untuk diperkenalkan pada Tuhan. Kata
“Tuhan” di sini membuat semua cerita ini jadi sungguh berbeda, sungguh mengharukan.
Kita
diikat bukan oleh ruang kelas yang sempit. Bukan oleh seragam. Bukan oleh
sekadar solidaritas anak SMA. Tapi kita adalah satu keluarga yang diikat oleh
anugerah Tuhan. “Saat kalian semua keluar dari tempat ini, status kita adalah
sama. Sama-sama murid Yesus. Dan kita semua telah membaca 2 orang yang
sama-sama adalah murid Yesus tapi punya akhir yang berbeda: Petrus dan Yudas.”
Hatiku
bergetar mendengarnya. Mendengar nama Yudas disebut. Aku tidak dapat
membayangkan jikalau sampai ada Yudas di tempat ini. Aku tidak dapat
membayangkan berjalan perlahan menuju tempat Bapa di sorga tanpa ke-39 yang lain.
Atau lebih parah lagi, aku melihat saudara-saudaraku berjalan tanpa aku di
sana. Tuhan, aku mau berkumpul bersama mereka kembali. Selepas dari “rumah”
kami di sini, kami tidak akan bertemu lagi. Tapi aku sungguh ingin Tuhan
berkumpul kembali bersama denganMu dalam rumah baru kami. Bersama. Tanpa satu
pun yang tertinggal.
Di
tengah setiap tawa, senang, susah, dengki, benci, muak, iri, dusta, haru,
harapan, ikatan itu tetap ada.
Terlepas
dari aku dan kamu jauh, sangat jauh, dekat, atau sangat dekat. Ikatan itu sama.
Ikatan
belas kasihan.
Ikatan
harapan.
Ikatan
yang, terus membuat kita bergandeng tangan, membantu siapa-siapa yang
tersandung atau terjatuh lalu berjalan lagi, bersama-sama.
Ikatan
yang, mengingatkan setiap kita akan anugerah Tuhan pada kita semua yang hina
dan tidak layak ini.
Ikatan
yang... Kekal.
Dengan
sayang dan doa,
11
April 2012
Aku