Saturday, September 3, 2011

Forgotten #13


Otto melambaikan tangan pada teman-temannya. Jalan pulang mereka berbeda arah. Otto menyusuri rumah-rumah warga menuju rumahnya.
“Gak mau soto mas?” sapa Pak Dono, tukang soto dekat sekolah
“Gak mas, masih kenyang, kapan-kapan aja ya”
“Ah, mas Otto somboong!”
Sambil tersenyum Otto menganggukkan kepalanya tanda permisi. Dulu Otto dan Fanny sering mampir makan soto di Pak Dono. Fanny suka sekali soto mie nya. Setiap hari pun dia tidak bosan makan di sana. Tapi Fanny tidak pernah makan di sana tanpa Otto. Males, gak ada radio rusaknya. Otto tersenyum mengingat kata-kata Fanny itu. Fanny itu lucu, Otto selalu berpikir begitu. Sebaliknya Fanny juga berpikir demikian. Fanny terlihat sangat cuek mendengarkan Otto bercerita menggebu-gebu. Suaranya terdengar hanya saat Otto bertanya padanya. Tapi Fanny sangat senang mendengar Otto bercerita. Kalau Fanny sudah mau bercerita, beberapa kalimat saja, Otto pasti senang sekali lalu traktir soto semangkok lagi. Pak Dono ikut-ikutan senang juga pastinya.

Kenapa kau mau berteman denganku?
Setiap kali pertanyaan itu keluar dari mulut Fanny, Otto tidak pernah ragu menjawabnya. Dalam berbagai mimik, datar, geram, bahkan menangis. Otto tetap berani menjawab Fanny, juga dirinya sendiri.
Karena kamu aneh.
Tidak jarang Fanny tersenyum mendengarnya. Otto bodoh. Semua orang takut padanya karena alasan yang sama, bukan?
Tapi aku kenal Fanny dan orang lain tidak.
Senyum Fanny bertambah lebar, dia tahu Otto memang mengenalnya. Dia senang, tapi juga takut.

Lamunan Otto terus berjalan mengikuti kakinya menuju ke rumah. Di persimpangan jalan, Otto menoleh ke kanan. Gereja. Otto dan Fanny beribadah di sana. Persahabatan mereka bukan persahabatan yang hanya sekadar tertawa dan bermain bersama. Tapi mereka juga saling berbagi pergumulan-pergumulan hidup yang mereka rasakan.

Makin hari makin berat, tapi makin hari aku makin tidak bisa meninggalkanmu, Fanny.

Otto tertunduk, senyumnya mulai memudar. Dia teringat Fanny di Natal 3 tahun lalu. Fanny kabur dari gereja. Memang ia sering melakukannya. Tapi kali ini berbeda. Otto baru pertama kali melihat topeng Fanny pecah. Fanny menangis sejadi-jadinya, kehilangan pengharapan, lemah tak berdaya.

Aku heran mengapa aku tidak mati sekarang juga. Tuhan seharusnya sangat jijik padaku.

Otto tahu ada yang salah dengan Fanny. Tapi dia yakin, Fanny tidak sakit jiwa. Dari awal Otto tahu ada sesuatu dalam diri Fanny, dorongan nuraninya untuk mengenal mata Fanny yang tidak bisa ia mengerti terus ada. Sampai akhirnya Fanny tidak tahan. Dunia Otto seakan runtuh, hatinya tercabik-cabik setelah ia melihat isi kotak hitam Fanny. Mengerti arti mata itu. Fanny dibesarkan dengan kebencian. Bukan oleh ayah ibunya. Tapi oleh Susan, pembantu rumah tangganya. Otto sangat ingin memukul atau menusuk Susan yang sudah menghancurkan Fanny. Susan yang sakit jiwa, bukan Fanny. Fanny yang tidak dapat menguasai dirinya sendiri, serasa mati dihakimi oleh Susan dalam hati kecilnya.

Aku terus yakin dia mencintaiku lebih daripada mama papa. Aku sangat menyayanginya. Tapi lama-kelamaan aku sadar aku sudah mati. Setiap kali aku lihat Susan, aku melihat diriku 10-20 tahun lagi. Aku tidak mau. Aku takut.

Kau tahu, Otto? Sejak kau datang dalam hidupku, aku tahu ada sesuatu yang penting akan terjadi. Sejak kau menceritakan tentang Tuhan Yesus yang mati bagiku, cerita yang sudah bertahun-tahun aku dengar dari kecil, hatiku hancur dan serasa disusun lagi oleh belas kasihan Tuhan. Namun itu hanya sebentar. Aku tahu Tuhan mati bagi umat-Nya. Tapi aku tidak yakin aku umat-Nya atau bukan.

Otto memejamkan mata, mengernyitkan dahinya, merasakan nyeri dalam hatinya. Rasa sakit yang sama ketika Otto mengingat kejadian itu. Otto mendengar kembali suara Fanny dalam memorinya. Terbata-bata, tidak jelas karena isak tangis yang semakin menjadi. Tentang kanvas besar yang jatuh menimpa Sella. Tentang kiriman kepala kucing untuk Sella. Fanny lakukan itu karena dia takut Otto membalas perasaan Sella. Tidak sampai disana. Permainan pribadi Fanny yaitu menyiksa binatang dengan kejam. Lama-kelamaan Fanny tidak segan-segan menyilet temannya yang mengganggu dia. Bahkan Otto, Kemana-mana Fanny selalu membawa benda tajam. Bukan untuk menjaga dirinya, atau melampiaskan kekesalannya. Tapi lebih sering, barangkali dia menemukan sasaran empuk untuk ‘dinikmati’. Video-video pembunuhan, penyiksaan dari Susan terus ada dalam benak Fanny. Tanpa melakukannya, dia merasakan sensasinya. Fanny tidak pernah melaporkan Susan yang membunuh beberapa orang dan terus lolos. Fanny tidak takut, hanya saja ia tidak peduli.

Otto ingin sekali menangis mendengar cerita Fanny. Bukan karena kekecewaannya terhadap Fanny yang sangat ia sayangi itu. Tapi lebih karena Otto merasakan penderitaan hebat dalam diri Fanny. Otto seakan merasakan juga pertentangan batin dalam dirinya. Fanny tidak mau, hanya saja tidak bisa, dan benih itu ditanam oleh orang gila.

Aku ingin mati saja. Aku tidak sanggup ada dalam tubuh pembunuh ini.

Otto mendongakkan kepalanya, ia ingat pertanyaannya pada Fanny setelah beberapa saat keheningan melanda mereka berdua.

Fanny.. apa yang terjadi pada Sella saat seminar narkoba dulu?

Tangisannya meledak, tubuhnya seakan kehilangan seluruh tenaganya. Otto tidak dapat berpikir apa-apa lagi. Dia memeluk Fanny, mengusap kepalanya. Ikut menangis sambil memberi Fanny kekuatan seadanya. Fanny membawa pisau saat itu. Fanny membayangkan penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Sella, seperti apa yang diajarkan Susan. Fanny mengeluarkan pisaunya di lantai tiga, terus maju dan siap membunuh mangsanya. Sella ketakutan dan berdaya, dia terus mundur sampai akhirnya lari terjungkal ke belakang. Dia lupa hanya ada pembatas setinggi mata kaki di sana. Sella terjatuh, tertusuk alat penyiram tanaman di bawah. Mati. Fanny tidak tahu apa yang ia rasakan saat itu. Misinya tidak berhasil. Tapi Fanny merasa dialah yang membunuh Sella. Di saat ia seharusnya senang, ada beban berat yang menindih hatinya, menekan jiwanya. Dia tidak dapat mengampuni dirinya sendiri. Dia tidak mampu minta ampun lagi pada Tuhan.

Fanny, dosa memang sudah melumpuhkan kita semua. Tapi Allah kita adalah Allah penebus. Allah yang mati dan bangkit. Kamu juga pasti dibangkitkan! Selalu ada harapan, Fanny. Kamu salah, tapi aku yakin Tuhan masih memelihara kamu.

Tidak lama setelah itu, Fanny pergi entah kemana..

Otto membuka matanya. Dia berbalik, dan mengambil jalan lain. Aku ke danau saja. Otto menghela nafas. Otto menyeberang jalan dan “HEEY!” teriak Otto. Sebuah mobil pick up kotor tidak peduli ada orang di jalan itu dan terus melaju dengan sangat kencang. Otto segera mundur terkejut dan kesal. Siapa sih tadi itu! Tunggu. Tadi.. SUSAN! Siapa gadis dengan penutup mata di sebelahnya? Jangan-jangan...

2 comments:

Anette said...

Perfectly nice...
Looking forward for the 14th. <3

Heidy Angelica said...

hey, thanks :D