Sunday, December 25, 2011

Natal 2011


Natal identik dengan sukacita. Karena Natal adalah hari di mana kabar baik datang, hari di mana Sang Juruselamat yang dinanti-nantikan lahir. Berbagai hiburan, hiasan, dan sorak-sorai mengisi masa-masa Natal dengan nuansa yang ceria dan sukacita.

Tapi manusia memang susah melihat anugerah. Yang dilihat adalah diri dan diri sendiri. Begitu banyak orang yang bersukacita dan bersemangat menyuarakan indahnya Natal. Tapi ternyata tidak sedikit juga orang-orang yang menganggap Natal itu biasa saja dan hambar. Mungkin karena penatnya pekerjaan yang mengganggu, masalah-masalah yang membuyarkan fokus dan tidak memberi ruang untuk tenang dan merenungkan Natal. Bahkan beragam pelayanan yang padat juga sanggup membuat orang tidak mampu menikmati Natal.

Sedih rasanya melewatkan Natal yang indah dengan hambar. Saat lagu-lagu Natal dikumandangkan, sekejap ada rasa senang dan api kecil dalam dada. Namun sekejap pula keduanya hilang.

Suatu pagi, ayat-ayat dalam Alkitab menyegarkan jiwa. Tuhan Yesus lahir di dunia yang tidak mau menerimaNya. Namun Ia memberikan kekuatan kepada mereka yang mau menerimaNya untuk menjadi anak-anakNya. “Memberi kekuatan pada mereka untuk menjadi anak-anakNya, yang bukan oleh daging namun dari Allah”

Sebenarnya tidak ada alasan bagi kita semua – atau minimal saya – untuk tidak bersukacita. Natal adalah sebuah pengharapan. Lahirnya Raja Damai seharusnya cukup untuk membuat kita bersukacita. Saya kembali dikuatkan, namun tidak cukup berani untuk menguatkan saudara-saudara semua yang mungkin juga merasakan hambarnya Natal. Tuhan tahu kelemahan kita. Tuhan saja yang bisa berikan kita kekuatan, harapan, penghiburan. Namun apakah kita melihat kepada Dia yang menunggu kita memohon sukacita sejati daripadaNya? Dalam semua keterbatasan saya, saya ucapkan Selamat Natal.


note: aargghh... rasanya pengen hapus aja nih tulisan :'(

Monday, November 14, 2011

Forgotten#14

“Kau bawa aku kemana?” tanya Lisa
“Ke tempat dimana kamu bisa tahu siapa dirimu sebenarnya,” jawab Susan seraya tertawa licik

Lisa yang putus asa itu setuju mengikut tante Susan yang tidak pernah ia kenal. Sosok misterius yang terus memanggilnya “Fanny” dan terus membuntutinya.
Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Aku sudah putus asa. Semuanya pasti jijik padaku, termasuk diriku sendiri.Untuk apa lagi aku pedulikan hidup ini.

Susan mengendarai mobil dengan sangat cepat. Sudah 3 jam berlalu. Kemana Lisa dibawa? Lisa tidak dapat melihat apa-apa, sesuai perjanjian mata Lisa ditutup sampai mereka tiba di tempat tujuan. Lisa merasa ngeri, sekelilingnya gelap, hanya ada tawa licik tante Susan dan hawa tidak enak dalam mobil lusuh itu.

Mobil berhenti. Hati Lisa berdegup kencang. Sudah sampaikah? Tante Susan turun dari mobil. Dengan kasar dia membuka pintu mobil di sisi Lisa lalu menarik Lisa keluar. Susan tertawa penuh kengerian. Mereka berjalan beberapa langkah, lalu berhenti. Kedua tangan Susan meremas pundak Lisa dengan kencang.

“Sebentar lagi kamu terbangun dari mimpimu, sayang. Sebentar lagi, kamu kembali ke pangkuanku. Sebentar lagi, kita akan bermain bersama-sama lagi, Fanny” bisik Susan.

Susan lalu melepaskan ikatan kain yang menutup mata Lisa. Perlahan-lahan Lisa membuka matanya. Takut, tapi tidak sabar. Lutut Lisa lemas,seluruh bulu kuduknya berdiri, hatinya seperti dipukul bongkahan kayu besar.

“Ini.. Ini mimpi?”
Susan tertawa terbahak-bahak.
“Setengah mimpi, sayangku. Kamu belum sepenuhnya bangun.”
“Yang benar saja... Ini..”

Lisa tidak sanggup untuk percaya. Lisa melihat ke sekelilingnya. Perkebunan hijau terbentang di hadapannya. Pepohonan terlihat sangat jelas tanpa dihalangi bangunan-bangunan tinggi dan besar. Langit, terlihat sangat luas dan tidak terbatas. Ini.. Langit tempat Lisa dan Yume terbang di mimpinya! Lisa kembali melihat apa yang ada di depannya. Sebuah rumah besar yang persis sama ada dalam mimpinya bersama Yume.

“Yume.. Ini..” Lisa mencoba menata pikirannya. Tidak hanya Susan yang ada dalam mimpinya dan menjadi nyata. Sawah, pepohonan, rumah-rumah penduduk, rumah besar ini, dan seluruh desa ini benar-benar nyata.
“Hahaha! Ayolah, aku sudah tidak sabar melihat reaksimu setelah masuk ke dalam rumah ini, Fanny”

Lisa menapakkan kakinya pada tangga kecil kayu di depan rumah itu. Satu per satu. Lisa memerhatikan rumah yang sangat kotor itu. Berdebu, lusuh, dan kayunya sudah reyot. Namun Lisa merasakan ada sesuatu yang aneh. Familiar. Apakah ini karena ia pernah memimpikannya? Jantungnya berdegup semakin cepat. Lisa masuk ke dalamnya dan semakin tidak percaya. Dia sadar ini adalah ruang tamu tempat Lisa melihat Fanny dan Susan dalam mimpinya. Lisa teringat mimpi yang menyeramkan itu. Lisa teringat bagaimana Susan memperlihatkan video pembunuhannya pada Fanny, bocah gendut dan kasar itu. Lisa kebingungan, dia ingin lari tapi tidak bisa lari. Ia tidak tahu dia dimana sekarang. Ini bukan Jakarta dan sepanjang jalan matanya tertutup! Lisa merasa sangat bodoh mau mengikuti tante Susan. Bagaimana kalu tante Susan benar-benar seperti apa yang dimimpikannya? Bagaimana jika ia malah dibunuh di sini? Tapi untuk apa? Lisa benar-benar bingung dan takut. Perasaannya tak keruan.

“Hahaha! Ada apa dengan nafasmu sayang? Kamu tidak perlu berkeringat dingin seperti itu. Kamu tidak perlu takut. Kamu sudah bertahun-tahun ada di sini,” kata Susan sembari menatap tajam Lisa.
“Apa? Maksudnya?”
“Hahaha! Keras sekali kepalamu hah!” Susan menjambak rambut Lisa dengan penuh kemarahan. Lisa berteriak kaget dan kesakitan.
“Kamu tidak ingat juga, hah?!”

“oh, Fanny sayang.. Tidakkah kamu mengerti betapa aku merindukanmu?” Susan berubah menjadi sangat lembut namun mencekam.
“Tidakkah kamu ingat betapa menyenangkannya kita bermain-main bersama dulu di sini? Kamu tidak ingat dapur itu? Di sana aku memasak banyak makanan untukmu! Ah, coba kemari. Lihat! Itu kamar kita dulu. Kamu tidak ingat nyanyian tidurku untukmu?”
“Kamu.. Apa yang kamu bicarakan? Siapa kamu?”
“Ah, Fanny.. Aku sedih sekali”
“Aku bukan Fanny!! Siapa Fanny? Orang gila!”

Susan melepas cengkramannya dan tertawa terbahak-bahak. Lisa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Sini kamu, setan kecil!!” Susan menjambak rambut Lisa dengan sangat keras. Menyeretnya ke tangga dan menuju satu ruangan. Susan melemparkannya ke dalam ruangan yang besar dan kotor itu. Lisa terjatuh dan ia sadar, ia tidak seorang diri. Lisa menengadah dan melihat orangtuanya disekap!

“Mama! Papa! Apa.. yang terjadi?”
Kepala Lisa pening luar biasa. Isak tangis mulai keluar dari matanya. Tidak pernah ia merasa setakut ini. Ia ingin menghampiri orangtuanya yang diikat di satu kursi, tapi ia tidak yakin mereka nyata.

“Aku sudah gila?” Lisa menangis dan menangis. Pening di kepalanya semakin menjadi-jadi. Susan tertawa semakin lama semakin keras.

“Lisa..” mama memanggil Lisa dengan lirih dan penuh kesakitan.

“Kamu tidak ingat kejadian ini, Fanny?” tanya Susan
“Kamu tidak ingat kamar ini? Kamu masih juga tidak ingat puncak drama kita dahulu?”

“Kamu. Kita. Adalah pembunuh, Fanny. Kamu, kita. Tinggal di sini dan saling menyayangi, membenci semua pengganggu yang menyebalkan di dunia seperti kedua orang ini! Mereka kejam! Mereka menyiksaku, menggangguku. Kamu tidak tega, bukan melihat aku disiksa? Kamu menyayangi aku, kan? Kamu berjanji akan selalu ada bersamaku, bukan?”

Lisa gemetar, nafasnya tidak teratur. Lisa tidak sanggup menahan rasa peningnya. Kepalanya seakan mau pecah. Kepalanya seperti memutarkan satu rekaman film yang tidak pernah ia lihat. Begitu cepat, sekilas demi sekilas. Kata-kata Susan seperti pisau yang menyayat-nyayat kepala dan hatinya.

“Diaaamm!!” Lisa berteriak. Mama dan Papa semakin keras menangis.
“Lisa, jangan dengarkan Susan. Kamu anak mama papa, kami menyayangimu”
“Bohong!! Mereka tidak akan menyembunyikan semua ini darimu kan? Mereka egois, Fanny!! Mereka hanya ingin memisahkan kita! Memanfaatkanmu!” teriak Susan.

“Apa? Apa yang disembunyikan? Jadi, itu semua benar, ma, pa?”
Mama papa hanya menggeleng lemas, tapi tidak berkata apa-apa.
“Siapa Fanny? Siapa Lisa?”
“Lisa..” Papa tidak menjawab.

“Hahahaha!! Kamu lihat sendiri, Fanny! Mereka pembohong besar! Kamu bukan Lisa, kamu adalah Fanny! Theofanny Handoko. Anak tunggal dari keluarga Handoko, pemilik tanah dari seluruh perkebunan di sini. Sejak kecil aku yang menjagamu, menyayangimu. Mereka hanya sibuk dengan urusannya sendiri!”
“Theofanny Handoko?”
“Ya, benar sekali. Kamu mirip sekali dengan aku. Pembunuh kecil berdarah dingin. Kamu suka mengkuliti binatang, bukan? Itu kebiasaanmu sejak kecil. Aku yang mengajarkannya padamu, Fanny. Aku! Hahaha! Jadi.. Kamu tidak perlu lagi bingung terhadap siapa dirimu, Fanny. Kamu bukan Lisa, gadis jelita yang suka melukis dan anggun itu. Kamu adalah Fanny, gadis penuh kegelapan dan kejam seperti aku. Jadilah dirimu sendiri, Fanny. Kamu akan terus tersiksa selama kamu menyesali dirimu sendiri dan meratap pada Tuhanmu itu!”

Lisa terdiam. Lisa berhenti menangis. Pikirannya kosong, hatinya kosong.
“Aku.. Tidak mau..”
“Kamu tidak mau? Tuhan tidak mau kamu!! Tidak ada yang mau kamu!! Hahaha! Kecuali aku, sayang. Ada aku di sini..”
“Fanny..”
“Ya, kamu adalah Fanny. Jadilah Fanny”

Susan menyodorkan kapak besar ke tangan Lisa yang tak bernyawa itu. Lisa tidak menolak. Lisa menggenggamnya dan memerhatikannya. Lisa terus meracau dan kehilangan arah. Lisa tidak tahu dirinya berada dimana. Ia tidak tahu dirinya siapa. Lisa hanya merasa dirinya sudah gila dan tidak tahu harus percaya mana. Susan terbahak-bahak penuh kemenangan.

“Akhirnya, Fanny! Kamu bangun juga! Cepat, lakukan bagian yang belum kita mainkan dulu! Hahaha!” Tidak ada yang tahu kalau di luar ruangan Otto terus mendengarkan percakapan mereka dan menunggu polisi datang. Otto terus menahan nafas dan suaranya yang sulit untuk tidak terkejut. Otto tidak menyangka wanita bajingan yang merusak Fanny itu datang kembali. Dia tidak menyangka, gadis yang selalu ia rindukan itu ada di sini dan dalam momen seperti ini. Dia baru tahu inilah momen terakhir yang membuat Fanny dan keluarga Handoko menghilang setelah Susan dijebloskan dalam penjara. Otto tidak sabar untuk masuk dan membubarkan semuanya, tapi ia tidak mampu seorang diri saja. Oh, Tuhan, tolong kami.

“Ayo, Fanny. Jangan sampai kebodohanmu terulang. Jangan segan-segan menghempaskan kapak itu pada kepala mereka berdua. Jangan lagi kamu meninggalkan aku seorang diri”

Lisa menangis. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Susan menyanyikan lagu yang dinyanyikannya sebelum Lisa tidur dulu.  Lagu mencekam itu membangkitkan keputusasaan yang semakin mendalam dalam hati Lisa. Lisa teringat kejadian mengerikan yang dilakukannya. Lisa teringat kematian Sella karenanya. Lisa marah, ia tidak mengerti kenapa dia harus dilahirkan menjadi pembunuh. Lisa berserah pada takdir.

