Liburan yang lalu saya dan kakak saya pergi ke Jogja dan mengunjungi beberapa tempat. Salah satu tempat yang paling berkesan buat saya adalah museum Ullen Sentalu. Saya berjanji pada beberapa teman untuk menceritakan museum ini tapi maaf baru sekarang sempat cerita hehehe.
Ullen Sentalu adalah sebuah museum swasta yang terdapat di Kaliurang. Lokasinya sangat tenang, rindang karena banyak pepohonan dan hawanya sejuk. Karena ini museum swasta, tiket masuknya pun lebih mahal dari museum biasanya yaitu Rp 25.000/orang. Sebenarnya menurut saya harga tersebut tergolong murah mengingat museum ini bermutu dan terawat dengan sangat baik (tidak seperti museum pemerintah pada umumnya #uhuk). Tiket tersebut sudah termasuk dengan jasa pemandu yang sangat ramah, menguasai museum, dan passionate menjelaskan segala sesuatunya. Jarang loh ada pemandu yang bisa seperti itu. Penjelajahan saya di Ullen Sentalu pun bisa sangat dinikmati berkatnya.
Ullen Sentalu didirikan oleh keluarga Haryono yang mencintai seni budaya Jawa dan memiliki hasrat untuk melestarikannya. Arsitek dari museum ini adalah anggota keluarga Haryono. Museum ini juga memiliki tim sendiri yang mengumpulkan barang-barang seni dan melukis lukisan-lukisan raja dan ratu keraton. Oleh sebab itu di setiap lukisan yang ada di museum ini tidak ditemukan tanda tangan pelukis. Keluarga Haryono ini memang sangat ingin melestarikan budaya yang dimiliki Indonesia, bukan untuk komersil semata. Seperti yang dikatakan pemandu kami hari itu, "Kalau benda-benda budaya yang kasat mata saja tidak semuanya bisa kita lestarikan, bagaimana kita bisa melestarikan budaya yang tidak kasat mata? Seperti nilai, pola pikir dan kebaikan" Wah, setelah mendengar itu saya langsung yakin pasti ada yang berbeda di museum ini. Karena jarang sekali ada museum yang didirikan secara visioner dan lahir dari kecintaan akan budaya dan sejarah bangsa.
Kemudian kami mulai memasuki lorong sambil memerhatikan foto dan lukisan raja-raja keraton di kanan kiri kami. Raja-raja Jawa menempuh pendidikan dengan hebat-hebat. Ketika berfoto bersama orang-orang Barat dalam pertemuan-pertemuan yang mereka hadiri, mereka tidak terlihat seperti kaum terjajah. Ada kewibawaan dan kehormatan yang tidak bisa dengan mudah disepelekan. Selain itu banyak juga foto dan lukisan putri-putri dan ratu-ratu keraton. Yang menarik adalah mereka pun tidak kalah terhormatnya dengan suami atau ayah mereka. Biasanya ketika berpikir tentang budaya Jawa, keraton Jawa, akan terbesit kesan kaum yang tertinggal, kurang berpendidikan, kurang terhormat. Apalagi wanita Jawa yang sering disebut "kanca wingking" atau teman di belakang. Wanita dalam budaya Jawa adalah orang nomor dua, yang ada di belakang dan bertugas mendukung suami. Tapi kesan itu tidak ada sama sekali di museum ini. Justru sebaliknya. Mereka begitu terhormat, punya dignity, dan sangat berpendidikan.
Lukisan di sana juga banyak yang menarik. Saya baru tahu bagaimana membedakan mana yang ratu dan bukan (selir). Kalau di Barat simbol kekuasaan ratu adalah mahkota, maka simbol kekuasaan ratu keraton adalah kunci! Hehe. Menarik juga memerhatikan bahwa di tiap lukisan, wanita yang adalah ratu keraton akan memegang satu gamblok kunci yaitu seluruh kunci yang ada di rumah. Mulai dari kunci pintu utama, kunci kamar, kunci lemari dan sebagainya. Buat saya malah lebih make sense untuk menggambarkan otoritas lewat kunci daripada mahkota. Hehehe.
