Thursday, June 30, 2011

Forgotten #6 (Lisa)

Sudah sekitar 1 bulan aku tak lagi bermimpi aneh. Namun aku tetap tidak bisa tenang setelah melihat mimpi yang sangat mengerikan itu. Baru saja aku melupakannya sejenak, kado dari tante Susan membuatku gemetar. Dia tahu rumahku, bahkan kamarku. Kapan saja dia bisa menemuiku. Aku ingin menceritakannya pada mama tapi aku tidak tahu harus bercerita seperti apa. Mama pasti menertawakan aku yang sangat konyol ini.

Di malam hari, aku yang sedang merenung sendiri di kamar mendengar ketukan pintu.
"Lisa"
"Ya, ma"
Mama masuk, tersenyum, dan duduk di dekat kasurku.
"Kenapa? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu? Padahal tadi sore kamu masih bersemangat karena pameran itu," katanya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.
"Ah, tidak"

"Hmm.. Ma, liburan nanti kita pergi kemana?"
"Hmm.. Mama papa belum merencanakannya. Kamu sendiri ingin kemana?"
"Tak tahu.. Mungkin ke daerah pegunungan?"
"Wah, bagus juga. Pasti asyik karena udaranya yang sejuk dan pemandangan yang bagus"
"Ya.. Tapi aku ingin tidak hanya 1 hari, tapi beberapa hari menikmatinya. Mungkin menginap di rumah seperti villa ide yang bagus. Apalagi jika di dekatnya ada danau atau hutan kecil. Aku bosan liburan tinggal di hotel. Pasti sangat menyenangkan berpetualang di sana"
"Tempat apa yang kau maksud, Lisa?"
"Hah? Ya, tadi itu. Rumah di pegunungan dengan danau dan hutan kecilnya. Mungkin juga sawah-sawah di sekitarnya. Aku tidak tahu ada atau tidak tempat seperti itu. Aku hanya berpikir mungkin menyenangkan sekali jika kita pergi kesana. Mama tahu tidak kira-kira ada dimana tempat seperti itu?"
"Oh, mama kira kamu sudah tahu dimana tempatnya. Haha. Hmm.. Mama tidak tahu. Sepertinya tempat seperti itu sulit dicari atau bahkan tidak ada"
"Hmm.. Sayang sekali"
"Sudah malam. Tidurlah, sayang"
"Hmm.. Ya, selamat malam, ma"
"Malam," mama tersenyum dan mencium keningku.

Aku tertidur. Aku tidak tahu harus sedih, senang, takut, atau merasakan apapun, mimpi itu datang kembali. Kali ini tidak ada Yume, aku sendirian di kamar gelap dengan lampu tidur yang menyala di pojok kamar. Nyanyian tidur dengan suara agak parau terdengar. Aku merinding. Namun aku mendekat dan mendengarkan.

Bawa hari ini dalam mimpimu
Dalam hati dan pikiranmu
Biarlah aku masuk dalam jiwamu
Menjadikan dirimu aku

"Sudah malam. Tidurlah, Fanny sayang"
"Ya. Selamat malam, Susan" 

*******

Mama keluar dari kamar Lisa dengan perlahan. Terdiam sejenak di depan pintu kamar. Papa yang baru saja naik ke atas segera menghampiri mama. 
"Bagaimana keadaannya?"
Tangan mama menutup sebagian wajahnya yang pucat. Papa menopang tubuh mama yang terlihat sangat lemah.
"Pa, papa masih punya nomor telepon Otto?"
"Otto? Untuk apa?"
"Lisa jadi aneh seperti ini setelah menemukan Yume, boneka pemberian Otto itu. Walaupun Lisa tidak mengingatnya, tapi aku khawatir. Setelah menemukannya, Lisa bahkan langsung menamainya Yume"
Papa terdiam, raut mukanya yang dijaganya agar tetap tenang masih menampakkan hatinya yang terkejut dan takut.
"Baiklah. Mama istirahat saja di kamar. Biar papa yang meneleponnya, memperingatkannya untuk tidak mendekati Lisa"
"Ya"

Tuesday, June 28, 2011

Forgotten #5 (Lisa)

"Lisa.."
Aku tidak menjawab. Hanya dongakan lemah yang didapat papa. itu kata pertama setelah mungkin 10 menit kami ada di meja makan. Kami semua berdiam diri, hanya ada suara garpu dan sendok beradu. Aku tahu akulah pembawa suasana tidak nyaman ini.

"Kamu kenapa? Sakit?"
Aku menggelengkan kepala sambil mnerawang melihat makananku. aku merasakan mama yang melihat papa dengan khawatir.
"Aku berangkat"
Kucium papa mama seperti biasa dan berangkat ke sekolah.
"Hati-hati di jalan, ya," kata mama sambil menatap punggungku sampai aku menghilang di ujung pagar rumah.

Hari ini berlalu begitu saja, begitu cepat, tanpa sesuatu yang berarti. Hari ini panas terik seperti biasa, namun hatiku mendung luar biasa. Aku tak mengerti mengapa mimpi itu sangat memengaruhiku. Aku tak mampu melupakan setial detil adegan yang terekam di mimpi itu. Biasanya saat aku bangun pun, sesaat saja semua yang kuimpikan menghilang. Mimpi seburuk apapun tidak mampu menawanku. Tapi kali ini berbeda.

Aku menuju ke luar pagar sekolah. Tak terasa sudah pulang sekolah. Hari ini sudah 6 orang yang bertanya ada apa denganku. Aku tetap tersenyum, namun "senyum itu sangat mengiris hati," kata mereka.

Taman kota. Hatiku berdegup kencang saat aku selangkah demi selangkah menuju ke sana. Kakiku bergetar, tubuhku kaku, langkahku kupercepat. Mataku melirik ke sana, bangku tempat tante Susan duduk kemarin. Tidak ada! Tidak ada dia.

Aku terus menahan nafasku sampai akhirnya aku dapat bernafas lega di balik pintu rumahku.
"Lisa.."
"AHH!"
Aku berteriak kaget merasakan tangan di pundakku. Itu mama. Kuhela nafas panjang sembari mengusap-usap dadaku.
"Kamu ini kenapa, sih? Dari tadi pagi sikapmu aneh"
"Nggak papa, ma"
"Mama nggak suka liat kamu seperti itu. Apalgi kalau sudah terima ini tapi masih suram begitu"
Mama menyodorkanku selembar kertas kecil: PAMERAN SENI RUPA NUSANTARA

"Hah?? Ma, ini.."
"Yap! Haha! Mama tadi ketemu sama Pak Basuki, penyelenggara pameran ini. Mama ajak dia makan siang di rumah lalu mama membawanya melihat lukisan-lukisan di kamarmu. Dia tidak menyangka itu semua hasil karya gadis kelas 2 SMA, anak mama ini," kata mama sambil mencubit pipiku
"Pak Basuki memang pernah melihat lukisanmu di pameran, tapi hanya sedikit. Sekarang dia sangat puas melihat lukisan-lukisan di kamarmu dan kemajuan melukismu. Dia sangat tertarik dengan bakatmu, Lisa"
"Lalu tiket ini?"
"Iya, dia memberikannya padamu. Kalau kamu datang, dia bersedia jadi tour guide-mu katanya. Haha"
"Mamaaa.. I love you sooo muchhh!"
"Haha.. Nah, gitu dong! Anak mama kalau tersenyum begitu kan tambah manis"

Ah, pameran seni rupa nusantara! Tidak pernah terbayang aku bisa ke sana, itu kan hanya untuk para ahli dan seniman terkenal! Aku senaang sekali! Pasti di sana ada banyak lukisan nomor satu se-Indonesia. Karya para seniman hebat. Ah, mama tahu saja cara menghiburku. Saat ini pasti mataku berbinar-binar dan senyum lebar mengembang di wajahku. Tak sabar unutk datang ke sana Sabtu besok!


Pak Basuki adalah ketua dari Lembaga Seni Rupa Nusantara. Lembaga ini adalah lembaga yang memiliki visi yang mulia: mempertahankan kebudayaan Indonesia, mendidik Indonesia untuk bangga terhadap kebudayaan yang ada, dan membawa Indonesia untuk lebih di hargai di kancah Internasional. Namun bukan berarti mereka anti dengan budaya tinggi negara-negara lainnya seperti Eropa dan Cina. Mereka juga mempelajari dan mengapresiasikannya. Aku ingin sekali menjadi salah satu dari mereka, bersama-sama bekerja untuk Indonesia. Apa yang menjadi impianku tak berbeda jauh dengan apa yang menjadi visi mereka. Hanya saja aku melakukannya bukan hanya karena aku mencintai Indonesia. Tapi inti dari panggilanku ini adalah karena aku tahu Tuhan mengutus setiap umatNya untuk bermandat budaya. Karena aku tahu negara inilah yang Tuhan berikan untuk aku pelihara dan kembangkan.

Aku berkeliling melihat lukisan-lukisan yang tergantung di dinding. Masing-masing lukisan mempunyai ceritanya masing-masing. Ada yang sangat sederhana, ada pula yang sangat rumit dan sulit dimengerti. Ada yang menggambarkan falsafah kekeluargaan. Ada juga gambaran wanita Jawa yang dianggap lebih rendah dari pria, "kanca wingking". Wayang, legenda, mitos juga mewarnai gedung pameran ini.

Aku berhenti dan menatap lama pada satu lukisan. Seorang gadis remaja yang sangat cantik, mungkin sekitar 15 tahun. Seorang ronggeng. Ronggeng secantik ini pasti menjadi ronggeng sukses dan kaya kelak. Tapi yang membuatku bingung, ia menatap cermin dengan sangat sedih, takut, dan seperti menahan tangis yang tak terbendung. Nuansa gelap dan sendu ada di keseluruhan lukisan itu. Dari pakaian dan riasannya, ia sudah siap naik ke panggung menyambut pujaan para penonton. Apa yang dipikirkannya? Tidak senangkah dia melihat kecantikannya itu?

"Tak mengerti yang ini?"
"Oh,Pak Basuki! Wah, senang sekali bertemu Anda di sini. Terimakasih, Pak tiketnya. Saya senang sekali!"
"Haha. Sama-sama. Saya senang kalau ada yang tertarik dengan semua seni rupa di sini. Terutama remaja seusia kamu, generasi penerus bangsa"
"Hmm.. Pak, ini.."
"Ruri Anggira. Banyak yang suka karyanya yang satu ini."
"Ronggeng itu cantik sekali. Dia sangat hebat bisa menggambar sosok remaja muda yang cantik jelita. Saya pun tidak yakin pernah melihat gadis secantik itu di dunia nyata. Haha"
"Bukan hanya itu yang membuatnya dipuji-puji"
"Lalu apa, Pak?"
"Maknanya"
"Justru itu yang tidak kumengerti, Pak"
"Hahaha, sudah kuduga.Sejauh ini apa yang kaumengerti?"
"Dia anak cantik yang baru saja akan pentas, entah pentas keberapa, tapi dia masih pemula karena mukanya yang masih sangat muda, postur tubuh juga. Sekitar 15 tahun."
"Pasti pentasnya yang paling pertama, perdana."
Aku mulai memandang Pak Basuki.
"Lukisan ini menggambarkan pergolakan batin gadis cilik di ambang pertaruhan harga dirinya."
aku memerhatikan dengan saksama
"Di lingkungan tempat tinggalnya, yaitu kehidupan para ronggeng, wajahnya yang sangat cantik merupakan idaman setiap ronggeng. Gadis secantik itu tidak akan ditelantarkan dan tidak akan tak laku tampil di panggung.Tapi dia tahu wajahnya yang cantik adalah malapetaka baginya"
"Kenapa?"
"Karena akan semakin banyak laki-laki yang menontonnya, naik ke panggung, mencolek wajah dan tubuhnya, atau bahkan mengajaknya melakukan hal yang tidak-tidak. Tanpa mendapat perlakuan seperti itu pun, sekali saja dia tampil di panggung, nama baiknya hanya tinggal kenangan. Dia akan sulit sekali mendapatkan pria yang benar-benar menghargainya. Seorang ronggeng, biarpun bersih, tapi hidup dalam gunjingan banyak orang"
"Ah, tak terpikir olehku"
Pak Basuki tersenyum dan mengajakku kembali melihat-lihat isi pameran. Terkadang dia berhenti dan menjelaskan sebuah lukisan padaku. Aku sangat senang dan mendapat banyak pengetahuan.

Aku pulang ke rumah. Rasa menggebu-gebu masih ada dalam dadaku. Hei, apa itu? Kulihat sebuah bingkisan di atas tempat tidurku. Kubuka perlahan-lahan. Wah, ini kan peralatan melukis yang mahal. Bermacam-macam kuas dalam berbagai bentuk dan ukuran, lengkap dengan tas dan peralatan lainnya. Siapa yang menaruhnya di sini? Mama? Ternyata ada kartu di dalamnya, aku membuka dan membacanya:

"Akhirnya aku tahu juga dimana rumahmu. Ternyata kamu suka melukis ya sekarang? Kamu berubah banyak! Kuharap kamu tidak sadar kalau aku mengikutimu dari taman. Jadi hadiah kecilku ini sukses membuatmu terkejut! Haha.. Tidak sabar aku bertemu lagi denganmu, Fanny. Dari orang yang selalu menyayangimu, Susan"

Monday, June 27, 2011

Forgotten #4 (Lisa)

“Ah.. Tidak heran kau datang lagi. Semalam aku tertidur dengan penasaran luar biasa tentang semua keanehan ini. Pasti karena itu aku bermimpi kamu lagi.”
“Lisa, Lisa.. Sabar sajalah kamu bertemu denganku. Aku kan sudah bilang akan mengajakmu jalan-jalan lagi,” sahut Yume tersenyum.
“Sekarang kita mau kemana? Yang seru, dong! Jangan blur begitu. Aku tidak mengerti”
Dia tersenyum dan membawaku terbang perlahan.
“Kalau kau tidak mengerti, berhentilah bertanya. Diam dan perhatikan saja,” katanya.

Kali ini dia membawaku terbang sangat pelan sehingga aku dapat dengan jelas melihat dari atas perkebunan yang membentang luas. Lagi-lagi dia membawaku mendekat pada satu rumah yang besar itu. Namun kami turun perlahan-lahan, dan masuk dengan wajar. Rumah itu tidak terlalu besar namun tampaknya milik orang kaya raya. Bangunannya lebih besar daripada rumah-rumah penduduk biasa, jauh lebih besar dan megah. Dari atas, terlihat sekeliling tempat-tempat tinggal itu terdapat pohon-pohon lebat. Di belakang hutan terdapat sebuah danau yang menambah asri desa tersebut. Kakiku menapak bebatuan yang ada di pekarangan rumah itu. Rumah ini lebih tinggi daripada jalanan pemisah lading-ladang yang semakin tinggi. Aku berada di dekat tangga bebatuan yang menghubungkan rumah dengan jalanan di bawah. Di depan pintu rumah terdapat anak-anak tangga yang rendah, membuat rumah itu semakin enak dipandang. Perlahan aku lewati satu-dua anak tangga abu-abu di depan pintu dan masuk ke dalamnya. Langit-langitnya cukup tinggi, membuat rumah itu terlihat besar sekali. Kelihatannya pemilik rumah ini menata perabot rumahnya dengan rapi dan bersih. Wah, ada bingkai foto kecil di sana. Tampaknya rumah ini dihuni oleh suami-isteri dengan anaknya. Baru saja kakiku melangkah ke arahnya, pintu terbuka tiba-tiba. Dengan langkah kasar,  seorang anak perempuan berbadan bulat dan berambut sebahu, berantakan, melemparkan dirinya pada sofa empuk di depan TV. Aku sangat kaget dan bingung, berusaha mencari kata-kata, namun aku terheran-heran melihat dia yang seolah tidak menyadari keberadaanku. Dengan santai dia menaikkan volume TV. Anak ini adalah anak yang sama dalam mimpiku kemarin malam.

