Saturday, July 23, 2011

Sukacita dalam Iman

Solo, 20 Juli 2011

Saya duduk di kursi putih panjang bersama saudara-saudara saya yang juga berpakaian putih. Di depan saya ada sebuah foto dengan karangan bunga yang apik dan sebuah peti putih dibelakangnya. Di dalamnya terdapat tubuh kakek saya yang sudah berpulang ke rumah BapaNya.

Prosesi kebaktian penghiburan berlangsung. Saya jadi teringat ayat dalam Kitab Pengkotbah “pergi ke rumah duka lebih baik daripada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya” (PKH 7:2)

Malam itu adalah malam yang sangat mengharukan. Bukan karena isak tangis keluarga yang ditinggalkan, bukan karena penyesalan akan kepergian kakek tercinta, tapi justru karena sukacita dan kekuatan nenek saya.

Kakek saya adalah seorang pendeta yang sudah pensiun (88 tahun) dan hidup bersama istrinya (90 tahun) serta satu pembantunya (sekitar 60 tahun) di Solo. Hidup mereka sangat sederhana. Sehari-hari mereka dirumah, sesekali pergi melayani ke Gereja. Walaupun sudah sangat tua, mereka masih sangat sehat untuk usia mereka. Anak-anak dan cucu-cucu sudah berada di berbagai kota. Mereka hidup apa adanya, tidak punya banyak harta, namun sangat kaya dan berlimpah. Kata-kata terakhir kakek saya yang sangat saya ingat waktu pesta ulang tahun isterinya (Juni lalu) adalah “Hanya satu pesan engkong, hiduplah bersama dengan Tuhan setiap hari, itu yang paling utama.” Saya percaya setiap orang yang melihat kakek nenek saya akan memuji keceriaan mereka, sukacita, pengharapan, dan hidup mereka yang berlimpah. Banyak uang, hidup nyaman, dengan berbagai fasilitas memang tidak menjamin kepenuhan hidup seseorang.

“Engkong gak ninggalin warisan harta melimpah, tapi warisan iman,” kata kakak saya. Ya, sangat jelas terlihat kehidupan iman opa dan oma yang sangat sederhana namun tetap setia melayani dan percaya sampai mati. Opa mungkin tidak banyak menguasai doktrin-doktrin sulit. Tapi saya angkat topi dengan imannya, dan saya ingin sekali memiliki iman yang sederhana namun agung seperti itu. Rasanya keselamatan tidak cukup untuk membuat hidup saya bersukacita, dan itu adalah salah besar.

Saat nenek saya dipanggil ke atas mimbar untuk membacakan ayat-ayat Alkitab, saya pikir tubuhnya yang renta itu akan gemetar dan isak tangis akan membuat kata-katanya hilang. Namun ternyata, tubuh saya yang gemetar. Oma membacakan ayat-ayat itu dengan sangat lantang, tegas, kuat. Tidak sedikitpun ada tanda-tanda oma akan menangis, dan memang tidak.

“Hanya dekat Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.” (Mzm 62:6)

Saya yang baru saja tiba di Solo dari Jakarta, belum sempat bertemu dengan oma. Belum sempat mengucapkan rasa duka pada oma. Saat kebaktian selesai saya menghampiri oma (saya yakin dengan wajah yang sangat prihatin pada oma), mengusap punggungnya dan bersiap memeluknya. Oma tersenyum, tertawa kecil dan meledek saya, “Ahhhh.. Opo!”

Saya kaget. Bahkan matanya pun masih bisa bersinar-sinar. Oma berpaling dari saya dan menyambut salam dari jemaat yang lain. “Haduh, mesih sakit, ya? Ya moga-moga cepet mari” (moga-moga cepat sembuh). Bisa-bisanya oma masih dapat menghibur orang lain disaat orang lain merasa oma sangat perlu dihibur.

"Oma bersyukur doa engkong dikabulkan. Kami siap dipanggil Tuhan kapan saja. Kalo mati, gak mau sakit, gak mau lebih dari sehari. Eh, Tuhan denger"

Satu per satu orang pergi. Gereja mulai sepi. Hanya tertinggal beberapa orang dari anggota keluarga. Di sana saya berdiri di sebelah oma yang duduk di depan foto opa. Sambil tersenyum manis oma berkata, “Eh, liat tuh fotonya. Kayak liat kesini ya? Liat oma ya?”
Dia terus melihat foto opa dan dengan berbinar-binar melanjutkan kata-katanya, “biasanya orang sakit jantung mukanya langsung item. Opa mukanya seger sekali, putih, bersih. Malah kalo diliat lama-lama kayak senyum. Haha, mungkin senyum sama Tuhan Yesus, ya”

1 comment:

Anonymous said...

:)