Monday, November 7, 2011

Life


Gw gak tau rasanya sendirian. Benar-benar sendirian. Gw gak tau rasanya hidup tanpa ada orang yang sayang sama gw. Tanpa tau tujuan hidup gw apaan.

Beberapa bulan yang lalu, nyokap gw bawa karyawan (suster) nya ke jakarta buat jadi pembantu. Di rumah baru gw di Jakarta gak ada pembantu. Kebetulan ada suster dari praktek dokter nyokap gw yang udah gak tahan hidup di Tegal (kota asal gw, tempat nyokap gw masih tinggal sekarang). Asalnya dari Purwokerto, tapi sekarang tinggal di Tegal sama keluarga suaminya. Waktu menikah, dia pikir suaminya punya rumah sendiri dan suaminya ustad. Ternyata suaminya tukang sapu mesjid yang males kerja dan masih nebeng di rumah nyokapnya. Alhasil, dia, mbak Nani jadi sapi perah di sana. Dimintain duit sana sini, padahal suaminya juga ogah-ogahan kerja. Banting tulang demi hidup dia sendiri dan hidup orang-orang di sekitarnya yang minta-minta ke dia. “Aku gak akan minta-minta seperti mereka. Aku gak mau dibantu. Aku cukup terima apa yang jadi hak ku saja,” katanya.

Mbak Nani punya seorang anak, 5 tahun. Mbak Nani pengen bgt skolahin anaknya tinggi-tinggi supaya gak seperti dia. Itulah tujuan hidup dan impian mbak Nani satu-satunya. Tapi dengan kondisi “diperas” dan tidak dihargai, dia akan sangat sulit menyekolahkan anaknya. Akhirnya dia bekerja di Jakarta, tinggal bersama saya, kedua kakak saya dan kakak ipar saya. Kami sangat senang dengan kehadirannya. Kami sangat menyukai perangainya yang sangat polos, lucu, dan apa adanya. Sekalipun banyak sekali pekerjaan yang berantakan, kami mengajarinya pelan-pelan dan kami sangat comfort dengannya. Banyak kejadian lucu dan menyenangkan di rumah. Kami juga senang saat dia sekarang menjadi lebih baik dalam bekerja. Dari yang awalnya gak bisa masak, sampai bisa masak banyak resep. Gw sempat sangat kagum dan heran, bagaimana mungkin dalam tekanan yang begitu keras dia masih bisa tersenyum polos dan jujur?

“Di sini aku senang, hed. Jauh dari komunitas. Jauh dari tekanan. Gajiku juga gak aku ambil, biar ibu (nyokap gw) yang simpan aja dan sekolahin Hilal (anak mba Nani).”

“Aku gak mau, hed Hilal jadi seperti aku. Goblok. Sekolah cuma lulus SMP. Dulu waktu aku SD bagus-bagus nilainya. Tapi waktu SMP jeblok, stres liat ibuku punya anak terus, malu. Aku juga ke sekolah sepatunya bolong, rasanya mau mati aja,” katanya waktu kami berbincang bersama.

Tapi itu semua tidak berlangsung lama.

Mbak Nani jadi aneh dan mengganggu. Dia sering bgt kirim sms ke gw ‘n ngko gw. Segala macam kemarahan, kepaitan, dan kesedihan dia luapkan di sana. Dia jadi sering menangis sendiri, emosinya labil, menyalahkan kami yang tidak berbuat apa-apa dengannya. Makin lama dia makin sulit diajak bicara. Setiap hal kecil yang kami kritik dari dia, sangat sepele, dia langsung menangis. Berkali-kali dia minta berhenti kerja, bahkan sempat membawa semua barang-barangnya untuk pergi dari rumah. Tapi berkali-kali juga dia bilang kalo dia sangat senang di sini. Waktu nyokap gw udah ga tahan lagi sm tingkahnya yang manja, aneh, dan mengganggu, nyokap gw nantangin dia untuk benar-benar keluar. Nyokap gw kirim 2 pembantu lagi dan suruh dia keluar. Tapi dia langsung berubah drastis, yang tadinya menangis minta berhenti kerja sekarang merengek2 minta tetap bekerja di sini. Puncaknya, dia mencoba bunuh diri dari lantai 4.

Suasana rumah yang awalnya sangat menyenangkan, menjadi sangat melelahkan. Setiap pulang sekolah saya tidak sabar bertemu dengannya, berbicara, melihat keceriaan dan keluguannya. Tapi lama-lama saya rasanya enggan untuk pulang ke rumah. Enggan untuk mendengar masalah lainnya.

Mama saya yang sangat sibuk di Tegal menyempatkan diri ke jakarta hanya untuk membawanya pulang. Sulit sekali membujuknya pulang. Kami semua beranggapan sama, dia sudah stres, kalau dibiarkan bisa benar-benar gila. kami menganjurkannya untuk pulang ke desanya jika dia malu pulang ke keluarga suaminya di Tegal.  “dari saya bayi orang tua saya kasih saya ke nenek. Sekarang nenek sudah meninggal. Saya gak punya siapa-siapa yang sayang saya”. Kami terhenyak. Kami benar-benar kasihan padanya. Saya pun teringat awal keanehan mba nani. Waktu itu Hilal meneleponnya dan memintanya motor, rumah, harta. Anak umur 5 tahun! Saya pikir itu yang menyebabkan mba nani hilang arah. Satu-satunya tujuan hidupnya sekarang ‘hancur’, bahkan turut menekan dia.  Saya sangat khawatir dengannya, bagaimana nanti kalau dia pulang ke tegal atau ke desanya? Siapa yang akan mengurusnya? Siapa temannya? Dsb.

Tapi saya bersyukur, sebelum dia pulang ada satu momen indah dan mengharukan. Saat itu saya, mama, kakak saya dan istrinya duduk bersama-sama dengan mba nani. Kakak saya bertanya “Mba nani saat ini stres? Berbeban berat? Mba mau kedamaian?”

“ya”

“salah satu penyebab mba seperti ini krn mba belum kenal Tuhan. Hanya dengan mengenal Tuhan, mba bisa dapet kedamaian, bisa mengampuni diri sendiri, bisa mengampuni orang lain. Coba baca ayat ini”

“Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan..” Pecahlah tangisannya

“Aku yang bacain ya kalo mba gak bisa baca, Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Jiwamu akan mendapat ketenangan. Mba tau siapa yang ngomong?”

“siapa?”

“Tuhan Yesus, Nabi Isa. Ini ada sesuatu buat Mbak Nani, kamu baca baik-baik, renungkan, berdoa dalam nama Tuhan Yesus. Ini ada juga Alkitabku, mba baca dari yang tandanya merah (PB) baru baca yang hitam, trus baca lagi yang merah. Sekarang kita berdoa ya”

Saat itu dalam hati gw terus berdoa supaya Tuhan boleh menyatakan diri padanya. Saat itu gw mohon supaya Tuhan nyatakan bahwa dia tidak sendiri, ada yang sayang padanya, ada yang sudah rela mati untuk dosa-dosanya. Aku mengucap syukur buat berkat yang sudah diterimanya, juga aku. Aku harus terus liat ada pengharapan di depan sana. Aku kembali dikuatkan bahwa ada Tuhan yang memegang aku. Ada Tuhan yang memberikan kelegaan padaku.

No comments: