Thursday, August 4, 2011

Dilematis Perkembangan Masyarakat dalam Masyarakat Tradisional

Perkembangan masyarakat ditentukan oleh 2 faktor besar, yaitu pendidikan dan perekonomian yang baik. Dua hal ini harus dimiliki oleh masyarakat. Dengan pendidikan yang berkualitas, masyarakat lebih terbuka wawasannya akan keadaan sekitar.  Masyarakat menjadi semakin mampu melihat apa yang salah dan memperbaikinya, menganalisis dampak setiap inovasi terbaru, melihat potensi dan ancaman, dan sebagainya. Pendidikan yang baik akan berpengaruh kepada banyak aspek yang membantu suatu masyarakat untuk berkembang. Sedangkan dengan perekonomian yang baik, taraf hidup masyarakat lebih baik, kesejahteraan, dan kesehatan lebih baik. Melalui dua hal ini, masyarakat yang berkembang juga mampu mengokohkan stabilitas suatu negara, mendukung pembangunan negara. 

Di Indonesia, masih banyak masyarakat tradisional yang tidak memiliki pendidikan yang memadai. Tidak usah berbicara mengenai pendidikan yang berkualitas, sekolah pun terkadang tidak dimiliki suatu daerah. Dalam hal perekonomian, masyarakat tradisional memiliki perekonomian yang sangat sederhana dan sangat sulit serta memakan waktu lama untuk mengembangkan keadaan mereka. Bahkan ada banyak kelompok masyarakat Indonesia yang mengalami kemiskinan dahsyat. Rendahnya pendidikan, rendahnya kesehatan, tingginya kemiskinan dan kriminalitas, lemahnya perekonomian. Hal-hal ini tidak mendukung suatu negara untuk berkembang, dan dapat menjadi gangguan bagi stabilitas negara. Maka kita harus berbuat sesuatu untuk menanggulanginya. 

Namun setiap kebijakan sosial yang dibuat pasti memiliki dampak tersendiri. Perkiraan akan perubahan sosial yang akan terjadi menjadi satu hal yang harus dipikirkan. Masalah pertama yang kami pikirkan disini adalah budaya atau nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional yang terancam hilang jika mereka bersentuhan dengan program-program pengembangan masyarakat. Masalah ini bahkan disadari juga oleh masyarakat tradisional sendiri. Contohnya desa Wae Rebo, Flores. Seorang warga berkata, “ada semacam dilematis dalam desa kami untuk menerima teknologi. Kami takut tradisi dan budaya kami akan hilang” (Majalah Tempo, 11-17 Juli 2011). Desa ini masih mempertahankan warisan budaya seperti mbaru niang, rumah tradisional yang hanya ada 7 buah di sana. Mereka tidak ingin menambah ataupun menghilangkan mbaru niang ini karena mitos yang dipercaya mereka. Yang menarik adalah, seorang arsitek dari Universitas Indonesia sengaja datang kesana untuk mempelajari arsitektur mbaru niang ini dan ternyata rumah tradisional ini memiliki teknik arsitektur yang tinggi. Banyak sekali turis asing yang sengaja datang ke Wae Rebo untuk melihat kebudayaan mereka dan tinggal di mbaru niang ini. Sangat sayang jika desa ini kehilangan budayanya, bukan? Jika infrastruktur, pendidikan, perdagangan, dan fasilitas lainnya diterapkan dalam masyarakat tradisional seperti ini, mungkin saja Indonesia bukan lagi menjadi negara yang kaya budaya karena perubahan sosial budaya yang terjadi.



Namun jika kita membiarkan mereka “tertinggal” begitu saja, bukankah kita menganggap mereka seperti “objek”? Misalnya saja kita membiarkan masyarakat Irian Jaya tanpa baju, hanya dengan pakaian tradisionalnya hanya karena tidak ingin kehilangan pemandangan kebudayaan tersebut. Tanpa memberikan mereka prasarana yang secukupnya, bukankah kita merebut hak mereka untuk mendapat kesempatan yang sama dengan masyarakat modern? 

Apa yang kami pikirkan adalah, pemerintah tetap harus memenuhi unsur dasar yang diperlukan. Pendidikan dan perekonomian. Pendidikan disini bukan hanya mendirikan sekolah lalu membiarkannya begitu saja. Suatu program sosial dalam masyarakat tidak boleh hanya sekadar ditanamkan lalu ditinggalkan, tapi harus terus dijaga, diperhatikan. Perekonomian cukup untuk mampu meningkatkan taraf hidup yang selayaknya bagi masyarakat desa. Selebihnya, tinggal bagaimana masyarakat itu berkembang.

Tidak hanya sampai disitu saja. Ada masalah lain yang muncul ketika kita memikirkan berpuluh-puluh tahun kemudian. Dengan pendidikan yang baik, masyarakat pasti berkembang. Tidak dapat dipungkiri masyarakat tradisional itu juga kemungkinan besar akan berkembang menjadi masyarakat modern. Kasarnya, desa akan berubah menjadi kota besar. Bayangkan saja desa-desa dengan budaya kentalnya berubah menjadi kota yang padat dan tidak peduli budaya seperti Jakarta. Apakah ini namanya siklus yang tidak ada ujung? Tidak. Pembangunan negara dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri seharusnya tidak hanya memikirkan perkembangan dan perkembangan saja. Dari pendidikan yang ditanamkan pada masyarakat tradisional, perlu adanya pendidikan yang berbudaya. Pendidikan yang mengajarkan mereka untuk tetap menghargai nilai-nilai budaya. Masalahnya adalah masyarakat modern sekarang saat dulu bersentuhan dengan teknologi, pendidikan formal, kemajuan, tidak diajarkan untuk juga mempertahankan budaya yang tinggi, yang baik. Hidup modern dan berbudaya bukan dua hal yang bertentangan. Berbudaya bukan berarti kolot, justru menjadi orang yang bijak dan melimpah.

Diambil dari tugas sosiologi – Joseph dan Heidy (4/8/11)

No comments: