Ingatan
saya tentang lakon yang dipentaskan Teater Koma semalam masih terasa segar.
Musik, tarian, properti, baju, dialog, humor, dan berbagai unsur seni lainnya
masih memukau saya. Sie Jin Kwie seri ke-3 ini memang tidak meninggalkan kesan
sekuat Sie Jin Kwie seri ke-2 yang saya tonton sebelumnya. Namun alur cerita
yang cukup membosankan selama kurang lebih 4 jam itu, tidak membuat saya kecewa
membanggakan karya teater tanah air ini. Bagi saya, pementasan teater yang baik
bukan dilihat hanya dari segi ceritanya saja. Teater bukan drama. Drama hanya
sebagian kecil dari teater. Teater adalah gabungan semua-semuanya. Saya
bersyukur saya mengenal arti teater seperti ini dari buku “Kitab Teater”, karya
N.Riantiarno.
Kurang
lebih setengah satu pagi saya baru keluar dari TIM. Saat itu saya sedikit
kecewa karena teman yang saya perkenalkan pada teater koma ternyata kurang puas
dengan penampilan mereka hari ini. Overall
memang bagus, namun dia tidak mendapat kesan sekuat apa yang saya dapat dahulu,
saat pertama kali menonton mereka. Maklum, dalam alur cerita terjadi banyak
pengulangan sampai-sampai penonton sudah enggan tertawa akan humor yang sama.
Durasi 4 jam lebih juga cukup menyiksa di malam hari itu. Tapi bagi saya
sendiri, pementasan tersebut tetap great.
Saya
menikmati setiap detil yang coba saya perhatikan. Sesekali saya mendengarkan
aktor mengucapkan dialognya, namun mata saya memerhatikan setiap detil tata
artistik yang ada. Saya terus berdecak kagum dan bergumam terpesona memikirkan
bagaimana mereka bisa membuat properti sebagus itu. Terkesan mewah, indah, dan
pergantian properti yang satu dengan yang lain begitu halus dan indah. Satu
yang paling saya kagumi dan membuat saya penasaran adalah “wayang tavip”,
dengan dalangnya yang lucu pastinya :D
Pagi
ini saya buka-buka lagi buku acara Sie Jin Kwie. Wah, kali ini ada beberapa
catatan yang menarik untuk dibaca. Ternyata untuk pementasan Sie Jin Kwie seri
terakhir ini, mereka membutuhkan 350 potong baju! Ditambah lagi, teater koma
memutuskan untuk mencari-cari batik yang sesuai dengan pementasan ini dan
akhirnya mereka mengambil “batik peranakan” sebagai dasar dari semua motif yang
ada. Mengenai wayang tavip, ternyata wayang tersebut adalah wayang cina-jawa
yang sempat mati di Orde Baru. Mereka menghidupkannya lagi! Dan ternyata,
wayang tavip ini juga menjadi satu siasat untuk mengakali durasi naskah yang
sangat sangat panjang! Draf naskah pertama untuk setiap seri ternyata 7-8 jam!
“Rasanya sayang sekali membuang begitu banyak adegan. Ini sulit karena setiap
adegan seperti memiliki satu kaitan yang tidak dapat dipisahkan dan ciri khas
serta makna yang tidak dapat diabaikan,” kira-kira seperti itu komentar
N.Riantiarno. Inilah yang membuat saya mengerti mengapa harus begitu lama
mementaskan satu seri saja.
"panggung" kecil untuk wayang tavip ini bisa digeser dengan mudah loh! Caranya? Wayangnya darimana? @@
Tidak hanya tokoh wayang yang bergerak, awan, bangunan, semuanya wayang!
Tidak
ketinggalan musik dan tarian yang ada dalam teater ini. Musiknya sengaja
disusun utnuk memberikan nuansa cina yang juga mengandung nuansa Indonesia!
Tarian-tarian yang ditampilkan juga sangat baik, sekalipun saya sama sekali
tidak ahli menilainya. Namun, “jurus-jurus yang ada tidak disajikan dengan
silat, tapi dengan tarian,” menurut saya ini sangat unik dan indah. Saya
penasaran sekali dengan penari arwah yang hanya tampil sekali dengan topeng.
Saat pementasan selesai, dia juga memberi hormat tanpa melepas topengnya. Baju,
rambut, dan topengnya mengingatkan saya pada bidadari merah! (dan itu membuat
suasana sangat mencekam, suasana kematian orang-orang besar milik kerajaan
Tang). Ternyata dialah wanita yang mengarahkan semua tarian yang ada dalam
pementasan ini! Ah! Sesuatu banget, deeehh!
Raja Lisibin dalam "Sie Jin Kwie Kena Fitnah" (2)
Biejin dalam "SIe Jin Kwie Kena Fitnah" (2)
Ups,
saya tidak ingin membocorkan terlalu banyak (yang sepertinya sudah sangat
banyak) mengenai lakon ini. Silahkan teman-teman jangan ragu datang dan
menontonnya! Harga tiketnya sangat murah untuk menonton pementasan legendaris
seperti ini. RP 50.000- Rp 200.000 (sudah termasuk hari biasa dan akhir
minggu). Saya merasa uang Rp 150.000 sangat tidak sebanding dengan kemegahan
yang sudah saya lihat. Mungkin
sebenarnya terlebih lagi, pada perjuangan teater koma mendidik bangsa yang
tidak melek budaya. Perjuangan untuk menghidupkan budaya bangsa. Menghidupkan
kecerdasan berbudaya di tanah air tercinta ini. Sungguh saya salut terutama
pada N.Riantiarno yang mengharumkan Indonesia.
Akhir
kata, teater bukan sekadar menonjolkan satu tokoh central yang menguasai
seluruh pementasan. Teater bukan hanya tempat mendengar cerita. Teater
mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui segala bentuk seni: sastra, artistik,
tarian, musik, tata panggung, dan sebagainya. Itulah sebabnya teater yang baik
bukan hanya karena aktor atau ceritanya bagus. Tapi karena melaluinya, kita
dapat menghargai budaya, menyadari nilai-nilai kehidupan, bersyukur dan menjaga
apa yang sudah diberikan sekarang pada kita.
No comments:
Post a Comment