Lisa menjerit keras lalu mengangkat kapak besar itu tinggi-tinggi. Tapi sesaat sebelum kapak itu menghujam orangtuanya, Lisa terpaku. Lisa terpaku menatap cermin kotor di belakang kursi orangtuanya. Di sana ia menatap dirinya. Sekejap, sosoknya berubah menjadi sosok gadis kecil yang gemuk berambut pendek, dengan mata terbelalak dan sorotan yang mengerikan. Itulah Fanny, itulah Lisa. Itulah dia, 3 tahun yang lalu. Dengan kapak yang sama, di kamar yang sama, dan kejadian yang sama. Kali ini Lisa baru ingat, saat itu ia tidak jadi membunuh orangtuanya. Saat itu ia terjun dari jendela untuk bunuh diri. Saat itu ia hanya ingin melawan takdir dengan satu-satunya cara yang ia tahu. Lebih baik mati daripada harus hidup sebagai pembunuh. Lebih baik mati, daripada hidup terus menyakiti hati Tuhan. Lisa tidak percaya takdir membuatnya menjadi pembunuh, ia percaya Tuhan menciptakannya baik adanya, ia tidak sanggup menerima dirinya. Itulah sebabnya ia lompat dari atas, dan membuang Fanny, membunuh Fanny dalam dirinya. Kapak itu ia hujamkan ke lantai lalu ia duduk lemas di bawah kaki ayah ibunya.

“Apa yang kamu lakukan! Bangun Fanny!! Bunuh mereka!”
“Angkat tangan!!” Otto masuk bersama dengan para polisi.
“Apa-apaan ini! Lepaskan aku! Fanny, kembalilah padaku! Lihat aku, brengsek kecil!”
Polisi melepaskan ikatan tali mama dan papa.
“Otto.. Terimakasih, nak. Bagaimana kamu bisa menemukan kami di sini?”
Otto hanya terdiam, mengangguk pelan dan menatap Fanny. Saat ini ia sangat mengkhawatirkan Fanny. Perasaannya campur aduk. Ia tidak lagi peduli apakah Fanny mengingatnya atau tidak. Otto takut kehilangan Fanny lagi.

“Fanny..”
Fanny menoleh pada Otto yang duduk di sebelahnya. Lama sekali ia menatap lekat-lekat muka Otto. Perlahan ia menyentuh muka Otto, merabanya, lalu tangisnya pecah sembari memeluk Otto erat-erat.
“Kuatlah, Fanny. Kamu tidak apa-apa. Kami di sini.”

*******
Saat aku terbangun di pagi hari, aku masih merasa sangat lelah. Pikiranku masih melayang-layang. Entah memikirkan apa. Aku terlalu rapuh untuk memikirkan sesuatu. Aku berdiri lalu membuka jendela kamar. Kicauan burung terdengar sangat jelas. Segarnya udara pagi memanjakan aku yang masih lemah.

Segala sesuatu terjadi sangat dahsyat. Dalam beberapa hal aku masih belum mengerti. Namun aku tidak sanggup untuk mengkhawatirkan itu lagi. Aku tahu sebentar lagi aku akan menemukan jawabannya.

“Fanny..” mama mengetuk pintu.

Ah, nama itu masih menyakiti hatiku. Membawaku pada kelamnya masa lalu.

Aku kembali duduk di kasurku. Mama masuk dan menyuguhkanku teh hangat. Wajah mama yang penuh cinta juga menyakiti hatiku. Mengapa aku sempat ingin... ah, aku benar-benar tidak sanggup menerima apa yang terlah kuperbuat. Aku hanya terdiam. Raut muka mama berubah menjadi sedikit sedih. Aku bisa merasakan mama menahan tangis. Mungkin mama merasakan penarikan diriku terhadapnya. Maaf ma, aku senang mama di sini. Aku hanya merasa tidak pantas.

“Hey.. Fanny sudah bangun ya?” Otto masuk ke kamar dengan penuh senyuman yang bersemangat. Aku masih belum terbiasa dengannya. Sudah lama sekali kami tidak bertemu.

“Ah, Otto.. Sini, kamu temani Fanny. Tante mau ngobrol sama papa kamu dulu, deh. Kayaknya Fanny juga mau ngobrol sama kamu”

Aku tahu, mama tahu Otto dapat lebih mendekatiku.

Otto duduk di samping tempat tidurku. Aku menatapnya sekilas. Dia sudah sangat berubah. Dia semakin tampan. Tubuhnya yang dulu kecil dan kerempeng sekarang menjadi tinggi, besar, dan gagah. Sekarang dia sudah seperti laki-laki dewasa saja. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku. Lama sekali dia menatapku tanpa berbicara apa-apa. Aku tidak tahu harus bagaimana bersikap.

“Kamu makin cantik, ya..”

Kurang ajar. Dasar Otto bodoh. Mukaku pasti langsung merah.

“Dasar Fanny bodooohhhh!! Aku kangen banget sama kamuuu!!” Otto tiba-tiba mengacak-acak rambutku. Otto tidak berubah. Selalu saja dapat membuatku tertawa dan merasa nyaman dan ringan. Seperti dulu, Otto masih sangat bawel sedangkan aku hanya berbicara sedikit-sedikit saja. Kami berbicara banyak hal. Kami bertukar cerita mengenai dunia kami masing-masing. Otto bercerita tentang sekolah di desa ini sedangkan aku bercerita tentang kehidupan di Jakarta. Aku mulai mendapatkan tenaga lagi untuk menghadapi hari ini. Aku bahkan mempunyai tenaga untuk bertanya tentang kejadian besar kemarin padanya.

“Otto.. Apa yang terjadi?”
Otto menunduk kebawah, berpikir sejenak. Lalu ia mulai bercerita panjang lebar, aku dengan sabar mendengarkan.

Memang benar, aku adalah Fanny. Susan itu pembantu rumah tanggaku. Sewaktu kecil, aku lebih sering bersama dengannya daripada bersama dengan orangtuaku. Susan dengan kegilaannya itu entah mengapa berusaha menjadikan aku seperti dirinya. Dia sangat menyayangiku, namun tidak jarang menyiksa, memukul, dan menghina aku. Susan sudah menyiksa dan membunuh banyak orang. Ia menceritakannya padaku. Aku pun terbiasa dengan semua itu dan menikmatinya. Semua orang tahu ada yang salah denganku, dengan hanya melihat aku saja. Tapi Otto mengetuk hati kecilku. Memasukkan Injil kedalamnya lalu mengubahku perlahan-lahan. Namun aku tidak sanggup melihat pengampunan Tuhan lebih daripada semua kejijikan diriku. Sampai puncaknya, aku tidak sanggup menerima diriku yang mau membunuh orangtuaku sendiri. Aku lompat dari jendela, bunuh diri, tapi aku tidak mati. Susan ditangkap, sedangkan aku tertidur lama di rumah sakit.

Saat aku bangun, dokter segera tahu kalau aku sudah hilang ingatan. Dia tidak tahu kapan aku akan ingat kembali kejadian-kejadian sebelum aku jatuh. Dokter memberitahu orangtuaku kalau hilangnya ingatanku mungkin bukan karena benturan atau luka fisik, tapi psikis. Mengetahui hal itu, mama dan papa memutuskan untuk mengubur dalam-dalam semua tentang Fanny.

“Lisa, ini mama. Mama sedih kamu tidak ingat mama. Ayo kita pulang, nak”
Saat itu aku tidak pulang ke rumahku, rumah tempat aku bertemu dengan Susan. Tapi aku pindah ke Jakarta. Mama dan papa saat itu mengarang cerita kalau papa dipindahtugaskan ke Jakarta.
“Hmm.. Bagaimana dengan teman-temanku? Aku belum bertemu dengan mereka. Mereka tidak menjengukku?”
“Ah, kamu tidak akan ingat mereka, sayang. Itu akan menyakiti hati mereka. Lagipula kita tidak sempat berlama-lama lagi di sini”

Saat itu aku yang tidak teringat apa-apa hanya merasa aneh. Namun menerimanya sebagai hal yang wajar. Toh aku sedang sakit, pikirku.

Otto berhenti bercerita.
“Mereka menyayangimu, Fanny. Mereka tidak ingin kamu tersiksa dengan masa lalu. Sekalipun mereka salah mengambil langkah, cobalah mengerti mereka”
Aku terdiam dan diam. Mataku memandang jauh ke jendela tanpa berpikir apa-apa.

“Fanny. Kita jalan-jalan yuk?”

Monday, November 7, 2011

Life


Gw gak tau rasanya sendirian. Benar-benar sendirian. Gw gak tau rasanya hidup tanpa ada orang yang sayang sama gw. Tanpa tau tujuan hidup gw apaan.

Beberapa bulan yang lalu, nyokap gw bawa karyawan (suster) nya ke jakarta buat jadi pembantu. Di rumah baru gw di Jakarta gak ada pembantu. Kebetulan ada suster dari praktek dokter nyokap gw yang udah gak tahan hidup di Tegal (kota asal gw, tempat nyokap gw masih tinggal sekarang). Asalnya dari Purwokerto, tapi sekarang tinggal di Tegal sama keluarga suaminya. Waktu menikah, dia pikir suaminya punya rumah sendiri dan suaminya ustad. Ternyata suaminya tukang sapu mesjid yang males kerja dan masih nebeng di rumah nyokapnya. Alhasil, dia, mbak Nani jadi sapi perah di sana. Dimintain duit sana sini, padahal suaminya juga ogah-ogahan kerja. Banting tulang demi hidup dia sendiri dan hidup orang-orang di sekitarnya yang minta-minta ke dia. “Aku gak akan minta-minta seperti mereka. Aku gak mau dibantu. Aku cukup terima apa yang jadi hak ku saja,” katanya.

Mbak Nani punya seorang anak, 5 tahun. Mbak Nani pengen bgt skolahin anaknya tinggi-tinggi supaya gak seperti dia. Itulah tujuan hidup dan impian mbak Nani satu-satunya. Tapi dengan kondisi “diperas” dan tidak dihargai, dia akan sangat sulit menyekolahkan anaknya. Akhirnya dia bekerja di Jakarta, tinggal bersama saya, kedua kakak saya dan kakak ipar saya. Kami sangat senang dengan kehadirannya. Kami sangat menyukai perangainya yang sangat polos, lucu, dan apa adanya. Sekalipun banyak sekali pekerjaan yang berantakan, kami mengajarinya pelan-pelan dan kami sangat comfort dengannya. Banyak kejadian lucu dan menyenangkan di rumah. Kami juga senang saat dia sekarang menjadi lebih baik dalam bekerja. Dari yang awalnya gak bisa masak, sampai bisa masak banyak resep. Gw sempat sangat kagum dan heran, bagaimana mungkin dalam tekanan yang begitu keras dia masih bisa tersenyum polos dan jujur?

“Di sini aku senang, hed. Jauh dari komunitas. Jauh dari tekanan. Gajiku juga gak aku ambil, biar ibu (nyokap gw) yang simpan aja dan sekolahin Hilal (anak mba Nani).”

“Aku gak mau, hed Hilal jadi seperti aku. Goblok. Sekolah cuma lulus SMP. Dulu waktu aku SD bagus-bagus nilainya. Tapi waktu SMP jeblok, stres liat ibuku punya anak terus, malu. Aku juga ke sekolah sepatunya bolong, rasanya mau mati aja,” katanya waktu kami berbincang bersama.

Tapi itu semua tidak berlangsung lama.

Mbak Nani jadi aneh dan mengganggu. Dia sering bgt kirim sms ke gw ‘n ngko gw. Segala macam kemarahan, kepaitan, dan kesedihan dia luapkan di sana. Dia jadi sering menangis sendiri, emosinya labil, menyalahkan kami yang tidak berbuat apa-apa dengannya. Makin lama dia makin sulit diajak bicara. Setiap hal kecil yang kami kritik dari dia, sangat sepele, dia langsung menangis. Berkali-kali dia minta berhenti kerja, bahkan sempat membawa semua barang-barangnya untuk pergi dari rumah. Tapi berkali-kali juga dia bilang kalo dia sangat senang di sini. Waktu nyokap gw udah ga tahan lagi sm tingkahnya yang manja, aneh, dan mengganggu, nyokap gw nantangin dia untuk benar-benar keluar. Nyokap gw kirim 2 pembantu lagi dan suruh dia keluar. Tapi dia langsung berubah drastis, yang tadinya menangis minta berhenti kerja sekarang merengek2 minta tetap bekerja di sini. Puncaknya, dia mencoba bunuh diri dari lantai 4.

Suasana rumah yang awalnya sangat menyenangkan, menjadi sangat melelahkan. Setiap pulang sekolah saya tidak sabar bertemu dengannya, berbicara, melihat keceriaan dan keluguannya. Tapi lama-lama saya rasanya enggan untuk pulang ke rumah. Enggan untuk mendengar masalah lainnya.

Mama saya yang sangat sibuk di Tegal menyempatkan diri ke jakarta hanya untuk membawanya pulang. Sulit sekali membujuknya pulang. Kami semua beranggapan sama, dia sudah stres, kalau dibiarkan bisa benar-benar gila. kami menganjurkannya untuk pulang ke desanya jika dia malu pulang ke keluarga suaminya di Tegal.  “dari saya bayi orang tua saya kasih saya ke nenek. Sekarang nenek sudah meninggal. Saya gak punya siapa-siapa yang sayang saya”. Kami terhenyak. Kami benar-benar kasihan padanya. Saya pun teringat awal keanehan mba nani. Waktu itu Hilal meneleponnya dan memintanya motor, rumah, harta. Anak umur 5 tahun! Saya pikir itu yang menyebabkan mba nani hilang arah. Satu-satunya tujuan hidupnya sekarang ‘hancur’, bahkan turut menekan dia.  Saya sangat khawatir dengannya, bagaimana nanti kalau dia pulang ke tegal atau ke desanya? Siapa yang akan mengurusnya? Siapa temannya? Dsb.

Tapi saya bersyukur, sebelum dia pulang ada satu momen indah dan mengharukan. Saat itu saya, mama, kakak saya dan istrinya duduk bersama-sama dengan mba nani. Kakak saya bertanya “Mba nani saat ini stres? Berbeban berat? Mba mau kedamaian?”

“ya”

“salah satu penyebab mba seperti ini krn mba belum kenal Tuhan. Hanya dengan mengenal Tuhan, mba bisa dapet kedamaian, bisa mengampuni diri sendiri, bisa mengampuni orang lain. Coba baca ayat ini”

“Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan..” Pecahlah tangisannya

“Aku yang bacain ya kalo mba gak bisa baca, Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Jiwamu akan mendapat ketenangan. Mba tau siapa yang ngomong?”

“siapa?”

“Tuhan Yesus, Nabi Isa. Ini ada sesuatu buat Mbak Nani, kamu baca baik-baik, renungkan, berdoa dalam nama Tuhan Yesus. Ini ada juga Alkitabku, mba baca dari yang tandanya merah (PB) baru baca yang hitam, trus baca lagi yang merah. Sekarang kita berdoa ya”

Saat itu dalam hati gw terus berdoa supaya Tuhan boleh menyatakan diri padanya. Saat itu gw mohon supaya Tuhan nyatakan bahwa dia tidak sendiri, ada yang sayang padanya, ada yang sudah rela mati untuk dosa-dosanya. Aku mengucap syukur buat berkat yang sudah diterimanya, juga aku. Aku harus terus liat ada pengharapan di depan sana. Aku kembali dikuatkan bahwa ada Tuhan yang memegang aku. Ada Tuhan yang memberikan kelegaan padaku.

Monday, October 17, 2011

Hamster's Wheel

Namanya manusia itu rindu eksistensi.

Oke, jangan pusing dulu bacanya. Simply, manusia pengen keliatan.

Emang bener manusia adalah makhluk yang keliatan, yg bereksistensi, yg ada. Tapi ironisnya, manusia sering kehilangan eksistensinya. Kehilangan makna keberadaannya.

Contoh simpel aja kek penjahat yang ada di film "Megamind". Megamind menemukan eksistensinya waktu Metroman ada untuk menangkap dia. Sekalipun berulangkali kalah dna masuk penjara, hidupnya terus berapi-api untuk membunuh Metroman dan menguasai kota Metrocity.

Tapi setelah dia berhasil membunuh metroman, tidak ada maknanya lagi jadi penjahat. Megamind kehilangan eksistensinya sampai akhirnya dia bikin pahlawan untuk melawan dirinya sendiri!

Atau seperti film "Memento". Tokohnya juga hidup dalam dunianya sendiri setelah dia gak bisa lagi menemukan arti keberadaan (hidup) tanpa istrinya.

Yang paling tragis adalah ketika manusia tidak sadar ia berusaha setengah mati mencari keberadaannya yang hilang. Sampai akhirnya dia bener-bener hilang, tenggelam dalam dunianaya sendiri. Dirinya lelah, depresi, tapi tidak sanggup hidup tanpa dunia yang telah ia ciptakan.

Mau gak mau, suka gak suka, kita harus kembali pada design asli kita. Kita harus ngerti makna keberadaan kita. Dimana kita mampu menemukan eksistensi kita yang sesungguhnya? Yang tahu hanyalah yang mendesign kita.

Pertanyaannya, apakah manusia mau menerimanya?

Friday, September 16, 2011

Raja, Aku Menunggu..

Pada jaman dahulu kala di suatu kerajaan yang kaya akan hasil pertaniannya, hiduplah seorang Raja yang angkuh dan kejam, yang memimpin kerajaan ini. Banyak rakyat kecil yang menderita dan membenci sang Raja karena kebengisannya. Rakyat kecil hanya diperbudak dan diberi upah sedikit.

Di sebuah dusun terpencil tak jauh dari hutan, hiduplah Pak Brewok dan istrinya serta anak perempuannya yang masih kecil dan polos, Sinta. Pak Brewok hanya berprofesi sebagai petani yang bahkan lahannya pun pemberiaan warga lain. Keluarganya sangat miskin dan sengsara.

“Ibu, mengapa kita selalu kelaparan seperti ini? Aku tidak dapat kenyang hanya dengan 2 sendok nasi tiap harinya,” Tanya Sinta suatu hari pada Ibunya.

“Uang Ibu dan Ayah tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan kita sepenuhnya. Apalagi dengan pemimpin kerajaan yang hanya bisa berfoya-foya dan menikmati tangisan rakyatnya!,” kata Ibu geram .

“Memangnya dimana Raja tinggal?,” Tanya Sinta.
“Istana Raja ada di Barat sana,” jawab Ibunya.
“Aku akan menemui Raja dan meminta pertolongannya,” kata Sinta polos
“Hahaha... Kamu tidak mungkin bertemu dengan Raja, istananya sangat jauh dari sini. Sudahlah tidak usah bermimpi!” kata ayahnya.

Sinta hanya termenung diam dan menatap halaman depan rumahnya. Ternyata Sinta tidak hanya bergurau dan mengkhayal. Dia benar-benar ingin pergi menemui sang Raja. Dia menyiapkan pakaian-pakaiannya, mengambil 3 buah roti dan memasukkan beberapa catatan dan alat tulis. Sinta siap untuk mengembara. Ia meninggalkan surat pada orang tuanya agar mereka tidak khawatir dan mencari Sinta. 

Saat Sinta sampai ditengah kota, Sinta melihat banyak anak jalanan yang terlantar di pinggir jalan. Ada satu anak jalanan yang meminta roti Sinta, karena merasa orang itu lebih membutuhkan Sinta memberikan rotinya. Ternyata ada dua lagi anak jalanan yang meminta roti Sinta, karena kasihan, Sinta memberikan roti-roti terakhir kepunyaaannya.

”Kasihan anak-anak ini, mereka sangat kelaparan. Raja harus segera tahu tentang hal ini. Aku harus bergegas!” Kata Sinta dalam hati sembari mempercepat langkahnya.

            Akhirnya sampailah Sinta di depan gerbang besar yang dijaga oleh 2 orang penjaga yang gagah perkasa. 

”Permisi, apakah saya dapat bertemu dengan Raja?” tanya Sinta kepada prajurit penjaga tersebut.
”Huh.. Ada-ada saja kamu. Mana mungkin anak kecil tidak berkepentingan seperti kamu bisa masuk dan menemui Raja!” Kata pengawal
“Bisa saja kalau tuan mengijinkan” Jawab Sinta santai
”Adik manis, Raja sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk bertemu dengan kamu”
”Sibuk apa? Kata Ibu, Raja hanya bisa berfoya-foya saja. Aku datang untuk menegur Raja. Tadi aku bertemu dengan banyak orang yang lebih menderita daripada aku. Mengapa Raja tidak berhenti berfoya-foya dan menolong kami?” jawab Sinta.

Sang prajurit terkejut dengan pernyataan Sinta. Apalagi setelah tahu kalau Sinta ternyata hanya berkelana sendirian. Dia rela berjalan jauh hanya karena merasa ada yang tidak beres dengan negara ini. Sang prajurit tersentuh dan terdorong ingin menolong Sinta.

”Sinta, kami tidak dapat membawamu menemui Raja. Mungkin kamu dapat menulis surat untuk Raja dan tunggu disini sampai Raja keluar. Kami akan mengantarkan suratmu,” kata kedua prajurit tersebut.
”Baik!” kata Sinta bergembira

            Untuk Rajaku,
Raja, aku Sinta. Aku menulis surat ini karena aku tidak diperbolehkan masuk. Aku berasal dari desa yang jauh dari sini dan sengaja datang kesini untuk menemui Yang Mulia. Maaf mengganggu pekerjaan Raja, tapi aku ingin menyampaikan berita penting! Cepat keluar, ya.. Aku tunggu di bawah pohon di depan istana.

