“Kau bawa aku kemana?” tanya Lisa
“Ke tempat dimana kamu bisa tahu siapa dirimu sebenarnya,” jawab
Susan seraya tertawa licik
Lisa yang putus asa itu setuju mengikut tante Susan yang tidak
pernah ia kenal. Sosok misterius yang terus memanggilnya “Fanny” dan terus
membuntutinya.
Aku tidak peduli apa yang akan
terjadi. Aku sudah putus asa. Semuanya pasti jijik padaku, termasuk diriku
sendiri.Untuk apa lagi aku pedulikan hidup ini.
Susan mengendarai mobil dengan sangat cepat. Sudah 3 jam berlalu.
Kemana Lisa dibawa? Lisa tidak dapat melihat apa-apa, sesuai perjanjian mata
Lisa ditutup sampai mereka tiba di tempat tujuan. Lisa merasa ngeri,
sekelilingnya gelap, hanya ada tawa licik tante Susan dan hawa tidak enak dalam
mobil lusuh itu.
Mobil berhenti. Hati Lisa berdegup kencang. Sudah sampaikah? Tante Susan turun dari mobil. Dengan kasar dia
membuka pintu mobil di sisi Lisa lalu menarik Lisa keluar. Susan tertawa penuh
kengerian. Mereka berjalan beberapa langkah, lalu berhenti. Kedua tangan Susan
meremas pundak Lisa dengan kencang.
“Sebentar lagi kamu terbangun dari mimpimu, sayang. Sebentar lagi,
kamu kembali ke pangkuanku. Sebentar lagi, kita akan bermain bersama-sama lagi,
Fanny” bisik Susan.
Susan lalu melepaskan ikatan kain yang menutup mata Lisa.
Perlahan-lahan Lisa membuka matanya. Takut, tapi tidak sabar. Lutut Lisa
lemas,seluruh bulu kuduknya berdiri, hatinya seperti dipukul bongkahan kayu
besar.
“Ini.. Ini mimpi?”
Susan tertawa terbahak-bahak.
“Setengah mimpi, sayangku. Kamu belum sepenuhnya bangun.”
“Yang benar saja... Ini..”
Lisa tidak sanggup untuk percaya. Lisa melihat ke sekelilingnya.
Perkebunan hijau terbentang di hadapannya. Pepohonan terlihat sangat jelas
tanpa dihalangi bangunan-bangunan tinggi dan besar. Langit, terlihat sangat
luas dan tidak terbatas. Ini.. Langit tempat Lisa dan Yume terbang di mimpinya!
Lisa kembali melihat apa yang ada di depannya. Sebuah rumah besar yang persis
sama ada dalam mimpinya bersama Yume.
“Yume.. Ini..” Lisa mencoba menata pikirannya. Tidak hanya Susan
yang ada dalam mimpinya dan menjadi nyata. Sawah, pepohonan, rumah-rumah
penduduk, rumah besar ini, dan seluruh desa ini benar-benar nyata.
“Hahaha! Ayolah, aku sudah tidak sabar melihat reaksimu setelah
masuk ke dalam rumah ini, Fanny”
Lisa menapakkan kakinya pada tangga kecil kayu di depan rumah itu.
Satu per satu. Lisa memerhatikan rumah yang sangat kotor itu. Berdebu, lusuh,
dan kayunya sudah reyot. Namun Lisa merasakan ada sesuatu yang aneh. Familiar.
Apakah ini karena ia pernah memimpikannya? Jantungnya berdegup semakin cepat.
Lisa masuk ke dalamnya dan semakin tidak percaya. Dia sadar ini adalah ruang
tamu tempat Lisa melihat Fanny dan Susan dalam mimpinya. Lisa teringat mimpi
yang menyeramkan itu. Lisa teringat bagaimana Susan memperlihatkan video
pembunuhannya pada Fanny, bocah gendut dan kasar itu. Lisa kebingungan, dia
ingin lari tapi tidak bisa lari. Ia tidak tahu dia dimana sekarang. Ini bukan
Jakarta dan sepanjang jalan matanya tertutup! Lisa merasa sangat bodoh mau
mengikuti tante Susan. Bagaimana kalu tante Susan benar-benar seperti apa yang
dimimpikannya? Bagaimana jika ia malah dibunuh di sini? Tapi untuk apa? Lisa
benar-benar bingung dan takut. Perasaannya tak keruan.
“Hahaha! Ada apa dengan nafasmu sayang? Kamu tidak perlu
berkeringat dingin seperti itu. Kamu tidak perlu takut. Kamu sudah
bertahun-tahun ada di sini,” kata Susan sembari menatap tajam Lisa.
“Apa? Maksudnya?”
“Hahaha! Keras sekali kepalamu hah!” Susan menjambak rambut Lisa
dengan penuh kemarahan. Lisa berteriak kaget dan kesakitan.
“Kamu tidak ingat juga, hah?!”
“oh, Fanny sayang.. Tidakkah kamu mengerti betapa aku
merindukanmu?” Susan berubah menjadi sangat lembut namun mencekam.
“Tidakkah kamu ingat betapa menyenangkannya kita bermain-main
bersama dulu di sini? Kamu tidak ingat dapur itu? Di sana aku memasak banyak
makanan untukmu! Ah, coba kemari. Lihat! Itu kamar kita dulu. Kamu tidak ingat nyanyian
tidurku untukmu?”
“Kamu.. Apa yang kamu bicarakan? Siapa kamu?”
“Ah, Fanny.. Aku sedih sekali”
“Aku bukan Fanny!! Siapa Fanny? Orang gila!”
Susan melepas cengkramannya dan tertawa terbahak-bahak. Lisa
sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Sini kamu, setan kecil!!” Susan menjambak rambut Lisa dengan
sangat keras. Menyeretnya ke tangga dan menuju satu ruangan. Susan
melemparkannya ke dalam ruangan yang besar dan kotor itu. Lisa terjatuh dan ia
sadar, ia tidak seorang diri. Lisa menengadah dan melihat orangtuanya disekap!
“Mama! Papa! Apa.. yang terjadi?”
Kepala Lisa pening luar biasa. Isak tangis mulai keluar dari
matanya. Tidak pernah ia merasa setakut ini. Ia ingin menghampiri orangtuanya
yang diikat di satu kursi, tapi ia tidak yakin mereka nyata.
“Aku sudah gila?” Lisa menangis dan menangis. Pening di kepalanya
semakin menjadi-jadi. Susan tertawa semakin lama semakin keras.
“Lisa..” mama memanggil Lisa dengan lirih dan penuh kesakitan.
“Kamu tidak ingat kejadian ini, Fanny?” tanya Susan
“Kamu tidak ingat kamar ini? Kamu masih juga tidak ingat puncak
drama kita dahulu?”
“Kamu. Kita. Adalah pembunuh, Fanny. Kamu, kita. Tinggal di sini
dan saling menyayangi, membenci semua pengganggu yang menyebalkan di dunia
seperti kedua orang ini! Mereka kejam! Mereka menyiksaku, menggangguku. Kamu
tidak tega, bukan melihat aku disiksa? Kamu menyayangi aku, kan? Kamu berjanji
akan selalu ada bersamaku, bukan?”
Lisa gemetar, nafasnya tidak teratur. Lisa tidak sanggup menahan
rasa peningnya. Kepalanya seakan mau pecah. Kepalanya seperti memutarkan satu
rekaman film yang tidak pernah ia lihat. Begitu cepat, sekilas demi sekilas.
Kata-kata Susan seperti pisau yang menyayat-nyayat kepala dan hatinya.
“Diaaamm!!” Lisa berteriak. Mama dan Papa semakin keras menangis.
“Lisa, jangan dengarkan Susan. Kamu anak mama papa, kami
menyayangimu”
“Bohong!! Mereka tidak akan menyembunyikan semua ini darimu kan?
Mereka egois, Fanny!! Mereka hanya ingin memisahkan kita! Memanfaatkanmu!”
teriak Susan.
“Apa? Apa yang disembunyikan? Jadi, itu semua benar, ma, pa?”
Mama papa hanya menggeleng lemas, tapi tidak berkata apa-apa.
“Siapa Fanny? Siapa Lisa?”
“Lisa..” Papa tidak menjawab.
“Hahahaha!! Kamu lihat sendiri, Fanny! Mereka pembohong besar!
Kamu bukan Lisa, kamu adalah Fanny! Theofanny Handoko. Anak tunggal dari
keluarga Handoko, pemilik tanah dari seluruh perkebunan di sini. Sejak kecil
aku yang menjagamu, menyayangimu. Mereka hanya sibuk dengan urusannya sendiri!”
“Theofanny Handoko?”
“Ya, benar sekali. Kamu mirip sekali dengan aku. Pembunuh kecil
berdarah dingin. Kamu suka mengkuliti binatang, bukan? Itu kebiasaanmu sejak
kecil. Aku yang mengajarkannya padamu, Fanny. Aku! Hahaha! Jadi.. Kamu tidak
perlu lagi bingung terhadap siapa dirimu, Fanny. Kamu bukan Lisa, gadis jelita
yang suka melukis dan anggun itu. Kamu adalah Fanny, gadis penuh kegelapan dan
kejam seperti aku. Jadilah dirimu sendiri, Fanny. Kamu akan terus tersiksa
selama kamu menyesali dirimu sendiri dan meratap pada Tuhanmu itu!”
Lisa terdiam. Lisa berhenti menangis. Pikirannya kosong, hatinya
kosong.
“Aku.. Tidak mau..”
“Kamu tidak mau? Tuhan tidak mau kamu!! Tidak ada yang mau kamu!!
Hahaha! Kecuali aku, sayang. Ada aku di sini..”
“Fanny..”
“Ya, kamu adalah Fanny. Jadilah Fanny”
Susan menyodorkan kapak besar ke tangan Lisa yang tak bernyawa
itu. Lisa tidak menolak. Lisa menggenggamnya dan memerhatikannya. Lisa terus
meracau dan kehilangan arah. Lisa tidak tahu dirinya berada dimana. Ia tidak
tahu dirinya siapa. Lisa hanya merasa dirinya sudah gila dan tidak tahu harus
percaya mana. Susan terbahak-bahak penuh kemenangan.
“Akhirnya, Fanny! Kamu bangun juga! Cepat, lakukan bagian yang
belum kita mainkan dulu! Hahaha!” Tidak ada yang tahu kalau di luar ruangan
Otto terus mendengarkan percakapan mereka dan menunggu polisi datang. Otto
terus menahan nafas dan suaranya yang sulit untuk tidak terkejut. Otto tidak
menyangka wanita bajingan yang merusak Fanny itu datang kembali. Dia tidak
menyangka, gadis yang selalu ia rindukan itu ada di sini dan dalam momen
seperti ini. Dia baru tahu inilah momen terakhir yang membuat Fanny dan
keluarga Handoko menghilang setelah Susan dijebloskan dalam penjara. Otto tidak
sabar untuk masuk dan membubarkan semuanya, tapi ia tidak mampu seorang diri
saja. Oh, Tuhan, tolong kami.
“Ayo, Fanny. Jangan sampai kebodohanmu terulang. Jangan
segan-segan menghempaskan kapak itu pada kepala mereka berdua. Jangan lagi kamu
meninggalkan aku seorang diri”
Lisa menangis. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Susan
menyanyikan lagu yang dinyanyikannya sebelum Lisa tidur dulu. Lagu mencekam itu membangkitkan keputusasaan
yang semakin mendalam dalam hati Lisa. Lisa teringat kejadian mengerikan yang
dilakukannya. Lisa teringat kematian Sella karenanya. Lisa marah, ia tidak
mengerti kenapa dia harus dilahirkan menjadi pembunuh. Lisa berserah pada
takdir.
Lisa menjerit keras lalu mengangkat kapak besar itu tinggi-tinggi.
Tapi sesaat sebelum kapak itu menghujam orangtuanya, Lisa terpaku. Lisa terpaku
menatap cermin kotor di belakang kursi orangtuanya. Di sana ia menatap dirinya.
Sekejap, sosoknya berubah menjadi sosok gadis kecil yang gemuk berambut pendek,
dengan mata terbelalak dan sorotan yang mengerikan. Itulah Fanny, itulah Lisa.
Itulah dia, 3 tahun yang lalu. Dengan kapak yang sama, di kamar yang sama, dan
kejadian yang sama. Kali ini Lisa baru ingat, saat itu ia tidak jadi membunuh
orangtuanya. Saat itu ia terjun dari jendela untuk bunuh diri. Saat itu ia
hanya ingin melawan takdir dengan satu-satunya cara yang ia tahu. Lebih baik mati
daripada harus hidup sebagai pembunuh. Lebih baik mati, daripada hidup terus
menyakiti hati Tuhan. Lisa tidak percaya takdir membuatnya menjadi pembunuh, ia
percaya Tuhan menciptakannya baik adanya, ia tidak sanggup menerima dirinya.
Itulah sebabnya ia lompat dari atas, dan membuang Fanny, membunuh Fanny dalam
dirinya. Kapak itu ia hujamkan ke lantai lalu ia duduk lemas di bawah kaki ayah
ibunya.
“Apa yang kamu lakukan! Bangun Fanny!! Bunuh mereka!”
“Angkat tangan!!” Otto masuk bersama dengan para polisi.
“Apa-apaan ini! Lepaskan aku! Fanny, kembalilah padaku! Lihat aku,
brengsek kecil!”
Polisi melepaskan ikatan tali mama dan papa.
“Otto.. Terimakasih, nak. Bagaimana kamu bisa menemukan kami di
sini?”
Otto hanya terdiam, mengangguk pelan dan menatap Fanny. Saat ini
ia sangat mengkhawatirkan Fanny. Perasaannya campur aduk. Ia tidak lagi peduli
apakah Fanny mengingatnya atau tidak. Otto takut kehilangan Fanny lagi.
“Fanny..”
Fanny menoleh pada Otto yang duduk di sebelahnya. Lama sekali ia
menatap lekat-lekat muka Otto. Perlahan ia menyentuh muka Otto, merabanya, lalu
tangisnya pecah sembari memeluk Otto erat-erat.
“Kuatlah, Fanny. Kamu tidak apa-apa. Kami di sini.”
*******
Saat aku terbangun di pagi hari, aku masih merasa sangat lelah.
Pikiranku masih melayang-layang. Entah memikirkan apa. Aku terlalu rapuh untuk
memikirkan sesuatu. Aku berdiri lalu membuka jendela kamar. Kicauan burung
terdengar sangat jelas. Segarnya udara pagi memanjakan aku yang masih lemah.
Segala sesuatu terjadi sangat dahsyat. Dalam beberapa hal aku
masih belum mengerti. Namun aku tidak sanggup untuk mengkhawatirkan itu lagi.
Aku tahu sebentar lagi aku akan menemukan jawabannya.
“Fanny..” mama mengetuk pintu.
Ah, nama itu masih menyakiti hatiku. Membawaku pada kelamnya masa
lalu.
Aku kembali duduk di kasurku. Mama masuk dan menyuguhkanku teh
hangat. Wajah mama yang penuh cinta juga menyakiti hatiku. Mengapa aku sempat
ingin... ah, aku benar-benar tidak sanggup menerima apa yang terlah kuperbuat.
Aku hanya terdiam. Raut muka mama berubah menjadi sedikit sedih. Aku bisa
merasakan mama menahan tangis. Mungkin mama merasakan penarikan diriku
terhadapnya. Maaf ma, aku senang mama di sini. Aku hanya merasa tidak pantas.
“Hey.. Fanny sudah bangun ya?” Otto masuk ke kamar dengan penuh
senyuman yang bersemangat. Aku masih belum terbiasa dengannya. Sudah lama
sekali kami tidak bertemu.
“Ah, Otto.. Sini, kamu temani Fanny. Tante mau ngobrol sama papa
kamu dulu, deh. Kayaknya Fanny juga mau ngobrol sama kamu”
Aku tahu, mama tahu Otto dapat lebih mendekatiku.
Otto duduk di samping tempat tidurku. Aku menatapnya sekilas. Dia
sudah sangat berubah. Dia semakin tampan. Tubuhnya yang dulu kecil dan
kerempeng sekarang menjadi tinggi, besar, dan gagah. Sekarang dia sudah seperti
laki-laki dewasa saja. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku. Lama sekali dia
menatapku tanpa berbicara apa-apa. Aku tidak tahu harus bagaimana bersikap.
“Kamu makin cantik, ya..”
Kurang ajar. Dasar Otto bodoh. Mukaku pasti langsung merah.
“Dasar Fanny bodooohhhh!! Aku kangen banget sama kamuuu!!” Otto
tiba-tiba mengacak-acak rambutku. Otto tidak berubah. Selalu saja dapat
membuatku tertawa dan merasa nyaman dan ringan. Seperti dulu, Otto masih sangat
bawel sedangkan aku hanya berbicara sedikit-sedikit saja. Kami berbicara banyak
hal. Kami bertukar cerita mengenai dunia kami masing-masing. Otto bercerita
tentang sekolah di desa ini sedangkan aku bercerita tentang kehidupan di
Jakarta. Aku mulai mendapatkan tenaga lagi untuk menghadapi hari ini. Aku
bahkan mempunyai tenaga untuk bertanya tentang kejadian besar kemarin padanya.
“Otto.. Apa yang terjadi?”
Otto menunduk kebawah, berpikir sejenak. Lalu ia mulai bercerita
panjang lebar, aku dengan sabar mendengarkan.
Memang benar, aku adalah Fanny. Susan itu pembantu rumah tanggaku.
Sewaktu kecil, aku lebih sering bersama dengannya daripada bersama dengan
orangtuaku. Susan dengan kegilaannya itu entah mengapa berusaha menjadikan aku
seperti dirinya. Dia sangat menyayangiku, namun tidak jarang menyiksa, memukul,
dan menghina aku. Susan sudah menyiksa dan membunuh banyak orang. Ia
menceritakannya padaku. Aku pun terbiasa dengan semua itu dan menikmatinya.
Semua orang tahu ada yang salah denganku, dengan hanya melihat aku saja. Tapi
Otto mengetuk hati kecilku. Memasukkan Injil kedalamnya lalu mengubahku
perlahan-lahan. Namun aku tidak sanggup melihat pengampunan Tuhan lebih
daripada semua kejijikan diriku. Sampai puncaknya, aku tidak sanggup menerima
diriku yang mau membunuh orangtuaku sendiri. Aku lompat dari jendela, bunuh
diri, tapi aku tidak mati. Susan ditangkap, sedangkan aku tertidur lama di
rumah sakit.
Saat aku bangun, dokter segera tahu kalau aku sudah hilang
ingatan. Dia tidak tahu kapan aku akan ingat kembali kejadian-kejadian sebelum
aku jatuh. Dokter memberitahu orangtuaku kalau hilangnya ingatanku mungkin
bukan karena benturan atau luka fisik, tapi psikis. Mengetahui hal itu, mama
dan papa memutuskan untuk mengubur dalam-dalam semua tentang Fanny.
“Lisa, ini mama. Mama sedih kamu tidak ingat mama. Ayo kita
pulang, nak”
Saat itu aku tidak pulang ke rumahku, rumah tempat aku bertemu
dengan Susan. Tapi aku pindah ke Jakarta. Mama dan papa saat itu mengarang
cerita kalau papa dipindahtugaskan ke Jakarta.
“Hmm.. Bagaimana dengan teman-temanku? Aku belum bertemu dengan
mereka. Mereka tidak menjengukku?”
“Ah, kamu tidak akan ingat mereka, sayang. Itu akan menyakiti hati
mereka. Lagipula kita tidak sempat berlama-lama lagi di sini”
Saat itu aku yang tidak teringat apa-apa hanya merasa aneh. Namun
menerimanya sebagai hal yang wajar. Toh aku sedang sakit, pikirku.
Otto berhenti bercerita.
“Mereka menyayangimu, Fanny. Mereka tidak ingin kamu tersiksa
dengan masa lalu. Sekalipun mereka salah mengambil langkah, cobalah mengerti
mereka”
Aku terdiam dan diam. Mataku memandang jauh ke jendela tanpa
berpikir apa-apa.
“Fanny. Kita jalan-jalan yuk?”
1 comment:
Cute ending, even if it's a bit confusing (yea I mean you've successfully brought my emotions) LOL...
Post a Comment