Jakarta.
Sesak, penat, dan tak bersahabat. Mirip seperti kereta Commuter Line yang menjadi transportasi rutin saya menuju kampus. Penuh
sesak dengan orang-orang yang mengejar mimpinya di tempat kerja masing-masing. Mereka
harus tahan dalam kepadatan orang berpuluh-puluh menit untuk sampai ke tujuan.
Sulit bernapas, sulit bergerak, berkeringat, setiap harinya! “Wah nggak tahan, mbak.. Tapi mau gimana lagi
ya.. Namanya kerja, cari duit, tuntutan lah,” kata seorang ibu pada saya.
Saya
beruntung karena tidak perlu seperti itu setiap hari. Saya lebih sering pergi
ke Depok di pagi hari dan kembali ke Jakarta Kota di sore hari, sehingga kereta
yang saya tumpangi tidak terlalu penuh sesak dengan penumpang lainnya. Suatu
sore di gerbong kereta yang sepi, saya menikmati perjalanan saya yang ditemani
sinar matahari yang akan segera tenggelam. Lumayan untuk mengistirahatkan
penatnya pikiran seharian itu. Saya turun di stasiun Djuanda. Sesekali mengintip
senja sambil berjalan keluar dari stasiun. Namun, suasana hati yang tenang itu
sekejap hilang ketika melihat kerumunan orang berlari-larian menuju kereta
seolah esok tidak ada lagi. Beberapa orang seperti tidak melihat saya dan
menabrak saya begitu saja. “Kasihan sekali,” pikir saya. “Kalau saya saja tidak
bisa mereka lihat. Bagaimana mereka bisa menikmati senja di Djuanda?”
Saya
rasa fenomena itu bukan hanya menunjukkan suasana hati saya yang melankolis.
Tapi juga ritme cepat masyarakat kota yang membuat masyarakat penat, lelah, dan
tidak mampu lagi – atau tidak sempat – menikmati hal-hal kecil di sekitar
mereka. Seperti yang digambarkan Michael Ende dalam novelnya yang berjudul
Momo, masyarakat modern seolah-olah memiliki waktu yang semakin hari semakin
sedikit namun menuntut mereka untuk kerja lebih dan lebih lagi. Tidak seperti
masyarakat desa yang bisa memakai dan menikmati waktunya dengan leluasa, masyarakat
kota butuh mengejar-mengejar waktu karena “time
is money!”.
Beberapa
langkah dari stasiun Djuanda, saya melihat baliho iklan Condominium mewah
terpampang. Sepanjang jalan saya menuju ke rumah, iklan demi iklan menawarkan
begitu banyak kesenangan dan kenyamanan hidup. Inilah “agen-agen” yang
memasarkan tuntutan-tuntutan tak terlihat yang memaksa masyarakat kota untuk
mengejar itu semua. Iklan-iklan itu menjadi mimpi tiap-tiap orang untuk diraih.
Menjadi pengingat mereka akan alasan mereka rela berdesak-desakkan di dalam KRL
dan melewati nikmatnya senja yang meregangkan penat. KRL seolah menjadi
miniatur kota Jakarta yang padat, penat, namun menyimpan sejuta mimpi
orang-orang di dalamnya.
Di
dalam KRL kita juga bisa melihat wajah masyarakat kota Jakarta yang lainnya:
tidak bersahabat. Sosiolog bernama Tonnies berkata, “Kota adalah tempat yang
penuh dengan orang-orang yang tidak saling kenal”. George Simmel menambahkan.
Tidak hanya tidak saling kenal, tapi juga tidak mau saling kenal. Ia berkata
bahwa kota menyuguhi kita dengan gambar-gambar, impresi, sensasi, dan aktivitas
dengan cepat. Kita tidak mampu meresponnya dengan sempurna. Karena itu supaya
kita mampu bertahan, kita menarik diri dan menjadi impersonal. Itulah
masyarakat kota. Ternyata wajah itulah yang juga saya temukan di dalam kereta.
Jarang sekali saya menemukan ada orang yang saling berbicara satu sama lain.
Bertegur sapa atau bahkan sekedar tersenyum pun tidak. Semuanya menunjukkan
wajah yang tidak bersahabat atau wajah yang tidak mau diganggu karena ia sudah
sibuk berbicara dengan teman setianya: gadget.
Julie
Kagawa berkata, “Seiring bertumbuhnya kota dan teknologi menguasai dunia,
kepercayaan dan imajinasi menghilang, begitu juga kita”. Masyarakat kota
teralienasi dari orang-orang sekitarnya. Orang-orang di dalam kereta begitu
sibuk berkomunikasi dengan gadget-nya
masing-masing dan bukan dengan orang di dekatnya. Orang-orang berdekatan sekali
secara fisik, namun sangat impersonal satu dengan yang lainnya.
Ironisnya,
imaji-imaji ini tidak hanya terjadi di KRL tapi juga dimana-mana. Di jalan, di
halte bus, di dalam busway dan di
berbagai sudut-sudut kota Jakarta. Mungkin memang seperti itulah masyarakat
kota. Mungkin memang itulah kita. Tapi kita adalah kita. Kita bisa menentukan
siapa kita. Kota adalah sebagaimana warganya. Ketika banyak orang melewatkan
senja, membenamkan senyum, membisukan sapaan, dan menambah penat kota Jakarta –
kita bisa berbuat sebaliknya.