Sinar matahari menyelinap masuk. Tertarik melihat sosok yang menggoreskan kuasnya dengan lembut dan hati-hati. Di dekat jendela itu terlihat bayangan panjang kanvas yang terus dipoles gadis itu. Perawakannya anggun, tenang, dan lembut. Senyum manis muncul di wajahnya ketika karyanya telah selesai. Di sana terlukis seorang wanita berkulit hitam, berambut ikal, sedang berdiri menatap matahari di tepi pantai. Baju dan rambutnya yang panjang diterpa angin, menambah keanggunan perempuan itu. Langit biru dengan awannya yang menakjubkan mampu menggugah hati. Gradasi warna air laut begitu sempurna dan terlihat hidup.
“Wah.. Bagus sekali, Lisa,” kata mama yang tiba-tiba sudah ada di belakang Lisa.
“Aduh, Mama! Bikin kaget aja. Kok aku gak denger mama masuk kamar ya?”
“Hihi.. Siapa dulu dong, mama gitu!”
“Ih, mama ada-ada aja!”
“Eh, tumben sekali kamu melukis seperti ini Lisa,” mama menghentikan tawanya dan memerhatikan lukisan Lisa sambil memeluk Lisa.
“Hmm? Seperti apa maksudnya?,” tanya Lisa sembari melihat kembali kepada lukisannya.
“Terang”
“Terang?”
“Iya, lagi jatuh cinta, ya? Haha..”
“Ma...”
“Iya-iya.. Mama cuma heran aja. Biasanya, nuansa lukisan kamu tidak seperti ini”
Lisa melihat sekeliling kamarnya yang luas dengan banyak lukisan hasil karyanya sendiri yang ia gantungkan di tembok. Memang terlihat gelap, dan Lisa memang menyukai warna-warna gelap. Kamarnya pun hanya terdapat warna hitam, coklat, dan coklat muda. Ada lukisan yang menggambarkan seorang wanita dengan gaun merah, tersungkur di lantai kamar yang gelap. Ada juga gambar anak kecil di tengah hutan. Suasana mendung yang kelabu, dan sebagainya. Serba gelap.
“Hmm.. Sekadar mengisi waktu luang saja kok, Ma,” jawab Lisa
“Ya sudah, tadi mama ke kamar kamu karena papa sudah menunggu kamu di bawah. Ini sudah jam 7 malam, Lisa. Papa mama sudah kelaparan menunggu kamu turun. Eh, kamu belum mandi, ya? Baunyaa,” kata mama sambil mencium bau seragam Lisa yang masih menempel dari pagi hari.
“Sudah sana mandi. Kalau sudah selesai langsung ke bawah, ya!”
“Iya-iya, ma,” kata Lisa sambil tertawa.
Lisa mengambil handuknya dan segera masuk ke kamar mandi sambil bersenandung senang. Mama tersenyum dan keluar dari kamar Lisa.
“Anak kamu, tuh, kalau sudah melukis langsung lupa waktu,” kata mama pada papa sambil menuruni tangga rumah.
“Eh, anak papa anak siapa juga, ma?,” kata papa sambil tertawa.
“Senangnya melihat Lisa terus berkembang dengan baik. Walaupun dia menjadi sangat sibuk sekarang, tapi senang juga melihat dia bisa ikut akrif di sekolahnya,” kata mama
“Ya, papa akan terus dukung dia menjadi pelukis hebat suatu saat nanti. Kemarin Pak Basuki memuji lukisan-lukisan Lisa yang ada di pameran. Selain karena dia pelukis termuda, beliau berkomentar bahwa lukisan Lisa sangat kuat dalam menyampaikan pesannya,”
“Sebenarnya mama tidak suka dengan selera dia dalam melukis. Terlalu gelap. Walupun ada banyak keindahan yang terlihat, tapi tetap saja mama kurang nyaman melihatnya”
“Tidak apa-apa. Pak Basuki yang sudah sangat profesional saja mengakui kehebatan Lisa.”
“Ya, mama tahu lukisan Lisa bagus sekali. Hanya saja mama tidak terlalu nyaman melihatnya.”
“Ahh.. Aku sudah lapar sekali.. Ada makanan apa, nih?,” suara Lisa terdengar dengan jelas dari lantai atas, disusul dengan suara derap langkahnya menuju meja makan.
Suasana meja makan menjadi sangat hidup. Mama mengambil makanan dan minuman untuk papa dan Lisa. Mereka bertiga bertukar cerita satu dengan lainnya. Ada saatnya mereka saling memperhatikan dengan saksama, ada saatnya mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Biasanya setelah piring mereka semua sudah diangkat dari meja makan pun, mereka masih bertahan berbincang-bincang sampai satu atau dua jam. Lisa sangat menyayangi keluarga kecilnya. Orangtuanya juga sangat mengasihi anak semata wayangnya. Teman-teman Lisa sering iri melihat kebersamaan Lisa dengan keluaganya. Terlihat begitu dekat, hangat, dan menyenangkan. Terlebih lagi keluarga mereka hidup dengan taat beribadah, takut akan Tuhan. Setiap malam seusai makan malam, mereka berkumpul bersama membaca Firman Tuhan, berdoa secara bergantian dan bernyanyi bersama. Lisa rajin melayani di gereja, berdoa dan membaca Alkitab.
Lisa dikenal teman-temannya sebagai anak yang sangat baik, lembut, ramah, namun juga tegas. Teman-temannya sangat senang bermain dengannya dan mencurahkan cerita hidup mereka padanya. Tak jarang teman-temannya datang dan meminta Lisa memberikan nasehat.
“Jo, lu lagi naksir si Lisa, ya?”
“Sssttt!! Jangan kuenceng-kuenceng bego! Err.. Iya”
“Waduhhh... Siap-siap patah hati dah lu. Berani-beraninya lu naksir ratu sejagad itu. Kayak lu gak tau aja, berapa banyak coba laki-laki di SMA Nusa Bangsa ini yang gagal dapetin dia, gan?”
“Gua tau kali, to.. Tapi kan.. Duh, gua yang bingung kenapa lu gak naksir dia”
“Naksir kali, jo.. Dulu.. Yah, gua ngerti deh perasaan lu. Kelembutannya, senyumnya, anggunnya, ramahnya, gak nahan dah jooo!”
“Apalagi, to.. Kalo lu perhatiin dia bener-bener nih, ya.. Di balik semua kemanisan itu ada satu misteri yang membuat dia makin menarik, to! Siapa coba yang kenal dia? Yang tau rahasia-rahasia dia? Ya palingan temen-temen ceweknya yang over protective banget kan sama si Lisa?”
“Iya, suram banget dah laki SMA sini. Dapet bunga cantik luar biasa, tapi mawar berduri. Baru sentuh aja udah keluar berapa liter darah, Jo”
“Ah, lebay lu!”
Yah, begitulah sosok Lisa di mata teman-temannya yang sangat menyukainya. Lisa tidak mempunyai teman dekat laki-laki. Semua yang dekat dengannya anak perempuan yang dianggap sangat beruntung oleh laki-laki penghuni SMA Nusa Bangsa Jakarta. Tidak sedikit juga orang-orang yang membencinya, banyak dari mereka karena iri dan ingin menjadi seperti Lisa.
Walaupun Lisa adalah gadis yang lembut, tapi bukan berarti dia tidak berambisi untuk memenuhi mimpinya. Lisa terus menggumulkan masa depannya. Walaupun tidak tahu pasti, namun Lisa ingin k menjadi seorang pelukis hebat yang mengangkat martabat Indonesia. Lisa mencintai Indonesia yang kaya budaya dan alamnya. Lisa sering melukis kebudayaan tradisional ataupun melukis dengan penyampaian maksud tertentu. Lukisannya tidak sekadar ia jadikan pajangan di kamarnya, tapi juga sudah dikenal oleh banyak pengamat potensi muda. Lisa yang masih 2 SMA, sudah aktif mendaftarkan dirinya mengikuti pameran-pameran lukisan dan budaya. Namun Lisa tetap ingat ia harus terus rendah hati dan tidak sombong. Ia harus terus berdoa kepada Tuhan juga tentunya.
Suatu hari mama melihat barang-barang berantakan di depan pintu gudang. Suara berisik juga terdengar dari dalam gudang.
“Lisa? Sedang apa kamu?,” tanya mama ke dalam gudang
“Oh, ini.. Aku sedang mengumpulkan barang bekas yang masih layak pakai, ma”
“Untuk apa?”
“Ada acara garage sale di sekolah.”
“Oh, begitu. Tunggu sebentar, ya. Mama ganti baju lalu bantu kamu”
“Sip, ma!”
Lisa bersemangat mengumpulkan baju-baju yang masih dapat dipakai, sepatu, wadah barang, sapu, aksesoris, dan sebagainya. Di tengah-tengah tumpukan boneka-boneka yang sudah usang, mata Lisa tertarik pada sebuah boneka mungil berwarna ungu. Boneka itu tidak terbuat dari kapas, tapi dari kawat yang dicat rapih, bola, manik-manik, dan benang. Mungkin lebih tepat disebut pajangan dinding karena bentuknya dan tali panjang yang ada di atas kepalanya. Benda itu berbentuk malaikat perempuan kecil berambut panjang, berwarna ungu, dan tersenyum manis. Lisa langsung jatuh hati padanya.
“Yume”
Mama yang sedang membantu Lisa langsung berhenti membongkar kardus-kardus dalam gudang. Mama mencoba mencerna dan mengulangi kata yang disebutkan Lisa. Namun ia tidak yakin.
“Apa?,” tanya mama sembari menengok ke arah Lisa.
Dilihatnya Lisa membersihkan malaikat ungu itu dengan hati-hati. Mama terlihat kaget dan aneh.
“Oh, aku menemukan ini. Lucu, ya? Aku sangat menyukainya. Nama yang terpikir olehku langsung Yume. Entah mengapa,” kata Lisa sambil tersenyum.
“Oh, ya. Manis sekali,” kata mama canggung
“Tapi aku tidak ingat pernah memilikinya”
“Ah, Lisa, apakah ini bisa dijual?,” tanya mama
“Oh, mungkin bisa. Kita kelompokkan saja dulu ma yang mungkin dapat dijual”
“ya,” jawab mama singkat.
Lisa membawa Yume ke dalam kamarnya. Dari sekian banyak boneka yang ditemukan, hanya Yume yang menarik hatinya. Yume ia gantung di atas meja belajarnya. Lisa merebahkan dirinya di tempat tidurnya. Ia merasa lelah sekali. Lisa memandangi malaikat kecilnya yang tersenyum manis. Dan Lisa tidak ingat kapan menutup matanya dan berhenti melihat Yume. Lebih tepatnya membawa Yume ke dalam mimpinya.
No comments:
Post a Comment