Monday, June 27, 2011

Forgotten #4 (Lisa)

“Ah.. Tidak heran kau datang lagi. Semalam aku tertidur dengan penasaran luar biasa tentang semua keanehan ini. Pasti karena itu aku bermimpi kamu lagi.”
“Lisa, Lisa.. Sabar sajalah kamu bertemu denganku. Aku kan sudah bilang akan mengajakmu jalan-jalan lagi,” sahut Yume tersenyum.
“Sekarang kita mau kemana? Yang seru, dong! Jangan blur begitu. Aku tidak mengerti”
Dia tersenyum dan membawaku terbang perlahan.
“Kalau kau tidak mengerti, berhentilah bertanya. Diam dan perhatikan saja,” katanya.

Kali ini dia membawaku terbang sangat pelan sehingga aku dapat dengan jelas melihat dari atas perkebunan yang membentang luas. Lagi-lagi dia membawaku mendekat pada satu rumah yang besar itu. Namun kami turun perlahan-lahan, dan masuk dengan wajar. Rumah itu tidak terlalu besar namun tampaknya milik orang kaya raya. Bangunannya lebih besar daripada rumah-rumah penduduk biasa, jauh lebih besar dan megah. Dari atas, terlihat sekeliling tempat-tempat tinggal itu terdapat pohon-pohon lebat. Di belakang hutan terdapat sebuah danau yang menambah asri desa tersebut. Kakiku menapak bebatuan yang ada di pekarangan rumah itu. Rumah ini lebih tinggi daripada jalanan pemisah lading-ladang yang semakin tinggi. Aku berada di dekat tangga bebatuan yang menghubungkan rumah dengan jalanan di bawah. Di depan pintu rumah terdapat anak-anak tangga yang rendah, membuat rumah itu semakin enak dipandang. Perlahan aku lewati satu-dua anak tangga abu-abu di depan pintu dan masuk ke dalamnya. Langit-langitnya cukup tinggi, membuat rumah itu terlihat besar sekali. Kelihatannya pemilik rumah ini menata perabot rumahnya dengan rapi dan bersih. Wah, ada bingkai foto kecil di sana. Tampaknya rumah ini dihuni oleh suami-isteri dengan anaknya. Baru saja kakiku melangkah ke arahnya, pintu terbuka tiba-tiba. Dengan langkah kasar,  seorang anak perempuan berbadan bulat dan berambut sebahu, berantakan, melemparkan dirinya pada sofa empuk di depan TV. Aku sangat kaget dan bingung, berusaha mencari kata-kata, namun aku terheran-heran melihat dia yang seolah tidak menyadari keberadaanku. Dengan santai dia menaikkan volume TV. Anak ini adalah anak yang sama dalam mimpiku kemarin malam.

“Hahaha! Lihat tingkahmu! Konyol sekali!” Yume terbahak-bahak
“Ssssttt! Hei, mengapa dia tidak melihat kita? Siapa sebenarnya dia?”
“Kita tidak terlihat ataupun terdengar. Kemarin kan sudah kubilang! Diam dan perhatikan saja”
“Siapa itu? Fanny, ya? Fanny..,” terdengar suara dari dalam

Sesaat dia keluar melewatiku, menghampiri anak tadi dan memeluknya dari belakang. Hei! Itu tante Susan! Oh, dia juga menyebut-nyebut Fanny lagi?
“Ayo, cepat mandi. Bau keringat!”
"Ah.. Nanti saja.. EH, ambilkan aku puding kemarin, dong, Susan”, kata Fanny sambil menoleh melihat tante Susan.
“Loh, kenapa? Kamu habis menangis tadi?” tanya Fanny.
Sesaat saja mata tante Susan kembali basah dan dengan geram ia menjawab,
“Iya. Mama kamu.” “Mama kenapa lagi, hah?” Fanny mengubah posisi duduknya
“Tadi dia marah-marah karena aku salah memasukkan sayuran ke dalam sup makan malam. Roti di lemari yang hilang juga membuat mamamu marah besar dan menyindir aku, menuduhku mencurinya”
“Hmm.. Roti yang kau sembunyikan di laci meja belajarku?”
“Iya. Tapi kan cuma sedikit! Lagipula dia tidak pernah peduli aku kelaparan sekali dan punya uang terbatas untuk terus-menerus membelimakan sendiri. Belum lagi makian-makiannya yang jahat dan menyakitkan itu! Kau tahu kan bagaimana mamamu sering memarahimu? Huh.. Tidak ada kasih sayang sama sekali! Coba saja kalau aku berhenti kerja dari sini, mamamu pasti kerepotan mengurus rumah ini sendirian!” sahut tante Susan panjang lebar.
“Nenek tua cerewet itu lebih cocok tinggal di hutan daripada di sini. Kamu jangan menangis lagi, ya,” ucap Fanny sembari memegang tangan tante Susan.

Wah, pembantu rumah tangga? Berani sekali tante Susan meracuni pikiran Fanny tentang ibunya. Anehnya, kenapa juga dia bisa sedekat itu dengan Fanny? Fanny juga terlihat sangat membenci ibunya. Seperti apa , ya, ibu Fanny itu?

Kulihat tante Susan yang mengeluarkan handphone-nya dan menyodorkannya pada Fanny dengan senyum yang menyeramkan. Karena yakin mereka tidak dapat merasakan keberadaanku, kudekati mereka yang asik melihat video di handphone tante Susan.

“Lihat, ini yang kuceritakan padamu kemarin. Laki-laki yang merayuku itu lohh! Aku akhirnya memutuskan untuk memotong jarinya dulu sebelum kuhabisi dia. 4 jari terlihat lebih lucu daripada 5 jari, bukan? Hahahaha! Kalau begini kan tidak bosan memutar-mutar video koleksiku. Masing-masing berbeda caranya.”

Tampak seorang lelaki paruh baya yang berteriak meronta-ronta, menjerit ketika jarinya dipotong oleh sebilah pisau dapur dan terbelakak matanya ketika darah segar mengucur dari telunjuk jarinya. Aku tidak tahan melihatnya, teriakan demi teriakan berubah menjadi tangisan dan berhenti ketika pisau tadi menancap di dadanya.

Aku tersentak kaget, terbangun dan terengah-engah. Pikiranku kacau. Aku melihat sekelilingku. Mencoba untuk menenangkan diriku. Mimpi yang buruk sekali. Aku hanya bisa menangis, tak dapat berpikir apa-apa.

2 comments:

Alvin Steviro said...

kayak biasa, bahasanya rapi abis..
deskripsi jelas, ngebantu buat imajinasi (gaya u abis)..
endingnya juga shocking..
dari film keluarga jadi film SAW.. wakakakak :D
nicely written. :)

Heidy Angelica said...

thankss :D