Sinta

            Prajurit memandang anak gadis yang sedang bergembira itu dengan sedih. Mereka tahu bahwa surat itu tidak akan dibaca Raja. Namun, mereka tetap menyampaikan surat itu pada pelayan kerajaan. Memang benar, Raja tidak mau membaca surat itu dan bahkan memerintahkan pelayannya untuk membakar surat Sinta. Pelayan Kerajaan yang tahu cerita Sinta merasa iba pada Sinta dan tetap menyimpan suratnya. Sementara itu, Sinta masih menunggu di bawah pohon, berharap pemimpin yang ditunggu-tunggu datang. Sinta pun kembali menulis surat.

Untuk Raja,
Raja sibuk? Aku tahu Raja tidak dapat keluar menemuiku saat ini. Aku akan tetap menunggu Raja. Tapi aku akan menceritakan sebagian cerita yang akan aku sampaikan pada Raja. Apakah Raja tahu? Keluargaku di desa sangat menderita. Ayah harus bekerja keras untuk menghasilkan uang yang terbilang sedikit, namun harus membayar pajak yang besar untuk Raja. Kami semua kelaparan. Ibu bilang Raja jahat, hanya bisa berfoya-foya saja menikmai uang rakyat. Aku tidak tahu maksud ibu, tapi aku yakin Raja tidak jahat. Dan aku yakin Raja akan keluar menemuiku!
Aku tunggu,
Sinta

            Sinta tetap menunggu dan menunggu walaupun tidak ada sedikitpun kabar tentang balasan surat dari Raja. Prajurit-prajurit sudah berusaha membujuknya untuk pulang saja, tapi Sinta tetap ingin menunggu Raja. Sinta masih saja mengirim surat pada Raja.

            Raja, kapan Raja akan keluar dan menemuiku? Ah, mungkin Raja terlalu sibuk sampai-sampai membalas suratku saja tidak bisa. Maafkan aku yang mengganggu Raja. Aku ingin menyampaikan langsung pada Raja, tapi aku akan menyampaikannya di suratku ini. Raja, banyak rakyatmu yang terlantar dan kelaparan. Mereka tampak sedih, di perjalanan aku juga membagi makananku pada mereka walaupun aku tahu aku harus menyimpannya baik-baik. Apakah Raja tidak bisa membagikannya pada mereka juga? Mereka pasti senang sekali!

            Sudah 4 hari 4 malam Sinta menunggu Raja. Namun Raja tak kunjung datang. Makanan Sinta sudah habis, dengan badannya yang lemas setelah menempuh perjalanan berat dia tidak makan apa-apa lagi. Sinta akhirnya mati kelaparan. Pada sore hari, Raja yang hendak pergi ke negeri tetangga mendapati Sinta yang tergeletak tak berdaya di bawah pohon. Prajurit-prajuritnya menceritakan kejadian sebenarnya. Raja membaca surat terakhir dari Sinta yang belum sempat Sinta berikan pada prajurit. Raja akhirnya membaca surat-surat Sinta yang lain dan merasa sangat bersalah. Raja menangis dan menyesali perbuatannya. Sejak saat itu, Raja berubah. Raja menjadi bijaksana, adil, dan disegani rakyatnya. Kerajaannya menjadi damai, aman, tentram, dan rakyat mencintai Raja dengan sikap barunya ini. Memang benar, negara yang makmur, dimulai dari pemimpin yang bijak.

            Untuk Raja,
            Raja jahat.. Raja kejam.. Aku sudah lelah.. Aku kelaparan.. Kenapa Raja tidak datang? Mungkin ini surat terakhirku, aku sudah tidak kuat lagi.. Raja jangan egois, ya. Raja jangan nakal.. Rakyatmu sudah lelah berteriak dan menangis. Tepati janjimu. Buat rakyatmu tahu kalau Raja memang satu-satunya ’Raja’. Negara ini bukan hanya milik Raja. Rakyatmu menunggu, aku menunggu.
Sinta


30/06/2009
(cerpen lama yang baru saya baca lagi :D)
tidak dirubah

Tuesday, September 13, 2011

Cinta

Mencintai itu berbagi,
menolong dan memberi diri ditolong.

Mencintai itu rela berkorban,
rela ditolak dan ditinggalkan.

Mencintai itu sabar,
berhati-hati dan menjaga.

Mencintai itu janji,
menerima apa adanya dan setia.

Mencintai itu bertumbuh,
bergesekan dan semakin mengenal.

Mencintai itu jujur,
hormat, peduli, dan penuh belas kasih.

Mencintai itu keberanian
Mencintai itu kekuatan
Mencintai itu kepercayaan
Mencintai itu sebuah keputusan

Sunday, September 11, 2011

Panggung

Di tengah sorak hati semangat raga
ada gundah menahan jalan ke depan
aku berhenti, mencari apa yang salah

seperti layang-layang putus, hilang arah tak terkendali
aku lupa dimana aku
aku lupa sampai dimana aku berjalan

aku ada di panggung
panggung hidup seorang manusia
pencarian diri di tengah lautan mimpi
di bawah misteri skenario hidup

Saturday, September 3, 2011

Brothers





 "I don't know who said 'only the dead have seen the end of war'. I have seen the end of war. The question is: can I live again?"

Forgotten #13


Otto melambaikan tangan pada teman-temannya. Jalan pulang mereka berbeda arah. Otto menyusuri rumah-rumah warga menuju rumahnya.
“Gak mau soto mas?” sapa Pak Dono, tukang soto dekat sekolah
“Gak mas, masih kenyang, kapan-kapan aja ya”
“Ah, mas Otto somboong!”
Sambil tersenyum Otto menganggukkan kepalanya tanda permisi. Dulu Otto dan Fanny sering mampir makan soto di Pak Dono. Fanny suka sekali soto mie nya. Setiap hari pun dia tidak bosan makan di sana. Tapi Fanny tidak pernah makan di sana tanpa Otto. Males, gak ada radio rusaknya. Otto tersenyum mengingat kata-kata Fanny itu. Fanny itu lucu, Otto selalu berpikir begitu. Sebaliknya Fanny juga berpikir demikian. Fanny terlihat sangat cuek mendengarkan Otto bercerita menggebu-gebu. Suaranya terdengar hanya saat Otto bertanya padanya. Tapi Fanny sangat senang mendengar Otto bercerita. Kalau Fanny sudah mau bercerita, beberapa kalimat saja, Otto pasti senang sekali lalu traktir soto semangkok lagi. Pak Dono ikut-ikutan senang juga pastinya.

Kenapa kau mau berteman denganku?
Setiap kali pertanyaan itu keluar dari mulut Fanny, Otto tidak pernah ragu menjawabnya. Dalam berbagai mimik, datar, geram, bahkan menangis. Otto tetap berani menjawab Fanny, juga dirinya sendiri.
Karena kamu aneh.
Tidak jarang Fanny tersenyum mendengarnya. Otto bodoh. Semua orang takut padanya karena alasan yang sama, bukan?
Tapi aku kenal Fanny dan orang lain tidak.
Senyum Fanny bertambah lebar, dia tahu Otto memang mengenalnya. Dia senang, tapi juga takut.

Lamunan Otto terus berjalan mengikuti kakinya menuju ke rumah. Di persimpangan jalan, Otto menoleh ke kanan. Gereja. Otto dan Fanny beribadah di sana. Persahabatan mereka bukan persahabatan yang hanya sekadar tertawa dan bermain bersama. Tapi mereka juga saling berbagi pergumulan-pergumulan hidup yang mereka rasakan.

Makin hari makin berat, tapi makin hari aku makin tidak bisa meninggalkanmu, Fanny.

Otto tertunduk, senyumnya mulai memudar. Dia teringat Fanny di Natal 3 tahun lalu. Fanny kabur dari gereja. Memang ia sering melakukannya. Tapi kali ini berbeda. Otto baru pertama kali melihat topeng Fanny pecah. Fanny menangis sejadi-jadinya, kehilangan pengharapan, lemah tak berdaya.

Aku heran mengapa aku tidak mati sekarang juga. Tuhan seharusnya sangat jijik padaku.

Otto tahu ada yang salah dengan Fanny. Tapi dia yakin, Fanny tidak sakit jiwa. Dari awal Otto tahu ada sesuatu dalam diri Fanny, dorongan nuraninya untuk mengenal mata Fanny yang tidak bisa ia mengerti terus ada. Sampai akhirnya Fanny tidak tahan. Dunia Otto seakan runtuh, hatinya tercabik-cabik setelah ia melihat isi kotak hitam Fanny. Mengerti arti mata itu. Fanny dibesarkan dengan kebencian. Bukan oleh ayah ibunya. Tapi oleh Susan, pembantu rumah tangganya. Otto sangat ingin memukul atau menusuk Susan yang sudah menghancurkan Fanny. Susan yang sakit jiwa, bukan Fanny. Fanny yang tidak dapat menguasai dirinya sendiri, serasa mati dihakimi oleh Susan dalam hati kecilnya.

Aku terus yakin dia mencintaiku lebih daripada mama papa. Aku sangat menyayanginya. Tapi lama-kelamaan aku sadar aku sudah mati. Setiap kali aku lihat Susan, aku melihat diriku 10-20 tahun lagi. Aku tidak mau. Aku takut.

Kau tahu, Otto? Sejak kau datang dalam hidupku, aku tahu ada sesuatu yang penting akan terjadi. Sejak kau menceritakan tentang Tuhan Yesus yang mati bagiku, cerita yang sudah bertahun-tahun aku dengar dari kecil, hatiku hancur dan serasa disusun lagi oleh belas kasihan Tuhan. Namun itu hanya sebentar. Aku tahu Tuhan mati bagi umat-Nya. Tapi aku tidak yakin aku umat-Nya atau bukan.

Otto memejamkan mata, mengernyitkan dahinya, merasakan nyeri dalam hatinya. Rasa sakit yang sama ketika Otto mengingat kejadian itu. Otto mendengar kembali suara Fanny dalam memorinya. Terbata-bata, tidak jelas karena isak tangis yang semakin menjadi. Tentang kanvas besar yang jatuh menimpa Sella. Tentang kiriman kepala kucing untuk Sella. Fanny lakukan itu karena dia takut Otto membalas perasaan Sella. Tidak sampai disana. Permainan pribadi Fanny yaitu menyiksa binatang dengan kejam. Lama-kelamaan Fanny tidak segan-segan menyilet temannya yang mengganggu dia. Bahkan Otto, Kemana-mana Fanny selalu membawa benda tajam. Bukan untuk menjaga dirinya, atau melampiaskan kekesalannya. Tapi lebih sering, barangkali dia menemukan sasaran empuk untuk ‘dinikmati’. Video-video pembunuhan, penyiksaan dari Susan terus ada dalam benak Fanny. Tanpa melakukannya, dia merasakan sensasinya. Fanny tidak pernah melaporkan Susan yang membunuh beberapa orang dan terus lolos. Fanny tidak takut, hanya saja ia tidak peduli.

Otto ingin sekali menangis mendengar cerita Fanny. Bukan karena kekecewaannya terhadap Fanny yang sangat ia sayangi itu. Tapi lebih karena Otto merasakan penderitaan hebat dalam diri Fanny. Otto seakan merasakan juga pertentangan batin dalam dirinya. Fanny tidak mau, hanya saja tidak bisa, dan benih itu ditanam oleh orang gila.

Aku ingin mati saja. Aku tidak sanggup ada dalam tubuh pembunuh ini.

Otto mendongakkan kepalanya, ia ingat pertanyaannya pada Fanny setelah beberapa saat keheningan melanda mereka berdua.

Fanny.. apa yang terjadi pada Sella saat seminar narkoba dulu?

Tangisannya meledak, tubuhnya seakan kehilangan seluruh tenaganya. Otto tidak dapat berpikir apa-apa lagi. Dia memeluk Fanny, mengusap kepalanya. Ikut menangis sambil memberi Fanny kekuatan seadanya. Fanny membawa pisau saat itu. Fanny membayangkan penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Sella, seperti apa yang diajarkan Susan. Fanny mengeluarkan pisaunya di lantai tiga, terus maju dan siap membunuh mangsanya. Sella ketakutan dan berdaya, dia terus mundur sampai akhirnya lari terjungkal ke belakang. Dia lupa hanya ada pembatas setinggi mata kaki di sana. Sella terjatuh, tertusuk alat penyiram tanaman di bawah. Mati. Fanny tidak tahu apa yang ia rasakan saat itu. Misinya tidak berhasil. Tapi Fanny merasa dialah yang membunuh Sella. Di saat ia seharusnya senang, ada beban berat yang menindih hatinya, menekan jiwanya. Dia tidak dapat mengampuni dirinya sendiri. Dia tidak mampu minta ampun lagi pada Tuhan.

Fanny, dosa memang sudah melumpuhkan kita semua. Tapi Allah kita adalah Allah penebus. Allah yang mati dan bangkit. Kamu juga pasti dibangkitkan! Selalu ada harapan, Fanny. Kamu salah, tapi aku yakin Tuhan masih memelihara kamu.

Tidak lama setelah itu, Fanny pergi entah kemana..

Otto membuka matanya. Dia berbalik, dan mengambil jalan lain. Aku ke danau saja. Otto menghela nafas. Otto menyeberang jalan dan “HEEY!” teriak Otto. Sebuah mobil pick up kotor tidak peduli ada orang di jalan itu dan terus melaju dengan sangat kencang. Otto segera mundur terkejut dan kesal. Siapa sih tadi itu! Tunggu. Tadi.. SUSAN! Siapa gadis dengan penutup mata di sebelahnya? Jangan-jangan...

Thursday, September 1, 2011

Memento

Hidup yang terus berlari dari kenyataan

"We all lie to ourselves to be happy"
"You don't want the truth. You make up your own truth."

Momo


"Those who still think that listening isn’t an art should see if they can do it half as well." 

"People never seemed to notice that, by saving time, they were losing something else. No one cared to admit that life was becoming ever poorer, bleaker and more monotonous. The ones who felt this most keenly were the children, because no one had time for them anymore. But time is life itself, and life resides in the human heart. And the more people saved, the less they had. "

"Time is life itself, and life resides in the human heart."

Letters to You


To my dearest,

I really miss you so bad. I know you are here with me, in front of me. But at the same time, you are not here. You are not you. I don’t know what i supposed to do. Maybe I got some troubles with myself. Maybe I just want to be the center of your attention. But I just don’t really think so. I just want you to look at me. Here, in front of you. Have you?

It’s not the only thing i concern about you. Please, sit here and relax. You can’t find your life there. Where is your gentle voice that tell us some wise words and calm the whole family? Where is your beautiful and calm eyes? Where is your peaceful smile? Where are you?

Thanks for coming into my life. Thank God who sent you to hold my hands through this journey. Day by day i knew you are the one who know me. You are my sister. Though it’s only about 1 year, but we’ve been through a lot. And I know, i won’t loose your hand till . Because love is decision. Love is commitment. Thanks to teach me a lot. Sorry if i hurt you a lot. Twit .

You know, I’m so proud of you. When i saw you, i saw a man. You know, I really grateful because you make me realize I’m home, with my family. I feel ashamed because I’m nothing and do nothing for you. There’s no doubt in my heart when i hear your words. I trust you. And i know, i can count on you. I know you are there. Love you.

I read again your message on my last birthday. It was so sweet. I cried that day and i thought you are the best gift in my 17th birthday. I’m so grateful to read that. This time, in sadness, i still can smile to read it again. Smile for hope. Hope for you will be what you said. I miss your laugh when you are with me. I miss your silly idea you show to me. I miss your funny stories that you told to me. I know you love me. But.. Well, i just want you to know, i’m afraid if I’m bothering you right now.  Love you.

I still pray for you. You know, i think it’s better here. In this position. Well, it’s hurt. So much. But i believe, time will heal my heart, and i hope, yours too. I believe i will enjoy this. Like the old days, watching you from distance. Watching you fly high to that sky. Though maybe i won't be up there.

Hey, I’m sorry. Yes, I’m a jerk. Though you don’t mad at me. Though you don’t say anything to me. But i know, you hurt so much because of me. Really, I’m sorry. I can’t say many promises to you. But one thing i know, i want to learn and learn again. I want to love you. Thanks for being my best friend.

To you, you don’t know how complicated you are. You know it, but you are not really know it. Don’t mess up your life by yourself. Don’t you think you can control everything. Don’t you think you are perfect. Yes, you did many troubles and you should regrets it. But don’t forget. There’s always a hope. Be strong. You are not alone.

Wednesday, August 31, 2011

What I Want to Do

1. UN gak ada angka 8, muahaha.. moga2 gak ngimpi ketinggian
2. Ikut kepsek gw ke Suku Talang Mamak, ngajar selama 2 minggu! Harus nabung dari sekarang! :D
3. Sosiologi UI *phew* I still have to think about it again and again.. :(
4. Wakatobi or anywhere my sister want to go ^^
5. Picnic di taman, or ngobrol di sampan, or mam di bukit, or anywhere 'he' want to go
6. Keliling Indonesia, keliling dunia :)
7. Publish a book, terutama untuk orang-orang penting dalam hidup gw
8. daaannn bermimpi untuk hal2 lainnya :D

Monday, August 29, 2011

Forgotten #12


”Pa.. Ini..”
“Jangan bilang itu surat dari sekolah lagi”
Surat di tangan mama bergetar hebat, disusul isak tangis mama. Papa mengambil surat itu dari tangan mama.

Bapak/Ibu orang tua murid dari Melisa Handoko, sekolah mengharapkan Anda datang untuk bertemu dengan kepala sekolah perihal pelanggaran tata tertib membawa benda tajam ke sekolah. Peringatan keras. Terimakasih.

“Benda tajam?”
Tidak selayaknya ayah pada umumnya, bukannya marah, tapi ada satu ketakutan hebat dalam mata pria tegar itu.
“Pa, mama takut. Takut sekali. Kenapa jadi begini, pa? Lama-kelamaan makin parah. Beberapa kali soal berkelahi, sekarang benda tajam. Oh, Lisa..”
Papa tidak berkata apa-apa, ia hanya memeluk tubuh lemah yang terus mengucurkan air mata itu, berharap ada kekuatan yang menghibur mereka berdua.

***
Matahari sudah mulai terbenam. Sinar-sinar oranye membuat bayangan panjang rumah-rumah, tiang-tiang lampu, dan bayangan anak perempuan dengan tas sekolahnya. Lisa tidak lagi seperti Lisa. Semua orang tahu dia berubah, termasuk dirinya. Semua orang tidak mengerti apa yang membuatnya berubah drastis, termasuk dirinya.

Lisa yang lembut, manis, dan anggun. Gadis cantik dengan rambut panjang yang selalu rapih. Sore hari yang ia isi dengan goresan-goresan cat di canvasnya. Lisa yang rajin ke gereja, berdoa dan membaca Firman. Lisa yang itu sudah hilang. Entah kemana. Lisa selalu membawa perasaan marah, benci, dan frustasi. Lisa bingung. Terkadang ia menangis seorang diri, tidak tahu siapa dirinya, atau kemana dirinya pergi. Ia tidak suka menyakiti temannya, tapi setiap malam ia menikmati fantasinya bagaimana temannya itu akan mati, dengan tangannya. Lisa takut. Tapi tidak ada yang bisa melihat ketakutan itu dalam dirinya. Lisa tidak bisa menerima kekejaman itu dalam dirinya.

Semua orang hanya tahu Lisa sekarang seperti preman pinggir jalan. Nakal dan berandalan. Tapi tidak ada yang tahu waktu Lisa memungut kucing di pinggir jalan. Bukan membawanya ke rumah dan memberinya makan. Tapi mengikatnya di tiang jemuran, mengulitinya dan membuangnya ke tong sampah. Lisa tidak mengerti mengapa dia melakukannya. Ia hanya ingin sekali melakukannya dan itu membuatnya membenci dirinya sendiri.

Waktu ia melewati tempat penjualan dvd, ia tidak tahan mendengar teriakan wanita dalam film horror atau thriller. Ia tidak tahan untuk tidak berfantasi dengan teriakan itu. Lisa hancur hati. Satu tahun berlalu dari semenjak teror laboraturim dilakukannya. Berkali-kali ia terpikir untuk pergi ke psikiater atau rumah sakit jiwa. Berkali-kali dia menangis memohon ampun pada Tuhan. Sampai akhirnya ia jenuh dan lelah melihat dirinya lagi-lagi aneh seperti itu. Setiap hari yang ada hanya gelisah. Canvas di kamarnya sudah hancur berantakan. Tempat tidurnya juga hancur karena pisau yang ia simpan menghujam-hujamnya dengan tangan yang basah oleh air mata keputusasaan.

Lisa tertunduk, lalu meringkuk di dekat tong sampah, kakinya sudah tidak kuat berjalan di jalan tanpa ujung. Teman tidak ada. Tuhan pun tidak. Lisa menangis seorang diri. Mengutuki dirinya seorang diri. Untuk apa sampah seperti dia masih diberi hidup. Lalu di ujung jalan dia melihat ada bayangan lain selain dirinya. Berhenti beberapa jarak di depannya. Lisa mendongak dan tidak mampu lagi untuk terkejut.

“Fanny tetap Fanny, ya?” tante Susan menyapa dengan seringainya yang aneh.