Wednesday, January 25, 2012

"Jas Merah"

Salah satu syarat kelulusan sekolah gw (jika masih dapat dikatakan seperti itu) adalah menulis paper minimal 15-20 halaman. Paper ini bukan sembarang essay atau kumpulan essay yang main-main. Bukan hanya opini, tapi laporan penelitian dengan metode penelitian yang benar. Bisa dibilang skripsi ala anak SMA gitu deh...

Gw sedikit bosan dengan essay/paper sosial yang sudah-sudah. Seringkali terlalu teoritis, idealis, ngawang dan gak applicable. Buat peninggalan satu-satunya yang bakal dipajang di perpus, (angkatan pertama pula!) gw gak mau kasih yang keren-keren doang, tapi yang beneran bisa diterapkan dan bermanfaat (yang pada akhirnya gw setengah mati selesaikan tuh paper yang gak menarik T__T). So, gw pilih soal pengajaran sastra/apresiasi sastra di SMA.

Singkat cerita, isinya tentang apa sih apresiasi sastra di sekolah itu, udah jalan belom di sekolah, harus gmn supaya apresiasi sastra bisa terlaksana. Katanya supaya generasi muda "mampu menghargai khazanah budaya Indonesia" (Tujuan SK-KD BI). Tapi kok seringkali kita cm baca ringkasan cerita, apalin nama sastrawan, periodisasi dan blah blah blah lainnya yang akhirnya gak bawa kita baca sendiri karya sastra itu. Gw tau Siti Nurbaya itu karya sastra. So what? Gmn gw bisa hargain kalo gw gak baca karya sastra itu? Yah, inti paper gw begitulah.. Tapi gw gak lagi mau bahas paper gw (yang menyedihkan) disini.

Gara-gara tu paper, gw jadi tertarik buat mulai baca-baca karya sastra. Daridulu gw baca cerpen sastra juga, tapi bukan karya sastra yang terkenal. Karena dorongan sodara jg, jadinya gw baca salah satu karya sastra paling agung yang Indonesia punya: "Bumi Manusia", karya Pramodya Ananta Toer. Sodara gw blg Om Pram itu hebat bgt, gak heran berkali-kali masuk nominasi Nobel. "Dia bisa bikin gw yang gak nasionalis ini jadi menggebu-gebu dengan nasionalisme!". Gw pernah intip beberapa halaman buku itu, tapi karena teriakan buku-buku lain yang cemburu, buku tebel om Pram pun gw tinggalin dulu.

In the end, gw baca buku Pram. Gw gak se-addicted sodara gw itu. Gak semenggebu-menggebu itu juga. Tapi gw berbinar-binar baca bukunya. Ceritanya, alurnya, karakternya, bikin merinding. Keren. Setelah selesai gw jg masih aja tenggelam dalam buku itu. Banyak pertanyaan yang muncul, banyak pertentangan yang gw pikirkan.

Beberapa hari setelahnya gw baca "Madre", dihitung sebagai karya sastra juga (jaman modern), karya Dee. Gw bisa menikmati membacanya. Tapi setelah selesai, ya selesai. Ceritanya memang lumayan "inovatif" dan banyak sekali cerita-cerita modern yang segar, baru. Tapi kesan yang ditinggalkan beda bgt. Terus gw mikir apa yang bedain karya sastra jaman jebot itu dengan karya sastra jaman sekarang? Banyak bgt dan beda bgt pastinya!! Jauh! Tapi satu hal yang mnurut gw paling mahal: sejarah.

"Bumi Manusia" jelas mengambil satu cuplikan kehidupan yang berbeda masa jauhnya dengan kita sekarang. Permasalahan yang diangkat dalam, luas, dan bermakna. Tentang perlawanan pada feodalisme dan kolonialisme. Tentang seorang Jawa yang mengenyam pendidikan Eropa dan sadar bangsanya terpuruk begitu rendah seperti cacing. Tentang ketidakadilan, devide et impera, tentang cinta. Ceritanya begitu agung, memperkenalkan satu dunia yang tidak pernah kita tinggali, membuat kita lebih mengerti akan sejarah yang membawa kita kepada hari ini. Sama halnya dengan karya sastra yang lain seperti "Ronggeng Dukuh Paruk" yang juga menarik kita memasuki mesin waktu untuk melihat sejarah. Mereka semua mampu mengabadikan kehidupan mereka saat itu dengan tulisannya. Mereka mengabadikan sejarah melalui tulisannya! Sayangnya cari buku tetralogi Pram di Gramed susahnya minta ampun, dimana-mana gak ada. Sejarah itu mahal bgt, tapi apa iya saking mahalnya org gak mau liat barang sedetikpun?


Bukannya mau bersendu-sendu ria mengenang masa-masa lalu, menertawakan atau menangisi keironisan sejarah. Tapi kata Om Hegel, sejarah terbesar dalam hidup manusia adalah kita tidak pernah mau belajar dari sejarah, kurang lebih begitu. Sejarah itu mahal harganya. Sejarah itu harus dipelihara. Karena itu, benar jg kata Sukarno. Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah!

No comments: