Hatiku sangat tidak tenang. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dalam diriku. Tahun lalu aku berusaha mengabaikannya. Tapi sekarang aku melakukannya lagi. Hatiku hancur saat kuingat perasaanku memotong-motong binatang dalam lab. Nikmat. Aku takut pada diriku sendiri. Apa aku ini gila? Mengapa itu sangat menyenangkan bagiku? Aku ingin melakukannya sekali lagi. Tidak, aku sangat tidak menyukainya! Menjijikkan! Tapi.. Ah, aku lelah memikirkannya. Tiap kali aku melihat kucing melewati pagar rumahku, aku teringat akan hal itu. Aku aneh sekali. Satu masalah belum terselesaikan, sekarang masalah lain sudah muncul.
Aku merasa hari-hariku mulai tidak menyenangkan. Pagi ini aku pergi ke sekolah seperti biasa, dengan tidak bersemangat. Di sekolah ada anak baru, cantik dan ramah. Tampaknya semua orang menyukainya. Wajahnya sangat berseri-seri. Hanya dalam waktu seminggu saja, bahkan beberapa temanku sudah berani menyatakan cintanya. Hal yang paling menyebalkan adalah orang-orang yang membicarakan aku dan dia. Membandingkan kepopuleran kami. Aku tidak peduli dengan semua orang yang menyukaiku, memujiku. Namun aku sedih dengan beberapa komentar yang sangat benar bagiku.
“Lisa, kok kayaknya lu murung banget, ya sekarang?” tanya Rene, teman baikku
“Hmm? Masa?”
“Hmm.. Sori nih ya kalo menyinggung, tapi banyak yang bilang lu kalah dari si anak baru itu cuma gara-gara lu jadi suram banget sekarang” tambah Nico
“Bukan cuma suram, sih. Lu sadar gak sih lu jadi sering marah-marah sekarang?”
“Oh, gitu ya? Ya udah”
Rene dan Niko hanya berpandangan dan menghela nafas.
“Lu kenapa sih? Cerita-cerita dong, kita kan temen lu,” lanjut Rene
“Gak kok, gak ada apa-apa” kataku tersenyum kecut
“Tapi lu berubah banyak, loh”
“Ya udahlah, bukan urusan lu juga”
“Jangan gitu lah.. Gua kan temen lu. Bukan gimana ya, tapi gua gak nyaman denger omongan anak-anak tentang lu. Dulu lu dipuji sana-sini, sekarang dibilang sombong lah, rese lah, judes lah”
“Terus? Lu mau kesel juga sama gua?”
“Ih, rese banget sih lu! Udah bagus gua masih mau kasih tau lu. Terserah lah,”
Rene membanting kursinya dan pergi meninggalkan kelas. Nico juga emosi dan pergi. Aku kesal sekali. Mereka tidak tahu urusanku, dan pastinya mereka tidak bisa mencari jalan keluarnya. Mengurus hidup mereka saja sudah susah, untuk apa urus hidup orang lain? Menyebalkan. Makin aku memikirkannya makin kesal rasanya hatiku ini. Aku tahu mereka memperhatikanku. Aku juga tahu aku berubah. Tapi kenapa aku jadi seperti ini? Dimana Lisa yang dulu? Walaupun aku cepat sekali emosi sekarang, tapi aku sedih sekali menyakiti hati mereka. Seharusnya aku bisa menjaga kata-kataku.
“Heran, ya. Udah kekenyangan dipuji kali tuh orang. Gak ngaca ya sekarang kayak gimana.”
Kata-kata itu muncul begitu saja diikuti tawa anak-anak lain di dalam kelas. Mereka pasti mendengar pembicaraanku dengan Rene dan Nico. Kalau sudah menyangkut cewek-cewek kelas tukang gosip itu rasanya melelahkan sekali. Aku mengambil dompet dan berniat pergi ke kantin.
“Baru aja disindir gitu mau kabur, cemen”
Aku kesal sekali, aku berbalik dan berusaha menahan emosiku. Dari antara mereka semua, Cindy yang paling menyebalkan. Yang lain tidak akan berkutik tanpa instruksi dari ketua geng udang itu. Mulutnya yang paling besar dari antara yang lainnya.
“Sori, gak usah banyak ngomong, ya kalo gak tau urusan orang lain”
“Emang kita ngomongin dia? Dih, GR banget dia, hahaha”
Aku tak peduli dengan tawa mereka, aku berbalik dan melangkah menuju tujuanku.
“Udah gak punya temen, belagu, nyakitin temen sendiri lagi. Makan apa sih dia mulutnya jadi pedes banget”
“Mulut lu tuh yang cacat”
“Eits, mantan primadona panas nih”
“Gak usah ngomong macem-macem. Diem aja kalo gak ngerti, bego. Gak ada kerjaan lain ya selain ngomongin orang? Sirik? Pantes aja nilai lu berantakan. Cuma bisa main lipstik sama nyindir orang. Lu hampir di DO kan? Belajar yang bener, gak usah ikut campur urusan orang lain. Heran.”
Aku pergi namun mereka yang tidak bisa membalas kata-kataku tidak membiarkanku pergi begitu saja. Mereka menarik tanganku, menyiramkan air minum mereka ke seluruh badanku. Bajuku basah semua. Aku tidak bisa menahan lagi emosiku.
“Hahahahaha! Basah kuyup gitu masih bisa ngomong pedes gak?”
Aku tidak berkata apa-apa lagi, kutabrak badan Cindy sampai membentur keras ke dinding kelas. Kuremas kerah bajunya sampai lehernya sangat sesak. Kucabut pin baju di dadanya, kutekan kuat-kuat besi tajam pada pipinya. Matanya melotot ketakutan, nafasnya terengah-terengah.
“Diam, ngerti gak?”
Dalam beberapa detik suara berbisik di luar kelas mulai terdengar. Kulepas genggaman kuat tanganku pada kerah baju Cindy. Dia duduk lemas di lantai sambil meringis memegang punggung dan lehernya. Kulihat mata-mata yang menusuk padaku. Dengan nafas terengah-engah aku pergi ke toilet untuk menenangkan diri.
Damn! Lisa, kenapa begini?
7 comments:
I love this.. really.
Kerasa banget.
Lisa jadi sedikit lebih reflektif yaa.
btw, udah fixed sudut pandangnya pake "aku"? :)
gk tau juga.. hahahha... bingung... =.=
wew.. gak nyangka lu malah suka.. soalnya ni part kan cm kek bridge untuk selanjutnya.. jadi gk trlalu wah dan flat.. hoho
thanks anw.. :D
flat...but it's okay...nice job in the spelling and description...
MY
Hmm... using a little trick in words and mmajasi might make it more attractive when you try to tell the story by using the reflection of a character situation or condition. :)...wait for the next story.
MY
emosinya kena banget Hed.. beneran gw demen..
flow gw.. hahaha.. :D
sip.. sma2 yaa
:)
thx..
Post a Comment