“Hahaha! Lihat tingkahmu! Konyol sekali!” Yume terbahak-bahak
“Ssssttt! Hei, mengapa dia tidak melihat kita? Siapa sebenarnya dia?”
“Kita tidak terlihat ataupun terdengar. Kemarin kan sudah kubilang! Diam dan perhatikan saja”
“Siapa itu? Fanny, ya? Fanny..,” terdengar suara dari dalam

Sesaat dia keluar melewatiku, menghampiri anak tadi dan memeluknya dari belakang. Hei! Itu tante Susan! Oh, dia juga menyebut-nyebut Fanny lagi?
“Ayo, cepat mandi. Bau keringat!”
"Ah.. Nanti saja.. EH, ambilkan aku puding kemarin, dong, Susan”, kata Fanny sambil menoleh melihat tante Susan.
“Loh, kenapa? Kamu habis menangis tadi?” tanya Fanny.
Sesaat saja mata tante Susan kembali basah dan dengan geram ia menjawab,
“Iya. Mama kamu.” “Mama kenapa lagi, hah?” Fanny mengubah posisi duduknya
“Tadi dia marah-marah karena aku salah memasukkan sayuran ke dalam sup makan malam. Roti di lemari yang hilang juga membuat mamamu marah besar dan menyindir aku, menuduhku mencurinya”
“Hmm.. Roti yang kau sembunyikan di laci meja belajarku?”
“Iya. Tapi kan cuma sedikit! Lagipula dia tidak pernah peduli aku kelaparan sekali dan punya uang terbatas untuk terus-menerus membelimakan sendiri. Belum lagi makian-makiannya yang jahat dan menyakitkan itu! Kau tahu kan bagaimana mamamu sering memarahimu? Huh.. Tidak ada kasih sayang sama sekali! Coba saja kalau aku berhenti kerja dari sini, mamamu pasti kerepotan mengurus rumah ini sendirian!” sahut tante Susan panjang lebar.
“Nenek tua cerewet itu lebih cocok tinggal di hutan daripada di sini. Kamu jangan menangis lagi, ya,” ucap Fanny sembari memegang tangan tante Susan.

Wah, pembantu rumah tangga? Berani sekali tante Susan meracuni pikiran Fanny tentang ibunya. Anehnya, kenapa juga dia bisa sedekat itu dengan Fanny? Fanny juga terlihat sangat membenci ibunya. Seperti apa , ya, ibu Fanny itu?

Kulihat tante Susan yang mengeluarkan handphone-nya dan menyodorkannya pada Fanny dengan senyum yang menyeramkan. Karena yakin mereka tidak dapat merasakan keberadaanku, kudekati mereka yang asik melihat video di handphone tante Susan.

“Lihat, ini yang kuceritakan padamu kemarin. Laki-laki yang merayuku itu lohh! Aku akhirnya memutuskan untuk memotong jarinya dulu sebelum kuhabisi dia. 4 jari terlihat lebih lucu daripada 5 jari, bukan? Hahahaha! Kalau begini kan tidak bosan memutar-mutar video koleksiku. Masing-masing berbeda caranya.”

Tampak seorang lelaki paruh baya yang berteriak meronta-ronta, menjerit ketika jarinya dipotong oleh sebilah pisau dapur dan terbelakak matanya ketika darah segar mengucur dari telunjuk jarinya. Aku tidak tahan melihatnya, teriakan demi teriakan berubah menjadi tangisan dan berhenti ketika pisau tadi menancap di dadanya.

Aku tersentak kaget, terbangun dan terengah-engah. Pikiranku kacau. Aku melihat sekelilingku. Mencoba untuk menenangkan diriku. Mimpi yang buruk sekali. Aku hanya bisa menangis, tak dapat berpikir apa-apa.

Friday, June 24, 2011

Forgotten #3 (Lisa)

Saat ini pikiranku hanya berisi tentang mimpi semalam. Baru kali ini semuanya terlihat begitu nyata dan dapat dengan jelas aku ingat, walaupun beberapa kali buyar dan samar. Namun aku sama sekali tidak mengerti. Baru kali ini juga aku memikirkan tentang mimpiku, Konyol sekali menganggap serius mimpi yang aneh. Tapi aku merasa ada sesuatu di balik mimpi itu. Hmm.. Mungkin tunggu mimpi selanjutnya? Ah, bodoh! Mana mungkin bisa berkelanjutan?

“Lisa.. Lisa.. Melisa.. Jadi fog(x)nya berapa?”
“Ah? Apa itu, pak?”

OK, ternyata di ruang kepala sekolah yang ‘angker’ ini tidak ada juga inspirasi. Kaki terangkat satu dan tangan menjewer kuping sendiri juga tidak membantuku menemukan jawabannya. Malu sekali harus berpose seperti ini sampai jam matematika usai. Untung saja hari ini matematika hanya ada 45 menit. Daripada aku harus berdiri 2 jam?

“Ah.. Kasian sekali Melisaku”
“Psstt! Nanti dia dengar! Huh, pak guru keterlaluan menghukum Bidadari Nusa Bangsa dengan hukuman memalukan seperti itu”
“Iya.. Mungkin dia kecapaian, makanya melamun seperti itu”
“Biarpun konyol, tapi dia tetap cantik, anggun, dan..”
“Sssst!! Dia melihat kita!”

Ah, mereka membuatku malu saja. Berisik sekali, huh.. Begitu aku melihatnya, langsung mereka kabur begitu saja.

Kriiiinggg...
Akhirnya pulang juga! Riuh anah terdengar dan menggema di ujung-ujung sekolah. Kuhampiri beberapa temanku, bercanda, bergosip, dan juga membuat janji. Rumahku hanya beberapa blok dari sekolah, dan aku senang dapat jalan pulang ke rumah melewati taman kota yang rindang dan indah. Derap langkahku bersemangat, mendukung senyum yang merekah di wajahku. Di salah satu bangku taman, mataku bertemu dengan mata seorang wanita. Matanya kaget melihatku, membuat aku memperlambat langkahku. Tadinya dia sedang menyeka keringat di dahinya, dan duduk di sebelah gerobak mainannya. Sekarang, senyum lebar muncul diikuti lambaian tangan yang cepat. Aku berhenti terheran-heran, mematung saat wanita itu menghampiriku.

“Fanny! Sedang apa kamu di sini? Liburan? Apa kabar?” kata orang asing itu.
Tunggu.. Wajahnya terlihat tidak asing bagiku. Tapi siapa?
“Maaf. Saya bukan Fanny,” kataku pelan.
“Hah? Ngomong apa sih kamu? Eh, kok kamu pakai seragam sekolah?”
“Anda siapa?” tangannya yang memegang erat bahuku membuatku panik dan menjauh darinya.
“Apa? Jangan bercanda! Ini aku, Susan!”

Susan? Rasanya aku tak pernah mendengar nama itu. Tapi.. Aku rasa dia.. Ah! Dia wanita muda yang ada dalam mimpiku semalam! Apa-apaan ini? Aku mulai takut, nafasku mulai tidak teratur. Aku langsung berusaha pergi darinya. Ia menahanku namun makin kuat aku mencoba melepaskan tanganku darinya. Dia terdiam dan melepaskanku. Aku berjalan cepat pulang ke rumah, pikiranku kacau. Aku menoleh ke belakang, dia masih disana memandangku dengan tatapan kosong.  Bagaimana mungkin aku memimpikan seseorang yang tidak pernah aku kenal, namun ternyata ada di dunia nyata dan mengenalku? Aneh sekali! OK, mungkin ini hanya kebetulan saja. Mungkin tadi adalah kenalan mama? Ya! Mungkin benar. Tapi.. Seorang pedagang mainan?

Sekarang saatnya kutenangkan pikiranku. Kuselesaikan tugas sekolahku dan makan malam bersama papa mama. Aku harus bertanya pada mama tentang orang ini.

“Mau nasinya lagi?”
“Tidak, ma.. Sudah cukup, kok”
“Hmm.. Ma, tadi aku bertemu seseorang. Aneh sekali. Dia sangat ramah padaku tapi aku tidak merasa pernah bertemu dengannya. Namanya Susan, teman mama?”

Setelah beberapa detik mama memandangku dengan membisu, papa menjawab.
“O..Oh! Tante Susan! Iya, dia teman mama. Dulu, waktu kamu masih kecil, dia sangat gemas dan senang menggendongmu,” kata papa dengan sangat bersemangat.
“Teman? Pedagang mainan?”
Hanya terdengar desahan kecil dari papa.
“Tapi dia memanggilku Fanny”

Mama beranjak dari meja makan. Makanannya belum habis. Aku memandang mama yang sepintas terlihat menakutkan. Matanya terbelalak, nafasnya tidak teratur, badannya bergetar, dan hanya membisu. Aku terkejut dan terheran-heran melihatnya.

“Ma, mama kenapa?”
Mama hanya pergi dan masuk ke kamarnya.
“Mungkin dia lupa namamu,” kata papa dengan nada rendah,tanpa memandangku.

Rasanya semakin bikin penasaran saja. Tingkah mama dan papa sangat kaku dan terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Aku merasa agak takut, tapi aku tidak takut untuk terus menyusun teka-teki ini dalam pikiranku. Hooooaahmm.. Pasti, deh setelah makan aku mengantuk. Huff..

Kupandang Yume yang tergantung di atas meja belajarku. Kugoyangkan badannya dengan telunjukku.
“Awas saja kalau kau bangunkan aku lagi”

Tuesday, June 21, 2011

You are Big because of Your Dream

Hari ini gw ikutan tes bakat yang disaranin nyokap gw. Katanya tes dari sidik jari. Dari awal gw ogah-ogahan. Setelah tau kalo bayarnya mahal dan gak masuk akal, gw gak mau. Tapi udah terlanjur bayar, jadi ya jadilah gw ikut tes hari ini. Bete banget dahh.. Apalagi gw di tes sama anak SD kelas 1 dan 4. Beuhhh.. =.=

Gw gak percaya sama yang namanya tes bakat, tes psikologi, dan sebagainya. Well, melihat kurang lebih kepribadian seseorang ok lah. Tapi kalo sampe hasil tes itu menentukan keseluruhan kepribadian kita, itu salah banget buat gw. Tes yang kita kerjakan dihitung nilainya, lalu kita sebagai manusia yang kompleks dan kaya ini dikotak-kotakkan begitu saja ke bakat ini dan itu. Sangat mereduksi yang namanya manusia, bukan?

Coba sekarang kita lihat, apa sih tujuan kebanyakan orang ikutan tes bakat ini? Biasanya biar bisa mengarahkan diri atau mencari pekerjaan yang cocok dan gak bingung-bingung lagi karena ada pegangan hasil tes bakat itu. Mau gak mau kita harus mengakui kita percaya sama apa yang dikatakan oleh tes bakat itu. Tapi apa bener kita pilih jurusan sekolah, jurusan kuliah, ato kerjaan sesuai sama bakat kita? Ya dan gak.

Kenapa kerja haru sesuai dengan bakat kita? Biar beres? Kalo kerjaan beres, memangnya kenapa? Belum tentu kita mendapat kepuasan hati dalam mengerjakannya. Sekalipun kerjaan beres agar kita diperhatikan, sukses, dapet banyak duit, dsb. Tetep aja gak jamin kita bakal puas, seringkali ada kekosongan dalam hati mengenai hal ini.

Buat gw, namanya kerjain sesuatu selain karena passion, harus ada tujuan/visi yang jelas yang bukan berakhir untuk kita sendiri. Segala sesuatu yang susah banget, menderita, dan lama, gak bakal menyiksa kita kalo kita lakuin itu semua dengan passion. Kita tau hal itu adalah bagian dari kita, hidup kita, bahkan mungkin kita bisa bilang "gw gak bisa kalo gak kerjain itu". Tapi tentu aja gak menutup diri kita untuk belajar mengenal hal-hal lain. 

Tapi passion tidak cukup memuaskan kita. Harus ada visi jelas yang bukan untuk kepentingan diri kita sendiri. Kebanyakan orang menyebutnya suara hati, panggilan, atau panggilan hati. Bahkan tidak perlu passion yang kuat, jika seseorang menjalankan panggilannya dengan benar maka hidupnya akan berkelimpahan. Manusia tidak akan memperoleh kepenuhan hidupnya tanpa membagikan dirinya untuk orang lain, untuk Tuhan. Sebut saja seorang guru yang mendirikan sekolah gratis di kuburan karena ingin memajukan pendidikan bangsa. Dia tidak mementingkan dirinya sendiri. Pasti begitu banyak kesulitan yang dihadapinya, bahkan ia tidak digaji sepeserpun namun mengembangkan sekolah itu sampai memiliki bangunan sendiri. Tapi saya yakin hidupnya penuh dengan kelimpahan dan berkobar-kobar. Panggilan ini adalah satu rumah yang akan membuat kita nyaman sekalipun rumah itu kecil dan tidak mewah. Kemanapun kita pergi, kita akan selalu tahu dimana rumah kita dan merindukan rumah kita.

Jadi... Apapun bakat gw di 'raport' gw minggu depan, gak akan ubah mimpi dan niat gw jalanin panggilan hidup gw. Untuk bangsa, negara, dan Tuhan. :)

Monday, June 20, 2011

Forgotten #2


“Hey.. Hey!”
Kelopak mata Lisa enggan untuk membuka. Dari celah buku matanya, warna keunguan muncul.
“Halooo.. Bangunnn!” entah suara darimana dan siapa itu. Lisa memutar badannya ke sebelah kiri, semakin erat memeluk gulingnya, lalu terbangun, tersentak, takut kalau-kalau ia terlambat masuk sekolah.
“Aduh!”
“Ngg.. Ini kan hari Sabtu. Sekolah libur. Suara apa sih daritadi. Seperti ada yang jatuh,” gumam Lisa sambil mengusap-usap matanya.

Pak.. Pak.. Pak..
Terdengar kepakan sayap dari bawah tempat tidur Lisa.
Hah? Ada kupu-kupu? Bukan. Itu Yume.
“Huaaaa!!!!” Lisa berteriak sekencang-kencangnya, membuka mata selebar-lebarnya
“Aihh.. Tenang-tenang.. Boneka tidak hanya hidup di dongeng, kok! Ayo, bangun, kita jalan-jalan!” kata Yume kepada Lisa yang masih panik, bingung, tak bisa berkata apa-apa. Dia mulai terbang ke arah jendela dan terhenti karena teringat akan Lisa yang tidak bersayap.
“Dasar manusia,” katanya menghela nafas.

Yume menarik telunjuk Lisa sambil terengah-engah. Bagaimana mungkin dia bisa membawa Lisa yang telapak tangannya saja lebih besar dari ukuran badannya? Dia memejamkan mata dan terasa sesuatu merambat di punggung Lisa, menyibakkan rambut panjangnya, dan mulai membuat kakinya melayang. “Aku punya sayap!”kata Lisa dalam hati.

“Ayo, kita pergi sekarang!” kata Yume
“Engg.. Tapi..”
“Sudahlah ikuti aku saja, jangan banyak tanya”
Lisa memandang jam dinding di kamarnya yang sangat rapih itu. Pukul 11 malam.
“Hhh.. Ya, sudahlah.. Mungkin ini hanya mimpi. Sepertinya menarik, aku ikuti saja,” pikir Lisa.

Mereka terbang melewati jendela kamar yang berhadapan langsung dengan langit malam yang dingin. Lisa dengan takut melihat sedikit-sedikit ke bawah. “huooow,” Lisa langsung saja hampir jatuh karena ketinggian yang dilihatnya.
“Astaga, aku benar-benar terbang!” kata Lisa
“Norak”
“Aihh.. Manis-manis ternyata pedas juga. Huh”
“Lebih keren lagi, haha.. Daripada kamu, cantik, anggun, lemah lembut, cih.. Terlalu wanita”
“Loh, aku kan memang perempuan”
“Tapi bisa-bisa laki-laki meremehkanmu. Cewek seperti kamu kelihatan lemah, tahu”
“Tapi anggun”
“Ya ya ya, terserah”
“Huh.. Aku tidak ingat punya boneka sinis seperti kamu. Padahal aku mengambilmu dari gudang karena senyummu sangat manis. Sejak kapan aku memilikimu? SD? SMP?”
Yume memandang Lisa sekejap dengan wajah yang aneh. Terkejut, takut, lalu sedih, dan kembali dingin seperti semula. Yume terbang lebih cepat dari Lisa untuk mengusir perasaan gundahnya.

Mereka melewati bangunan-bangunan Jakarta yang padat. Tinggi dan juga rendah. Beberapa kali Lisa hampir menabrak puncak-puncak gedung tinggi karena terlalu asik mengobrol dengan Yume. Lisa tersenyum ketika melihat pemandangan di bawahnya. Cahaya-cahaya kendaraan, lampu kota, dan bangunan-bangunan menghiasi malam tak berbintang. Cahaya itu sepintas terlihat membentuk garis panjang seiring dengan cepatnya mereka terbang melewatinya. Lisa yang sudah mulai stabil mulai memainkan sayapnya. Dia terbang ke kanan, lalu ke kiri, ke kanan lagi, lalu ke kiri. Lisa mulai bersenandung kecil, lalu tertawa, dan berteriak saat ia mencoba salto di atas udara. Lisa yang biasanya terlihat cantik menawan dalam keanggunannya, tampak lebih segar dan cantik dengan tawa lepasnya.

“Wohooo.. Seru sekaliii”
Yume, malaikat yang jutek itu mulai tersenyum. Geli melihat tingkah Lisa yang konyol.
“Jangan salto seperti itu. Dastermu terbuka”
“AH!”
“Bohong. Lagipula mana ada yang lihat di atas sini,” kata Yume sambil tersenyum kecil
“Hei! Menyebalkan sekali!”

Rasanya Jakarta saat kecil dari atas sana. Jakarta terlewati dengan begitu cepat, dan kelihatannya mereka sudah sampai di tempat lain. Banyak pepohonan di bawah sana. Jarang sekali ada bangunan. Sekalipun ada paling-paling hanya rumah penduduk yang kecil dan usang. Dimana ini?

“Ngomong-ngomong, mau kemana kita?” tanya Lisa
“Ke rumah”
“Hah? Rumah siapa?”
Yume memandang Lisa sambil tersenyum.
“Sebentar lagi kita sampai, kok”
“Untuk apa kamu membawaku?”
“Sudah kubilang, jalan-jalan!”
“Tapi kenapa aku?”
“Ini kan mimpimu, bodoh”
“Wah.. Kamu kelihatan begitu nyata dan tidak aku percaya. Aku pikir ini adalah mimpi, dan sekarang kamu berkata kalau kita sedang ada dalam mimpi. Hmmm.. Biasanya di dongeng tidak begitu, tahu!”
“Konyol,” Yume selalu menjawab dengan singkat, sinis, tanpa melihat pada Lisa.
“Tunggu, jawabanmu itu tidak menjawab. Kalau begitu, mengapa kamu mengajakku dalam mimpi ini untuk ke tempat itu?”
“Diam. Kita sudah sampai. Siap-siap ya”

Tiba-tiba mereka turun dengan melesat cepat sekali. Lisa tidak melihat dengan jelas apa yang mereka lewati ataupun yang mereka tuju. Pohon-pohon di hadapan mereka ditembus begitu saja sampai mereka juga menembus dinding sebuah rumah dan berhenti di sana. Lisa terjatuh di lantai dengan keras sedangkan Yume dengan sigap mengontrol tubuhnya. Yume terbang rendah di samping Lisa yang meringis kesakitan. Lisa perlahan-lahan berdiri dan melihat sekeliling.

Mereka ada di sebuah kamar yang rapih dan bersih. Tiba-tiba pintu di dobrak dengan kencang. Masuk seorang wanita menyeret seorang anak kecil berusia sekitar 6 tahun. Anak itu menangis dan menjerit sambil memegang tangan wanita itu yang menarik rambutnya. Anak itu dilemparnya ke pojok kamar, ditendang, dan dipukuli. Wanita itu sangat menyeramkan. Matanya bulat besar, ganas. Rambutnya panjang dan sedikit berantakan.

Ruangan itu seakan buyar, dan berganti dengan ruangan lain dalam sekejap. Anak kecil tadi tidur di kasurnya. Mengangguk-anggukkan kepala sambil bernyanyi keras-keras dengan earphone di telinganya. Tubuhnya gemuk, rambutnya pendek berantakan. Wajahnya muram dan tidak menyenangkan. Matanya membuat Lisa tidak nyaman.

“Hei.. Dia tidak melihat kita?” bisik Lisa pada Yume
“Tidak. Kita tidak terlihat dan tidak terdengar”
“Ini dimana?”
Lisa memandang sekelilingnya. Kamar itu rapih dan bersih. Tapi di dekat meja belajar, banyak foto orang-orang tertempel di sana. Beberapa dicoret dengan tanda silang yang besar dan salah satu foto ditancap dengan jarum jangka. Baru saja Lisa mendekati foto-foto itu beberapa langkah, ruangan tersebut bergoncang.

Semuanya buyar dan berganti dengan sawah-sawah yang luas, hijau, dan mendadak hari sudah terang. Udara pagi yang sejuk terasa sangat menyegarkan. Perkebunan itu terbentang luas dari bawah sampai ke atas. Di atas perkebunan terdapat semacam pondok. Anak kecil dan wanita tadi duduk berdua di sana. Mereka tampak sangat senang. Anak itu tertawa sambil mengangkat-angkat boneka beruangnya. Wanita itu tersenyum lebar memandang tingkah anak itu. Wajah mereka jauh berbeda, pastilah bukan ibu dan anak. Lagipula wanita itu juga masih sekitar 20 tahun, tidak mungkin sudah punya anak sebesar itu. Mereka berpelukan, wanita itu mencium kening anak tadi dan kembali bercanda ria bersama.

“Aneh,” pikir Lisa.
“Sudah malam. Ayo, kita pulang,” kata Yume mengepakkan sayap ungunya.
“Tunggu. Mereka siapa sebenarnya? Apa yang ingin kau tunjukkan? Kau pasti tahu dong siapa mereka?”
Yume memberikan senyum yang patah dan berkata, “Kau seharusnya lebih tahu”
“Ayolah.. Aku tidak tahu ini mimpi indah atau mimpi buruk. Aku tidak suka mimpi aneh seperti ini”
“Ini bukan mimpi. Aneh? Hidup manusia memang aneh”
“Maksudnya?”
“Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, besok kita jalan-jalan lagi, ya? Tapi cepatlah kau bangun! Menyusahkan saja”
“Ngg.. Baiklah. Moga-moga ini akan menjadi seseru perjalanan Sophie di Dunia Sophie,” kata Lisa asal

Mereka kembali terbang ke atas, menyusuri tempat yang mereka lalui untuk kembali ke rumah. Kali ini terasa jauh lebih cepat. Mereka sampai di kamar. Lisa naik ke atas tempat tidurnya, menarik selimutnya, merapikan bantalnya dan tertidur. Lisa pun bermimpi – sepertinya. Esoknya Lisa terbangun di pagi hari dengan perasaan aneh. Lisa memandang meja belajarnya, terlihat Yume yang tergantung di atas lampu. Tidak bergerak, senyumnya pun tidak.

Friday, June 17, 2011

Forgotten #1

Sinar matahari menyelinap masuk. Tertarik melihat sosok yang menggoreskan kuasnya dengan lembut dan hati-hati. Di dekat jendela itu terlihat bayangan panjang kanvas yang terus dipoles gadis itu. Perawakannya anggun, tenang, dan lembut. Senyum manis muncul di wajahnya ketika karyanya telah selesai. Di sana terlukis seorang wanita berkulit hitam, berambut ikal, sedang berdiri menatap matahari di tepi pantai. Baju dan rambutnya yang panjang diterpa angin, menambah keanggunan perempuan itu. Langit biru dengan awannya yang menakjubkan mampu menggugah hati. Gradasi warna air laut begitu sempurna dan terlihat hidup.

“Wah.. Bagus sekali, Lisa,” kata mama yang tiba-tiba sudah ada di belakang Lisa.
“Aduh, Mama! Bikin kaget aja. Kok aku gak denger mama masuk kamar ya?”
“Hihi.. Siapa dulu dong, mama gitu!”
“Ih, mama ada-ada aja!”
“Eh, tumben sekali kamu melukis seperti ini Lisa,” mama menghentikan tawanya dan memerhatikan lukisan Lisa sambil memeluk Lisa.
“Hmm? Seperti apa maksudnya?,” tanya Lisa sembari melihat kembali kepada lukisannya.
“Terang”
“Terang?”
“Iya, lagi jatuh cinta, ya? Haha..”
“Ma...”
“Iya-iya.. Mama cuma heran aja. Biasanya, nuansa lukisan kamu tidak seperti ini”

Lisa melihat sekeliling kamarnya yang luas dengan banyak lukisan hasil karyanya sendiri yang ia gantungkan di tembok. Memang terlihat gelap, dan Lisa memang menyukai warna-warna gelap. Kamarnya pun hanya terdapat warna hitam, coklat, dan coklat muda. Ada lukisan yang menggambarkan seorang wanita dengan gaun merah, tersungkur di lantai kamar yang gelap. Ada juga gambar anak kecil di tengah hutan. Suasana mendung yang kelabu, dan sebagainya. Serba gelap.

“Hmm.. Sekadar mengisi waktu luang saja kok, Ma,” jawab Lisa
“Ya sudah, tadi mama ke kamar kamu karena papa sudah menunggu kamu di bawah. Ini sudah jam 7 malam, Lisa. Papa mama sudah kelaparan menunggu kamu turun. Eh, kamu belum mandi, ya? Baunyaa,” kata mama sambil mencium bau seragam Lisa yang masih menempel dari pagi hari.
“Sudah sana mandi. Kalau sudah selesai langsung ke bawah, ya!”
“Iya-iya, ma,” kata Lisa sambil tertawa.

Lisa mengambil handuknya dan segera masuk ke kamar mandi sambil bersenandung senang. Mama tersenyum dan keluar dari kamar Lisa.

“Anak kamu, tuh, kalau sudah melukis langsung lupa waktu,” kata mama pada papa sambil menuruni tangga rumah.
“Eh, anak papa anak siapa juga, ma?,” kata papa sambil tertawa.
“Senangnya melihat Lisa terus berkembang dengan baik. Walaupun dia menjadi sangat sibuk sekarang, tapi senang juga melihat dia bisa ikut akrif di sekolahnya,” kata mama
“Ya, papa akan terus dukung dia menjadi pelukis hebat suatu saat nanti. Kemarin Pak Basuki memuji lukisan-lukisan Lisa yang ada di pameran. Selain karena dia pelukis termuda, beliau berkomentar bahwa lukisan Lisa sangat kuat dalam menyampaikan pesannya,”
“Sebenarnya mama tidak suka dengan selera dia dalam melukis. Terlalu gelap. Walupun ada banyak keindahan yang terlihat, tapi tetap saja mama kurang nyaman melihatnya”
“Tidak apa-apa. Pak Basuki yang sudah sangat profesional saja mengakui kehebatan Lisa.”
“Ya, mama tahu lukisan Lisa bagus sekali. Hanya saja mama tidak terlalu nyaman melihatnya.”
“Ahh.. Aku sudah lapar sekali.. Ada makanan apa, nih?,” suara Lisa terdengar dengan jelas dari lantai atas, disusul dengan suara derap langkahnya menuju meja makan.

Suasana meja makan menjadi sangat hidup. Mama mengambil makanan dan minuman untuk papa dan Lisa. Mereka bertiga bertukar cerita satu dengan lainnya. Ada saatnya mereka saling memperhatikan dengan saksama, ada saatnya mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Biasanya setelah piring mereka semua sudah diangkat dari meja makan pun, mereka masih bertahan berbincang-bincang sampai satu atau dua jam. Lisa sangat menyayangi keluarga kecilnya. Orangtuanya juga sangat mengasihi anak semata wayangnya. Teman-teman Lisa sering iri melihat kebersamaan Lisa dengan keluaganya. Terlihat begitu dekat, hangat, dan menyenangkan. Terlebih lagi keluarga mereka hidup dengan taat beribadah, takut akan Tuhan. Setiap malam seusai makan malam, mereka berkumpul bersama membaca Firman Tuhan, berdoa secara bergantian dan bernyanyi bersama. Lisa rajin melayani di gereja, berdoa dan membaca Alkitab.

Lisa dikenal teman-temannya sebagai anak yang sangat baik, lembut, ramah, namun juga tegas. Teman-temannya sangat senang bermain dengannya dan mencurahkan cerita hidup mereka padanya. Tak jarang teman-temannya datang dan meminta Lisa memberikan nasehat.

“Jo, lu lagi naksir si Lisa, ya?”
“Sssttt!! Jangan kuenceng-kuenceng bego! Err.. Iya”
“Waduhhh... Siap-siap patah hati dah lu. Berani-beraninya lu naksir ratu sejagad itu. Kayak lu gak tau aja, berapa banyak coba laki-laki di SMA Nusa Bangsa ini yang gagal dapetin dia, gan?”
“Gua tau kali, to.. Tapi kan.. Duh, gua yang bingung kenapa lu gak naksir dia”
“Naksir kali, jo.. Dulu.. Yah, gua ngerti deh perasaan lu. Kelembutannya, senyumnya, anggunnya, ramahnya, gak nahan dah jooo!”
“Apalagi, to.. Kalo lu perhatiin dia bener-bener nih, ya.. Di balik semua kemanisan itu ada satu misteri yang membuat dia makin menarik, to! Siapa coba yang kenal dia? Yang tau rahasia-rahasia dia? Ya palingan temen-temen ceweknya yang over protective banget kan sama si Lisa?”
“Iya, suram banget dah laki SMA sini. Dapet bunga cantik luar biasa, tapi mawar berduri. Baru sentuh aja udah keluar berapa liter darah, Jo”
“Ah, lebay lu!”

Yah, begitulah sosok Lisa di mata teman-temannya yang sangat menyukainya. Lisa tidak mempunyai teman dekat laki-laki. Semua yang dekat dengannya anak perempuan yang dianggap sangat beruntung oleh laki-laki penghuni SMA Nusa Bangsa Jakarta. Tidak sedikit juga orang-orang yang membencinya, banyak dari mereka karena iri dan ingin menjadi seperti Lisa.

Walaupun Lisa adalah gadis yang lembut, tapi bukan berarti dia tidak berambisi untuk memenuhi mimpinya. Lisa terus menggumulkan masa depannya. Walaupun tidak tahu pasti, namun Lisa ingin  k menjadi seorang pelukis hebat yang mengangkat martabat Indonesia. Lisa mencintai Indonesia yang kaya budaya dan alamnya. Lisa sering melukis kebudayaan tradisional ataupun melukis dengan penyampaian maksud tertentu. Lukisannya tidak sekadar ia jadikan pajangan di kamarnya, tapi juga sudah dikenal oleh banyak pengamat potensi muda. Lisa yang masih 2 SMA, sudah aktif mendaftarkan dirinya mengikuti pameran-pameran lukisan dan budaya. Namun Lisa tetap ingat ia harus terus rendah hati dan tidak sombong. Ia harus terus berdoa kepada Tuhan juga tentunya.

Suatu hari mama melihat barang-barang berantakan di depan pintu gudang. Suara berisik juga terdengar dari dalam gudang.

“Lisa? Sedang apa kamu?,” tanya mama ke dalam gudang
“Oh, ini.. Aku sedang mengumpulkan barang bekas yang masih layak pakai, ma”
“Untuk apa?”
“Ada acara garage sale di sekolah.”
“Oh, begitu. Tunggu sebentar, ya. Mama ganti baju lalu bantu kamu”
“Sip, ma!”

Lisa bersemangat mengumpulkan baju-baju yang masih dapat dipakai, sepatu, wadah barang, sapu, aksesoris, dan sebagainya. Di tengah-tengah tumpukan boneka-boneka yang sudah usang, mata Lisa tertarik pada sebuah boneka mungil berwarna ungu. Boneka itu tidak terbuat dari kapas, tapi dari kawat yang dicat rapih, bola, manik-manik, dan benang. Mungkin lebih tepat disebut pajangan dinding karena bentuknya dan tali panjang yang ada di atas kepalanya. Benda itu berbentuk malaikat perempuan kecil berambut panjang, berwarna ungu, dan tersenyum manis. Lisa langsung jatuh hati padanya.

“Yume”

Mama yang sedang membantu Lisa langsung berhenti membongkar kardus-kardus dalam gudang. Mama mencoba mencerna dan mengulangi kata yang disebutkan Lisa. Namun ia tidak yakin.

“Apa?,” tanya mama sembari menengok ke arah Lisa.

Dilihatnya Lisa membersihkan malaikat ungu itu dengan hati-hati. Mama terlihat kaget dan aneh.

“Oh, aku menemukan ini. Lucu, ya? Aku sangat menyukainya. Nama yang terpikir olehku langsung Yume. Entah mengapa,” kata Lisa sambil tersenyum.
“Oh, ya. Manis sekali,” kata mama canggung
“Tapi aku tidak ingat pernah memilikinya”
“Ah, Lisa, apakah ini bisa dijual?,” tanya mama
“Oh, mungkin bisa. Kita kelompokkan saja dulu ma yang mungkin dapat dijual”
“ya,” jawab mama singkat.

Lisa membawa Yume ke dalam kamarnya. Dari sekian banyak boneka yang ditemukan, hanya Yume yang menarik hatinya. Yume ia gantung di atas meja belajarnya. Lisa merebahkan dirinya di tempat tidurnya. Ia merasa lelah sekali. Lisa memandangi malaikat kecilnya yang tersenyum manis. Dan Lisa tidak ingat kapan menutup matanya dan berhenti melihat Yume. Lebih tepatnya membawa Yume ke dalam mimpinya.


"Forgotten" (Sinopsis)


Hidup Melisa dipenuhi senyum dan tawa dari keluarga dan teman-temannya. Ditambah lagi dengan mimpinya yang besar menjadi seorang pelukis hebat untuk tanah airnya. Setiap detik hidupnya begitu tenang sebelum dia menemukan Yume, sebuah boneka malaikat kecil yang masuk ke dalam mimpi-mimpinya. Dalam mimpinya, Yume menjadi hidup dan membawanya melihat kehidupan seorang gadis kecil yang tidak ia kenal. Tidak hanya mimpi aneh yang membuat Lisa bingung, tapi juga pertemuannya dengan seorang wanita yang ada dalam mimpi anehnya bersama Yume! Lambat laun ia menemukan berbagai fakta yang menggoncangkan hidupnya.

Wednesday, June 15, 2011

Makassar, Keindahan Terpendam

Akhirnyaaaa gw bisa tulis juga di blog sekarang! Huaa.. Gak sabar banget deh rasanya menceritakan betapa indahnya, senangnya, mengagumkannya trip sekolah SMA Kristen Calvin ke Makassar beberapa hari lalu! Well.. Mungkin Makassar bukan salah satu objek wisata dalam agenda banyak orang, tapi gw bilang sih Makassar harus jadi sasaran Anda berpergian keliling Nusantara ini. Terutama untuk sekolah-sekolah di Indonesia, rasa cinta tanah air dapat dipupuk melalui studi tour seperti ini. Saya sendiri merasa sangat bersemangat untuk menceritakan betapa bangganya saya akan Indonesia yang kaya akan keindahan alamnya, budaya, dan sejarah.

Dengan didampingi beberapa guru, anak-anak SMA Kristen Calvin kelas XI IPA dan XI IPS mengunjungi beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Kami menikmati perjalanan kami di Makassar, Bira, Pulau Lyukang, dan Bantimurung pada 5 Juni – 10 Juni lalu.

Hari pertama, kami berangkat ke Pantai Bira dan menginap di sana. Perjalanan selama 6 jam dari Bandara Sultan Hassanudin di Makassar menuju Pantai Bira cukup melelahkan kami, namun tidak cukup untuk mematikan keasikan kami bermain di Pantai Bira. Kami menikmati pantai dan menyaksikan matahari terbenam. Pasir putih yang sangat lembut merayu kami untuk bermain air bersama. Langit terhampar luas, dengan awan yang makin lama makin gelap dan tertimpa cahaya kemerahan sang fajar yang akan tertidur. Sebelum menutup seluruh acara pada hari itu, saya, teman dan guru saya pergi ke pantai. Saya tidak habis-habisnya terpesona melihat sekeliling saya. Bintang berhamburan bagaikan sungai yang mengalir di atas saya. Ada yang terang benderang, ada yang kecil dan meramaikan jajaran bintang-bintang malam yang indah. “Kalau lampu sekitar penginapan ini dimatikan, pasti lebih banyak lagi. Lihat yang seperti ekor dan asap di sana? Itu semua bintang, tapi tidak terlihat karena kurang gelap di sini,” kata seorang guru saya. Tidakkkk.. Saya tidak dapat menyembunyikan perasaan meluap-meluap kagum saya. Belum selesai saya terpesona oleh bintang-bintang tersebut, bulan terlihat sangat menggoda. Baru pertama kali ini saya melihat bulan berwarna merah, seperti api, bukan putih biasa. Bukan di atas nan jauh di sana, tapi lurus di hadapan saya. Rendah sekali, terang sekali, besarr sekalii.. Pendaran cahaya merahnya terpantul di air dan menerangi kapal-kapal yang ada di bawahnya. Oh, Tuhan, betapa hebat rajutanMu. Sayang sekali saya tidak tahu bagaimana cara mengambil gambar bulan tersebut dan tidak ada lagi yang membawa kamera selain saya di sana. Saya pun kembali ke penginapan dengan berat hati dan menikmati istirahat saya.