Setelah itu kami keluar dan menuju ke ruangan berikutnya. Saya suka dengan arsitektur museum ini. Museum tidak hanya terdiri dari satu bangunan saja, tapi didirikan di tengah hutan dengan banyak bangunan kecil terpisah. Adanya taman, kolam dan pepohonan juga membuat suasana yang sangat alam itu terasa sangat menyegarkan.
Kami masuk ke sebuah ruangan penuh dengan surat-surat asli tulisan tangan. Waktu itu Putri Tinneke, salah satu Putri keraton, jatuh cinta pada saudaranya sendiri. Namun perasaannya ini sudah pasti dilarang oleh orangtuanya. Ia pun menjadi sangat sedih. Akhirnya teman-teman dan saudara-saudaranya mengirimkan banyak surat penghiburan untuknya. Ada yang menggunakan bahasa Inggris, ada yang menggunakan bahasa Indonesia. Yang menarik adalah bahasa surat-surat tersebut semuanya sangat puitis. Ada yang menggunakan metafora, ada yang memainkan rima. Surat-surat itu indah-indah. Beda sekali dengan kita sekarang yang sangat menyepelekan bahasa. Baik berbicara maupun menulis semuanya serba instan dan dangkal. Sayang sekali saya tidak sempat mencatat salah satu surat tersebut. Namun ada surat yang menarik perhatian saya yaitu surat dari Putri Gusti Nurul. Ia menulis "Wanita itu harus kuat. Wanita itu tiang negara. Kalau wanita tidak beres, negara tidak beres." Saya kaget dan merinding membacanya. Bayangkan, orang yang seringkali dianggap kanca wingking bisa berkata seperti itu! Benar-benar terlihat terhormat dan cerdas, tidak seperti yang ada di pikiran saya selama ini. Saya jadi penasaran dengan Putri Gusti Nurul ini.
Setelah mengunjungi ruangan dengan koleksi batik keraton Solo dan Jogja, kami memasukin ruangan yang didedikasikan untuk Putri Gusti Nurul! Bayangkan betapa semangatnya saya masuk ke ruangan tersebut hehehe. Di sana banyak terdapat foto Gusti Nurul. Dari mulai bayi sampai tua. Beliau juga sempat datang ke Ullen Sentalu dan meresmikan ruangan tersebut. Parasnya sangat cantik dan penuh wibawa. Sangat terlihat karakter yang kuat di balik wanita cantik itu. Pemandu saya bercerita bahwa Presiden Sukarno pun sempat meminang Gusti Nurul, tapi ia menolak Sukarno karena baginya wanita tidak untuk dipoligami. Wooo. Hehehe.
Begitulah kira-kira hal-hal menarik yang saya temukan di museum ini. Selain karena terawat dengan sangat baik, museum ini berkesan bagi saya karena mampu mengubah pandangan saya terhadap orang-orang keraton jaman dulu. Ternyata ada kebanggaan yang bisa diceritakan tentang bangsa kita bahkan waktu masih terjajah. Semoga makin banyak orang yang terbeban melestarikan seni budaya dan sejarah Indonesia tercinta ini. Yihaa..
5 comments:
Gw suka banget quotenya: "Wanita itu harus kuat. Wanita itu tiang negara. Kalau wanita tidak beres, negara tidak beres." Mantap! :D
Was she western-educated? Kalau liat dia hidupnya jaman Soekarno, sepertinya dia udah terpengaruh pikiran progresif Belanda ya. Waktu itu politik etis udah jalan (thanks to Abraham Kuyper and friends), banyak rakyat Belanda yang terdidik juga berempati kepada penderitaan rakyat Indonesia (thanks to Max Havelaar), maka, lewat buku-buku Belanda yang bersirkulasi di Indonesia dan korespondensi surat antar orang Belanda dng orang Indonesia, pemikiran-pemikiran yang ada di Eropa sudah sampai di Indonesia, khususnya bagi mereka yang cukup berada dan mendapatkan kesempatan untuk belajar (spt Soekarno, Hatta, Syahrir, atau Kartini, dan mungkin Gusti Nurul).
Btw, judul buku kumpulan surat Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang", itu semboyan Reformasi Protestan lho: "Post Tenebras Lux". :D
Yep. Setau gw semuanya western-educated sih.. hehehe. Ada quote yang lebih bagus lagi ko.. Tapi gw lupa nyatet hiks :(
Ntar kapan-kapan ke sana ah... :D
hmm
napa tep? haha
Post a Comment