Gw
gak tau rasanya sendirian. Benar-benar sendirian. Gw gak tau rasanya hidup
tanpa ada orang yang sayang sama gw. Tanpa tau tujuan hidup gw apaan.
Beberapa
bulan yang lalu, nyokap gw bawa karyawan (suster) nya ke jakarta buat jadi
pembantu. Di rumah baru gw di Jakarta gak ada pembantu. Kebetulan ada suster
dari praktek dokter nyokap gw yang udah gak tahan hidup di Tegal (kota asal gw,
tempat nyokap gw masih tinggal sekarang). Asalnya dari Purwokerto, tapi
sekarang tinggal di Tegal sama keluarga suaminya. Waktu menikah, dia pikir
suaminya punya rumah sendiri dan suaminya ustad. Ternyata suaminya tukang sapu
mesjid yang males kerja dan masih nebeng di rumah nyokapnya. Alhasil, dia, mbak
Nani jadi sapi perah di sana. Dimintain duit sana sini, padahal suaminya juga
ogah-ogahan kerja. Banting tulang demi hidup dia sendiri dan hidup orang-orang
di sekitarnya yang minta-minta ke dia. “Aku gak akan minta-minta seperti
mereka. Aku gak mau dibantu. Aku cukup terima apa yang jadi hak ku saja,”
katanya.
Mbak
Nani punya seorang anak, 5 tahun. Mbak Nani pengen bgt skolahin anaknya
tinggi-tinggi supaya gak seperti dia. Itulah tujuan hidup dan impian mbak Nani
satu-satunya. Tapi dengan kondisi “diperas” dan tidak dihargai, dia akan sangat
sulit menyekolahkan anaknya. Akhirnya dia bekerja di Jakarta, tinggal bersama
saya, kedua kakak saya dan kakak ipar saya. Kami sangat senang dengan
kehadirannya. Kami sangat menyukai perangainya yang sangat polos, lucu, dan apa
adanya. Sekalipun banyak sekali pekerjaan yang berantakan, kami mengajarinya
pelan-pelan dan kami sangat comfort dengannya. Banyak kejadian lucu dan
menyenangkan di rumah. Kami juga senang saat dia sekarang menjadi lebih baik
dalam bekerja. Dari yang awalnya gak bisa masak, sampai bisa masak banyak
resep. Gw sempat sangat kagum dan heran, bagaimana mungkin dalam tekanan yang
begitu keras dia masih bisa tersenyum polos dan jujur?
“Di
sini aku senang, hed. Jauh dari komunitas. Jauh dari tekanan. Gajiku juga gak
aku ambil, biar ibu (nyokap gw) yang simpan aja dan sekolahin Hilal (anak mba
Nani).”
“Aku
gak mau, hed Hilal jadi seperti aku. Goblok. Sekolah cuma lulus SMP. Dulu waktu
aku SD bagus-bagus nilainya. Tapi waktu SMP jeblok, stres liat ibuku punya anak
terus, malu. Aku juga ke sekolah sepatunya bolong, rasanya mau mati aja,”
katanya waktu kami berbincang bersama.
Tapi
itu semua tidak berlangsung lama.
Mbak
Nani jadi aneh dan mengganggu. Dia sering bgt kirim sms ke gw ‘n ngko gw.
Segala macam kemarahan, kepaitan, dan kesedihan dia luapkan di sana. Dia jadi
sering menangis sendiri, emosinya labil, menyalahkan kami yang tidak berbuat
apa-apa dengannya. Makin lama dia makin sulit diajak bicara. Setiap hal kecil
yang kami kritik dari dia, sangat sepele, dia langsung menangis. Berkali-kali
dia minta berhenti kerja, bahkan sempat membawa semua barang-barangnya untuk
pergi dari rumah. Tapi berkali-kali juga dia bilang kalo dia sangat senang di
sini. Waktu nyokap gw udah ga tahan lagi sm tingkahnya yang manja, aneh, dan
mengganggu, nyokap gw nantangin dia untuk benar-benar keluar. Nyokap gw kirim 2
pembantu lagi dan suruh dia keluar. Tapi dia langsung berubah drastis, yang
tadinya menangis minta berhenti kerja sekarang merengek2 minta tetap bekerja di
sini. Puncaknya, dia mencoba bunuh diri dari lantai 4.
Suasana
rumah yang awalnya sangat menyenangkan, menjadi sangat melelahkan. Setiap
pulang sekolah saya tidak sabar bertemu dengannya, berbicara, melihat keceriaan
dan keluguannya. Tapi lama-lama saya rasanya enggan untuk pulang ke rumah.
Enggan untuk mendengar masalah lainnya.
Mama
saya yang sangat sibuk di Tegal menyempatkan diri ke jakarta hanya untuk
membawanya pulang. Sulit sekali membujuknya pulang. Kami semua beranggapan
sama, dia sudah stres, kalau dibiarkan bisa benar-benar gila. kami
menganjurkannya untuk pulang ke desanya jika dia malu pulang ke keluarga
suaminya di Tegal. “dari saya bayi orang
tua saya kasih saya ke nenek. Sekarang nenek sudah meninggal. Saya gak punya
siapa-siapa yang sayang saya”. Kami terhenyak. Kami benar-benar kasihan
padanya. Saya pun teringat awal keanehan mba nani. Waktu itu Hilal meneleponnya
dan memintanya motor, rumah, harta. Anak umur 5 tahun! Saya pikir itu yang
menyebabkan mba nani hilang arah. Satu-satunya tujuan hidupnya sekarang
‘hancur’, bahkan turut menekan dia. Saya
sangat khawatir dengannya, bagaimana nanti kalau dia pulang ke tegal atau ke
desanya? Siapa yang akan mengurusnya? Siapa temannya? Dsb.
Tapi
saya bersyukur, sebelum dia pulang ada satu momen indah dan mengharukan. Saat
itu saya, mama, kakak saya dan istrinya duduk bersama-sama dengan mba nani.
Kakak saya bertanya “Mba nani saat ini stres? Berbeban berat? Mba mau
kedamaian?”
“ya”
“salah
satu penyebab mba seperti ini krn mba belum kenal Tuhan. Hanya dengan mengenal
Tuhan, mba bisa dapet kedamaian, bisa mengampuni diri sendiri, bisa mengampuni
orang lain. Coba baca ayat ini”
“Marilah
kepadaKu semua yang letih lesu dan..” Pecahlah tangisannya
“Aku
yang bacain ya kalo mba gak bisa baca, Marilah kepadaKu semua yang letih lesu
dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang
Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan
jiwamu akan mendapat ketenangan. Jiwamu akan mendapat ketenangan. Mba tau siapa
yang ngomong?”
“siapa?”
“Tuhan
Yesus, Nabi Isa. Ini ada sesuatu buat Mbak Nani, kamu baca baik-baik,
renungkan, berdoa dalam nama Tuhan Yesus. Ini ada juga Alkitabku, mba baca dari
yang tandanya merah (PB) baru baca yang hitam, trus baca lagi yang merah.
Sekarang kita berdoa ya”
Saat
itu dalam hati gw terus berdoa supaya Tuhan boleh menyatakan diri padanya. Saat
itu gw mohon supaya Tuhan nyatakan bahwa dia tidak sendiri, ada yang sayang
padanya, ada yang sudah rela mati untuk dosa-dosanya. Aku mengucap syukur buat
berkat yang sudah diterimanya, juga aku. Aku harus terus liat ada pengharapan
di depan sana. Aku kembali dikuatkan bahwa ada Tuhan yang memegang aku. Ada
Tuhan yang memberikan kelegaan padaku.
No comments:
Post a Comment