Keesokkan harinya setelah kami menikmati siraman rohani Firman Tuhan, kami berjalan ke pelabuhan beberapa ratus meter dari penginapan kami. Udara yang sangat segar membangunkan kami dan menambah energi tubuh kami. Sekali lagi kami terpesona oleh luasnya langit di atas kami, air yang berkilau tertimpa cahaya matahari mati, kapal dan pohon-pohon yang menambah keindahan pemandangan. Matahari terbit dan memberikan cahayanya yang semakin terang. Sayang sekali saya tidak membawa kamera saat itu. Kami kembali ke penginapan dan bersiap menuju Pulau Lyukang.

Pulau Lyukang benar-benar membuat kami terpesona. Pulau ini masih sangat asri. Selain kami, hanya ada 2-4 orang turis lainnya yang ada di sana. Fasilitas masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan Bali, namun dari pagi sampai sore hari kami tidak bosan-bosannya bermain di sana. Pasir di pantai begitu putih bersih dan dihiasi dengan berbagai pecahan karang dan kerang-kerang yang indah. Airnya begitu jernih, terlihat dasar lautan dengan karang-karang yang indah. Snorkeling tentu menjadi pengalaman mengesankan pula. It was sooo beautifulllllll.. Saya tidak dapat memikirkan apa-apa, terdiam, dan hanya mendengarkan suara tarikan nafas saya satu demi satu. Tangan saya ingin sekali memegang karang yang besar dan tinggi, dekat sekali dengan saya, namun takut karang itu rusak. Lalu saya dan teman-teman naik kapal masing-masing dan menuju ke tempat pemeliharaan penyu. Kami ikut berenang dan berfoto ria dengan penyu-penyu di sana. Setelah beranjak dari aktivitas kami di pantai, kami menikmati santapan siang yang sangat enak. Ikan yang disajikan sangat segar, dimasak dengan bumbu yang sangat lezat, dengan daging yang sangat lunak. Hari itu benar-benar sempurna. Sekitar pukul 3 sore, kami kembali ke Pantai Bira. Dan saking indahnya, kami tetap bermain di Pantai Bira sampai matahari terbenam kembali.. :)





Dalam perjalanan menuju Makassar kembali, kami mengunjungi pembuatan kapal phinisi. Sebuah kapal Nusantara yang sudah sangat terkenal dari sejak ratusan tahun yang lalu, mengarungi samudera bahkan sampai ke Eropa. Saya sangat kagum melihat besar kapal phinisi tersebut. Kebetulan mereka sedang mengerjakan kerangka kapal yang sudah dikerjakan selama 7 bulan (dan biasanya diselesaikan kerangkanya dalam waktu 1 tahun). Lebih kagum lagi ketika guru saya menjelaskan betapa kita seharusnya bangga dengan aset kita tersebut. Kapal phinisi dibuat dari kayu Papua yang sangat kuat. Saking kuatnya sampai-sampai dapat mematahkan beberapa kali mata bor yang digunakan untuk mengerjakan kayu tersebut! Kapal yang kami lihat tersebut dipesan oleh Polandia dengan harga yang sangat murah. Kerangka kapalnya saja berharga 3 milyar. Jangan kaget dahulu, karena kapal-kapal di luar negeri untuk kerangkanya saja bernilai jutaan dolar. Pemerintah Indonesia seharusnya dapat melihat potensi negaranya dan peduli dalam mengembangkannya. Upah tenaga kerja di Indonesia terlalu kecil. Polandia bukanlah negara yang kaya di Eropa, tapi dia bisa mendapatkan kapal yang baik dan murah dari Indonesia. Indonesia yang adalah negara kepulauan seharusnya dapat mengembangkan aset berharga ini sebagai ikon negara dan sumber devisa negara.




Selanjutnya, Bantimurung. Tempat ini terkenal dengan air terjun dan kupu-kupunya. Saya sangat sedih mengunjungi tempat ini karena pemda benar-benar tidak memperhatikan objek wisata negara. Terdapat Museum Kupu-kupu yang tidak lagi dapat dikunjungi karena jembatan menuju ke museum tersebut roboh dan tidak diperbaiki. Tempat pemandian, kamar mandi, tempat duduk dan sebagainya juga tidak dikembangkan dan dipelihara dengan baik. Bahkan, tempat yang disebut oleh Wales ini sebagai Kerajaan Kupu-kupu sekarang tidak lagi menyimpan keindahan peri-peri cantik itu. Dari awal sampai akhir, saya hanya menemukan sekitar 3-4 jenis kupu-kupu saja. Hitam, biru, oranye, dan kuning dalam jumlah yang sangat sedikit. Sedangkan di depan pintu gerbang masuk dijual banyak sekali kupu-kupu beraneka warna, bentuk, dan keindahannya masing-masing. Ciptaan Tuhan yang begitu cantik itu hanya terdiam kaku bersama teman-temannya di dalam bingkai-bingkai  kayu.




Perjalanan kami dilanjutkan di Goa Leang-Leang yang tak kalah menariknya. Biarpun panas menyengat, saya tetap asik mengambil foto-foto tebing tinggi, bebatuan yang besar-besar, sungai yang jernih dan indah sekali, serta goa di atas tebing. Batu-batu besar yang tersusun secara alami sangat indah. Bayangannya yang timbul karena sinar matahari juga menambah kegagahan batu-batu tersebut. Sungai yang sangat jernih membuat banyak dari kami tidak tahan untuk turun ke sungai dan menyelupkan kaki kami ke dalam air. Kami tertawa, tersenyum, dan senang sekali dengan alam yang sangat ramah ini. Goa Leang-leang ternyata bukan hanya sekadar goa biasa. Goa ini sangat penting karena menjadi salah satu bukti yang meruntuhkan teori evolusi. Goa yang terletak tinggi di atas, menampilkan gambar babi rusa dan tangan yang sangat jelas. Ada tangan berjari empat dan ada yang berjari lima. Konon katanya, yang lima itu tanda mereka sedang melakukan ritual penyembahan biasa. Sedangkan jika yang berjari empat hanya untuk upacara kematian. Jika ada anggota keluarga yang meninggal, maka keluarga yang masih hidup harus dipotong ibu jarinya. Hal ini meruntuhkan teori evolusi karena delapan ribu tahun lalu sudah ada semacam budaya, ritual, dan kepercayaan. Tidak mungkin monyet memiliki kecerdasan seperti itu atau bahkan kepercayaan. Bayangkan bukti penting itu ada di Indonesia, negara yang sering kita hina ini :)






Masih banyak hal yang mengesankan selama di Makassar. Kami mengunjungi Somba Opu dan juga Fort Rotterdam. Penjelasan sejarah dan budaya yang dijelaskan sangat menarik untuk dipelajari. Yang menyenangkan adalah, apa yang saya pelajari di kelas sekarang ada di depan mata saya. Nama-nama orang terkenal yang ada di buku sekarang pernah ada di tempat saya berada. Di Makassar, saya semakin mencintai Indonesia ini. Bersyukur saya dapat bersukacita dan menikmati segala sesuatu yang ada di sana. Bersyukur saya masih dapat memuji nama Tuhan yang menciptakan keindahan-keindahan tersebut. Bersyukur pula sekolah saya mendorong kami semua untuk dapat memikirkan panggilan hidup kami dan apa yang dapat kami lakukan untuk Indonesia ini. Saya mencitai Indonesia bukan hanya karena “surga-surga dunia” yang ada di tanah air ini. Namun saya mencintai Indonesia karena di tempat inilah saya lahir, saya ada, saya ditempatkan Tuhan. Di tanah inilah saya belajar, saya hidup, dan saya mengenal Tuhan. Saya mencintai Indonesia karena inilah Indonesiaku.