Monday, August 29, 2011

Forgotten #12


”Pa.. Ini..”
“Jangan bilang itu surat dari sekolah lagi”
Surat di tangan mama bergetar hebat, disusul isak tangis mama. Papa mengambil surat itu dari tangan mama.

Bapak/Ibu orang tua murid dari Melisa Handoko, sekolah mengharapkan Anda datang untuk bertemu dengan kepala sekolah perihal pelanggaran tata tertib membawa benda tajam ke sekolah. Peringatan keras. Terimakasih.

“Benda tajam?”
Tidak selayaknya ayah pada umumnya, bukannya marah, tapi ada satu ketakutan hebat dalam mata pria tegar itu.
“Pa, mama takut. Takut sekali. Kenapa jadi begini, pa? Lama-kelamaan makin parah. Beberapa kali soal berkelahi, sekarang benda tajam. Oh, Lisa..”
Papa tidak berkata apa-apa, ia hanya memeluk tubuh lemah yang terus mengucurkan air mata itu, berharap ada kekuatan yang menghibur mereka berdua.

***
Matahari sudah mulai terbenam. Sinar-sinar oranye membuat bayangan panjang rumah-rumah, tiang-tiang lampu, dan bayangan anak perempuan dengan tas sekolahnya. Lisa tidak lagi seperti Lisa. Semua orang tahu dia berubah, termasuk dirinya. Semua orang tidak mengerti apa yang membuatnya berubah drastis, termasuk dirinya.

Lisa yang lembut, manis, dan anggun. Gadis cantik dengan rambut panjang yang selalu rapih. Sore hari yang ia isi dengan goresan-goresan cat di canvasnya. Lisa yang rajin ke gereja, berdoa dan membaca Firman. Lisa yang itu sudah hilang. Entah kemana. Lisa selalu membawa perasaan marah, benci, dan frustasi. Lisa bingung. Terkadang ia menangis seorang diri, tidak tahu siapa dirinya, atau kemana dirinya pergi. Ia tidak suka menyakiti temannya, tapi setiap malam ia menikmati fantasinya bagaimana temannya itu akan mati, dengan tangannya. Lisa takut. Tapi tidak ada yang bisa melihat ketakutan itu dalam dirinya. Lisa tidak bisa menerima kekejaman itu dalam dirinya.

Semua orang hanya tahu Lisa sekarang seperti preman pinggir jalan. Nakal dan berandalan. Tapi tidak ada yang tahu waktu Lisa memungut kucing di pinggir jalan. Bukan membawanya ke rumah dan memberinya makan. Tapi mengikatnya di tiang jemuran, mengulitinya dan membuangnya ke tong sampah. Lisa tidak mengerti mengapa dia melakukannya. Ia hanya ingin sekali melakukannya dan itu membuatnya membenci dirinya sendiri.

Waktu ia melewati tempat penjualan dvd, ia tidak tahan mendengar teriakan wanita dalam film horror atau thriller. Ia tidak tahan untuk tidak berfantasi dengan teriakan itu. Lisa hancur hati. Satu tahun berlalu dari semenjak teror laboraturim dilakukannya. Berkali-kali ia terpikir untuk pergi ke psikiater atau rumah sakit jiwa. Berkali-kali dia menangis memohon ampun pada Tuhan. Sampai akhirnya ia jenuh dan lelah melihat dirinya lagi-lagi aneh seperti itu. Setiap hari yang ada hanya gelisah. Canvas di kamarnya sudah hancur berantakan. Tempat tidurnya juga hancur karena pisau yang ia simpan menghujam-hujamnya dengan tangan yang basah oleh air mata keputusasaan.

Lisa tertunduk, lalu meringkuk di dekat tong sampah, kakinya sudah tidak kuat berjalan di jalan tanpa ujung. Teman tidak ada. Tuhan pun tidak. Lisa menangis seorang diri. Mengutuki dirinya seorang diri. Untuk apa sampah seperti dia masih diberi hidup. Lalu di ujung jalan dia melihat ada bayangan lain selain dirinya. Berhenti beberapa jarak di depannya. Lisa mendongak dan tidak mampu lagi untuk terkejut.

“Fanny tetap Fanny, ya?” tante Susan menyapa dengan seringainya yang aneh.

No comments: